tag:blogger.com,1999:blog-14372399255366231832024-03-12T20:59:23.736-07:00ISKANDAR,M.HUMSELAMAT DATANG....SEMOGA MEDIA INI DAPAT BERMANFAAT UNTUK KITA SEMUA...MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.comBlogger30125tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-72667370461291354682012-04-09T03:58:00.001-07:002012-04-09T04:01:08.025-07:00ANTARA HUKUM DAN DEMOKRASIBeberapa waktu lalu Bapak DR Bustami Rachman menulis tentang pelaksanaan hukum di negeri ini dengan mengibaratkannya pada sisi hakim Bao yang dinegeri asalnya sangat terkenal akan keadilan dalam penerapan hukum. Tulisan tersebut ingin menggambarkan betapa pelaksanaan hukum di negeri ini semakin kurang profesional, sebuah surat kaleng menjadi bahan uji kemampuan jaksa dan polisi untuk mencari bukti, BUKAN SURAT RESMI.hanya sekedar “surat kaleng” itulah sebagian makna yang tersimpan dalam tulisan pak Bustami Rachman dan beberapa hal lainnya dalam menyingkap pelanggar hukum yang sudah tidak memperhatikan norma dan etika yang notabene ada target khusus dari lembaga tertentu.<br /><br />Selanjutnya beberapa saat kemudian adinda Fachrizal menulis tentang hukum yang ada dinegeri ini dengan “tanpa judul”. Menggambarkan eksistensi pelaksanaan hukum dinegeri ini yang mengaris bawahi beberapa makna dari preskripsi Bapak DR Bustami Rachman. Tulisan tersebut tentunya sangat menarik karena mengulas hukum yang katanya dinegeri asalnya sudah dimuseumkan. Mungkin saja begitu.<br /><br />Sebuah preskripsi atas hukum dinegeri ini. saya tertarik ingin menyampaikan bahwa setiap negara atau bangsa memiliki sistem hukum sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Itu kata sejarah. Bukan kata saya. Secara teoritis dalam sistem hukum tersebut memiliki 3 unsur esensial yaitu materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Walaupun ada perbedaan dalam konteks Indonesia terkait unsur sistem hukum sebagaimana diungkapkan oleh Maman dari Badan Pembinaan Hukum Nasional.<br /><br />Mengingat Indonesia dijajah cukup lama oleh Belanda maka pengaruh sistem hukum eropa kontinental yang dibawanya sangat kuat, yang sangat disayangkan sekali konsep tersebut terjadi 350 tahun lalu yang anehnya sistem tersebut masih dipergunakan hingga saat ini. Muncul pertanyaan negeri kita sendiri menggunakan sistem apa? Hal ini menjadi pertanyaan ketika melihat eksistensi pelaksanaan hukum di Indonesia baik dilihat dari 3 unsur tersebut diatas.<br /><br />Akhirnya muncul preskripsi dari bapak DR Bustami Rachman dan adinda Fachrizal yang mengulas keadaan hukum sedemikian rupa baik materi maupun dalam pelaksanaannya. Saya sangat setuju apa yang telah ditulis tersebut, mengingat upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengubah hukum yang katanya dinegerinya sudah masuk museum namun dinegeri kita masih spektakuler.…mundurkah kita..atau memang kita sudah maju dari negara yang belum maju…Tahun 1985 upaya pemerintah untuk mengubah hukum di negeri ini sudah ada namun hingga sekarang tidak ada ujungnya, sudah berapa orang presiden melalui masa-masa RUU tersebut, mungkin karena sulitnya mengubah sistem hukum yang ada karena kuatnya budaya kita atau memang tidak ada kemampuan untuk mengubahnya atau sengaja agar hukum dinegeri ini seperti sekarang ini…Padahal ahli hukum dinegeri ini cukup banyak…mengapa tidak bisa ya… Saya berpandangan jika ingin mengubah hukum dinegeri ini, ya…kita harus mengubah sistem hukumnya lebih dulu dengan memperhatikan 3 unsur dimuka. Namun akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, karena harus mengubah seluruh Undang-Undang dan pelaksanaan hukum yang ada, memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan muncul sikap apatis, serta berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengubah semuanya itu…dan apakah dengan mengubah sistem tersebut akan mengubah pelaksanaan hukum dinegeri ini? belum tentu..saya berpandangan bahwa hukum yang ada ini cukup baik daripada tidak ada hukum, bisa berbahaya negeri ini tanpa hukum.<br /><br />Untuk melakukan perubahan dinegeri ini yang paling vital adalah sistem perekruitan para penegak hukumnya, ini sangat penting agar hukum tidak menjadi ajang LELANG KEPUTUSAN. Gambaran Bapak Bustami Rachman dan Adinda Fachriza cukup jelas betapa hukum dinegeri ini membuat masyarakat apatis.<br /><br />Sisi lain negera kita termasuk Negara hukum yang demokratik sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, siapa saja boleh mengemukakan pendapat, namun demokrasi yang tercurah saat ini hampir sulit dipredikasi mengacu pada demokrasi yang bagaimana dan seperti apa, karena semua orang merasa dirinya benar dan lebih cantiknya lagi selalu mengatasnamakan ‘RAKYAT”, apa iya….mungkin saja karena merasa demokrasi ya bebas bicara, sehingga surat kaleng jadi spektakuler dan ditunggu-tunggu kehadirannya serta pelelangan tidak hanya dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa, namun juga keputusan. Memang hubungan antara demokrasi dan hukum selalu bergandengan dan hadir dalam setiap Negara, walaupun dalam pelaksanaan setiap Negara berbeda, untuk Indonesia kita cukup menyadari demokrasi sangat euphoria setelah eksistensi orde baru memasuki era reformasi, namun sisi tertentu reformasi malah membuat semakin tak terarah, kalau dulu orang korupsi, kolusi dan nepotisme terorganisir dengan baik, kalau sekarang ya dari atas hingga bawah dan dari segala penjuru arah, ya itulah Negara hukum dan demokrasi untuk Indonesia. Semoga bermanfaat.<br /><br /><br /><div class="fullpost"></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-26940655342502614362009-12-04T19:33:00.000-08:002009-12-04T19:35:52.300-08:00<div class="fullpost" align="justify"><strong><span style="font-family:verdana;color:#000099;">ENVIRONMENT BASED EDUCATION (EBE)<br /></span></strong><span style="font-family:verdana;"><em><span style="color:#ff0000;">Tulisan ini bukanlah ditulis untuk download koran, mohon tidak dimasukkan dalam opini Koran, karena tulisan ini sifatnya mengajak mempelajarinya, siapa saja boleh menerapkannya. terimakasih.<br /></span></em>EBE adalah sebuah pendidikan berbasis alam yang saya lakukan dengan konsep outdoor. Di Kepulauan Bangka Belitung baru beberapa pemikir yang menggerakkannya dengan kekhususan bagi anak-anak. Namun tempatnya tidak begitu besar dengan fasilitas yang secukupnya. Saya sebenarnya bukanlah sarjana pendidikan dari FKIP atau apa sajalah yang berkaitan dengan sarjana pendidikan. Namun saya adalah sarjana yang dibekali dengan “hukum” bukan pendidikan, sehingga nantinya akan berbeda dalam beberapa hal terkait dengan pemahaman terhadap pendidikan karena bidangnya berbeda. Walau bukan bidang yang saya peroleh dalam bangku kuliah, saya berusaha untuk memahami beberapa bidang dalam dunia pendidikan secara otodidak dengan banyak membaca, bertanya kepada ahlinya jika saya tidak tahu.<br />Berbekal pengalaman di bidang PLS sejak tahun 2003 serta berbagai kunjungan baik di daerah yang ada di Indonesia maupun di Singapura, Johor Bahru dan Kuala lumpur, saya tergerak untuk membuat sebuah kawasan yang tadinya disepelekan dan dicemooh karena sulit untuk difungsikan menjadi kawasan yang selalu untuk dikunjungi orang dan dirindukan. Nantinya akan dikonsepkan dengan leadhership dunia dan akherat.<br />Keinginan ini bermula ketika di babel tidak ada lembaga yang menyelenggarakan apa yang menjadi pikiran saya yang ditempatkan dalam satu komplek. Mungkin ada yang melaksanakannya namun luas lahannya sempit dan banyak menggunakan peralatan modern.<br />Saya berpikir bagaimana pendidikan alam bisa dirasakan dengan banyak menggunakan pola alami dan 70 % dengan peralatan tradisional. Dibeberapa daerah di Indonenesia sudah banyak menyelenggarakannya, namun untuk Bangka Belitung, rasanya belum ada, atau saya sendiri belum menemukannya didaerah ini.<br />Sisi lain kenapa tergerak menyelenggarakan ini adalah ketika anak saya yang kedua lahir pada tahun 2005 akhir, 1,5 tahun kemudian saya mulai merasakan ada yang mengganjal dengan keadaan kondisi anak saya tersebut, sepertinya apabila berhadapan dengan outdoor lebih dari 2 jam, maka esok harinya akan sakit. Akhirnya selama 1,5 tahun ia mengalami sakit apabila berada di outdoor, hampir setiap bulan masuk RS. Apabila mandi dalam kolam atau sungai lebih dari 30 menit, maka dia akan demam. Pada saat umurnya 3 tahun secara berkala saya mulai ajak ke kebun dan bermain tanah atau apasaja yang ia suka di kebun. Saya ajak mancing di pinggiran sungai ditempat orangtua saya. Sesukanya dia bermain…namun tetap dalam pengawasan ketat..makan saya ajak di lapangan terbuka…saat ini anak saya sangat menyukai ikan air tawar baik dibakar maupun disayur/dilempah.Saya tidak mengajaknya lagi ke pantai. Karena jika ke pantai akan mengalami keadaan yang serupa lagi. Berdasarkan eksperimen ini, Alhamdulillah, anak saya sekarang mampu mengatasi ketahanan tubuhnya dengan melakukan berbagai kegiatan di outdoor.<br />Berawal dari beberapa hal tersebut diatas, saya berharap anak-anak yang lain yang ada di babel juga tidak mengalami hal yang sama dengan anak saya, karena lebih awal sudah dibekali ketahan tubu melalui pola outdoor. Bukan ke pantai, namun ketempat yang menyediakan skill alami anak.<br />Dari pemikiran ini, tergeraklah untuk mendirikan EBE dengan konsep outdoor baik bagi anak PAUD,TK,SD/MI,SMP/MTs, SMA/SMK/MA, mahasiswa dan nantinya juga untuk public/umum. Adapun kegiatan tersebut dipadukan dengan leadhership bagi peserta. Karena kegiatan ini akan dimulai dari membentuk tim, mengikuti berbagai rintangan yang telah disiapkan, dan akhirnya finis, selanjutnya diadakan evaluasi masing-masing tim atas apa yang telah mereka lakukan dengan capaian tertentu.<br />Masih banyak hal nantinya yang dapat dilakukan oleh peserta apabila bergabung dengan EBE “PUTRA ISMA terletak di Jalan Raya Desa Pangkal Buluh-Payung KM 1,5 Pangkalbuluh, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Mari bergabung dengan kami untuk memperkuat leadhersip anak-anak kita.terimakasih<br /><br /><br /><br /> </span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-49264908510405215462009-06-11T19:04:00.000-07:002009-06-11T19:09:19.982-07:00MENGAGAS PERLUNYA BPKB PROVINSI KEP.BABEL (Bagian II)<div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Jika melihat dari peran BPKB dalam pendidikan nonformal dan informal (PNFI) sebagaimana uraian sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa jaminan akan kualitas PNFI dapat terwujud. Keberadaan lembaga ini bisa menunjang program pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sikap miring terhadap produk dari PNFI selama ini dapat diminimalisir dengan berbagai program yang dapat meningkatkan pemahaman masyarakat serta stakelholder terkait dengan keberadaan BPKB di Provinsi.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Untuk itu, BPKB setidaknya mempunyai agenda yang tidak sedikit jika harus pemerintah Provinsi memang benar-benar mendirikannnya. Tidak ada waktu terlambat, karena kesempatan tetap selalu ada untuk mendirikan BPKB Provinsi. Kita dapat membayangkan apabila unit ini tidak ada, maka perannya selama ini hanya berada di dinas pendidikan yang artinya mempunyai keterbatasan dalam menjangkau hal-hal yang lebih teknis dalam pembinaan yang lebih khusus pada PNFI.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Dengan adanya unit BPKB di tingkat Provinsi, maka diharapkan hal-hal yang dapat dilaksanakan secara komprehenship dan lebih terfokus diantaranya :<br />1. Mempersiapkan tenaga pendidikan nonformal yang professional<br />2. Mengkaji dan mengembangkan program PNFI yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung.<br />3. Mewujudkan program PNFI yang berbasis pada kebutuhan belajar masyarakat Babel yang berorientasi pada kebutuhan belajar<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;">Oleh karena itulah, dengan adanya tugas dan perencanaan dalam pelaksanaan program yang maksimal diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dan informal dalam rangka peningkatan taraf kehidupannya.untuk itu BPKB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung paling tidak menaungi beberapa hal terkait program kerja / produk seperti :<br />1. Pendidikan Anak Usia Dini<br />2. Keaksaraan Fungsional<br />3. Kesetaraan (Paket A, B dan C)<br />4. Kelembagaan dan Kursus<br />5. Pengembangan Model Pembelajaran PNF<br />6. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)<br />7. Pembinaan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)<br />8. Pembinaan PKBM dan Institusi PNF lainnya<br /><br /></span><span style="font-size:85%;"><strong>SUMBER DAYA MANUSIA PADA BPKB<br /></strong>Keberhasilan dalam menjamin mutu PNFI tentunya tidak terlepas dari sumber daya manusia yang mumpuni dalam bidangnya. Sebagai unit yang baru, maka BPKB membutuhkan orang-orang yang memang memiliki kemampuan dalam bidangnya serta memiliki pengalaman yang cukup untuk mendukung kinerjanya. Karena unit BPKB yang baru didirikan membutuhkan pemikiran-pemikiran yang tajam dan akurasi mind site untuk pengembangannya. Oleh karena itu pemilihan staf yang akan menggerakkan unit ini mesti harus disetting lebih matang, agar nantinya produk BPKB dapat tercapai dengan baik.<br /></span></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Disisi lain, berhasilnya program kerja dari BPKB secara maksimal dalam rangka pelayanan masyarakat pendidikan nonformal dan informal juga berada pada peranserta Pamong Belajar sebagai ujung tombak operasional program. karena para pamong memiliki tugas dan fungsi yang tidak sedikit, oleh karena itu, pemilihan pamong untuk BPKB tentunya tidaklah mudah, mereka yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki pemikiran dan jangkauan lebih luas serta berpikiran kedepan. Para Pamong Belajar setidaknya memiliki tugas dan fungsi pada :<br />1. Pendidikan dan pelatihan tenaga pendidik dan kependidikan.<br />2. Pengembangan dan ujicoba program PNFI<br />3. Standarisasi Program PNFI<br />4. Pengembangan jaringan dan pelayanan informasi PNFI<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;">Keempat tufoksi tersebut tentunya diperlukan implementasi pemikiran yang mendalam untuk menjawabnya, karena dari keempat hal tersebut, mesti dijabarkan dalam bentuk program-program yang disesuaikan dengan karakteristik daerah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang memang memiliki kemampuan dalam mengembangkan unit BPKB ini. Pamong diharapkan memiliki kapasitas sebagai penggerak pendidikan non formal dapat mengembangkan model-model pembelajaran selama ini dengan berbagai inovasi, sehingga terbentuk satu poin plus pengembangan model pembelajaran yang bukan itu itu saja, melainkan model pembelajaran mandiri yang sesuai dengan peta ekonomi wilayah Kepulauan Bangka Belitung.<br /><br /></span><span style="font-size:85%;"><strong>JARINGAN KEMITRAAN<br /></strong>Program-program yang dijalankan BPKB Provinsi yang dinilai baik dan memang bermanfaat, tentunya belumlah sempurna apabila program tersebut hanya pada lingkaran kecil saja (intern), diharapkan BPKB memiliki jaringan yang lebih luas (ekstern). Semuanya itu diwujudkan dalam bentuk kemitraan. Mitra ini diantaranya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota, pengusaha, serta LSM dan lembaga swasta lainnya. Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa BPKB memiliki garapan domain pendidikan nonformal dan informal yang secara otomatis terletak pada basis masyarakat yang dikenal dengan ”Pendidikan Berbasiskan Masyarakat” (Community Based Education), maka mitra sangat dibutuhkan. Pada Pendidikan Berbasis Masyarakat, banyak hal-hal yang informal sudah memiliki kemampuan dalam menjalankan perubahan paradigma masyarakat, namun belum terekpose dengan baik, maka melalui kemitraan yang dilakukan BPKB, akan terjadi sharing win-win solution.<br /></span></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:85%;">Demikian juga halnya dengan kemitraan yang lain, apabila BPKB dapat mengembangka lifeskill yang dapat diterima oleh para pengusaha dan bermitra dengan pengusaha, maka angka pengangguran didaerah ini dapat diminimalisir. Karena produk dari BPKB yang dilatih dengan program lifeskill telah diakui memiliki kemampuan sebagaimana yang diharapkan oleh dunia usaha dan dunia industry (DU/DI).<br />Oleh karenanya, keberhasilan BPKB dalam melaksanakan setiap programnya tidak terlepas dari jaringan kemitraan yang harus digali sejak awal pendirian. Karena dengan memulainya dari awal akan lebih memudahkan dalam merancang serta mengimplementasikan program-program dari BPKB.<br /><br /></span><span style="font-size:85%;"><strong>HARAPAN KEDEPAN<br /></strong>Berdirinya unit-unit baru dalam menjamin mutu pendidikan di daerah bukanlah hanya sekedar untuk saling klaim bahwa lembaga lainnya tidak memperhatikan jaminan mutu. Namun lebih pada dengan kehadiran berbagai lembaga yang menjamin akan mutu pendidikan didaerah, tentunya akan semakin baik mutu pendidikan tersebut. Salahsatu lembaga untuk menjamin mutu pendidikan ini adalah Balai Pengembangan Kegiatan Belajar Provinsi yang mengelola pendidikan nonformal dan informal lebih khusus. Mungkin ada beberapa lembaga yang telah memiliki jaminan mutu, akan tetapi selama ini mungkin belum begitu khusus sehingga terjadi kurangnya kesimbangan dalam memperhatikan mutu pendidikan nonformal ini.<br /></span></div></span><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Oleh karena itu, kedepannya, diharapkan BPKB dapat lebih khusus untuk mengembangkan dan mengelola pendidikan nonformal sehingga jaminan mutu pendidikan nonformal dapat tercapai dengan baik, serta tercapai keseimbangan antara pendidikan formal dan nonformal. Semoga mencerahkan. </span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-65244873621522370382009-06-10T06:34:00.000-07:002009-06-10T06:38:26.426-07:00MENGAGAS PERLUNYA BPKB PROVINSI KEP.BABEL (bagian I)<p class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><br />Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) merupakan salahsatu unit dalam pelaksanaan pengembangan pendidikan nonformal dan informal (terkadang sebagian masih menggunakan istilah pendidikan luar sekolah) yang letaknya berada di Provinsi. Kepulauan Bangka Belitung merupakan salahsatu provinsi yang belum memiliki unit pelaksana teknis apa yang dinamakan BPKB. Pendirian BPKB dibeberapa daerah di Indonesia sebagian menggunakan pola tumpangsari pada salahsatu SKB di Kabupaten Kota sebagai cikalbakal berdirinya BPKB. Namun sebagian daerah yang memiliki kemampuan Sumber Daya Manusia dalam mendirikan dan mengelola BPKB tidak membutuhkan embrio dari SKB Kabupaten/Kota, akantetapi langsung mendirikan dan menyiapkan sumber daya tersebut pada unit yang dimaksud. Oleh karenanya pendirian BPKB lebih bergantung pada kemampuan provinsi masing-masing.<br /><br />Sebagai unit yang bergerak dibidang pendidikan nonformal dan informal, maka BPKB dalam aplikasinya sangat banyak bertumpu pada masyarakat, sehingga konteks ini sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui ”Pendidikan Berbasiskan Masyarakat” (Community Based Education). Hal ini disebabkan berbagai faktor, baik lokasi dan sasaran yang sangat heterogen maupun karena falsafah yang dianut, yaitu ”Tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat”.<br /><br />Sebagai provinsi yang baru, perkembangan pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung begitu pesat. Hal ini dikarenakan potensi alam yang cukup mendukung dalam mengimplementasikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam peningkatan sumber daya manusia. Oleh karenanya dengan modal tersebut, bila tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh sumber daya manusia yang berkualitas maka potensi yang ada tidak akan berarti apa-apa. Karena dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka sumber daya alam yang dimiliki dapat diolah secara optimal serta terarah kepada kebutuhan masyarakat luas.<br /><br />Perkembangan pendidikan formal yang begitu baik tentunya juga perlu diimbangi dengan pendidikan nonformal dan informal. Hal ini agar dapat mengejar dan mengedepankan keunggulan serta kualitas sumber daya manusia yang dapat menghadapi abad yang sangat kompetitif dalam berbagai bidang. Pendidikan yang terjamin mutu dan kualitasnya, tentu pada akhirnya dapat menjembatani arus gelombang globalisasi yang dirasakan sangat kuat dan terbuka. Oleh karenanya disadari atau tidak hal ini membawa konsekwensi perlunya ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas yaitu manusia yang mampu bekerja secara profesional dalam arti memiliki pengetahuan, kebisaan serta kesediaan dalam mengabdi secara utuh untuk menghasilkan produk dalam bentuk barang maupun jasa yang memiliki keunggulan kompetitif.<br /><br />Selama ini mutu pendidikan formal lebih difokuskan pada LPMP yang ada di provinsi masing-masing sebagai lembaga jaminan mutu yang akhirnya mengelola dan mengembangkan pola jaminan mutu sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Bagaimana dengan pendidikan nonformal dan informal? Sebagian masyarakat menganggap bahwa produk dari pendidikan nonformal masih dipandang sebelah mata, seperti pada lulusan paket baik paket A, Paket B maupun Paket C. walaupun pemerintah telah menyatakan setara, namun kenyataannya dalam masyarakat masih memandang demikian.<br /><br />Pandangan ini tentunya sangat keliru namun juga tidak bisa menyalahkan pandangan tersebut sepenuhnya, karena mungkin produk tersebut belum mendapatkan perhatian dari lembaga yang memiliki otoritas sebagai bentuk jaminan setara sehingga ada yang berpendapat demikian. Namun dengan berbagai upaya tentunya lembaga dimaksud dapat diwujudkan apabila pemerintah daerah menginginkan realisasi keseimbangan antara pendidikan formal dan nonformal<br /><br />Dibeberapa daerah sudah dibentuk unit pelaksana teknis yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar akantetapi perannya tidak bisa sepenuhnya karena memiliki keterbatasan wewenang. Tentunya eksistensi SKB di daerah Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya memiliki unit ini, bahkan walaupun unit ini sudah ada disetiap kabupaten/kota, namun anggarannya masih sangat terbatas yang pada akhirnya mengakibatkan tidak terjangkaunya upaya penbinaan secara maksimal.<br /><br />Sebagai unit yang berada di kabupaten kota dan memiliki keterbatasan dalam pembinaan lembaga-lembaga nonformal dan informal, SKB juga dibina oleh PNFI diwilayah kerja regional. Khusus Kepulauan Bangka Belitung selama ini masih menginduk pada PNFI Jaya Giri di Bandung yang juga mengalami keterbatasan karena luasnya wilayah yang menjadi binaan mereka. Yang pada akhirnya bermuara pada kualitas.<br />Untuk mengantisipasi hal tersebut, diharapkan setiap daerah (provinsi) memiliki BPKB. Keberadaan BPKB diharapkan dapat lebih eksis pada daerahnya masing-masing dalam membina SKB-SKB serta lembaga nonformal lainnya secara intensif karena wilayahnya lebih sedikit dan mudah dikoordinasikan.<br /><br />Oleh karena itu, BPKB sebagai unit dibidang pendidikan nonformal dan informal mesti dapat mewujudkan masyarakat yang gemar belajar, bekerja dan berusaha pada jalur Pendidikan Nonformal dan Informal, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang mandiri dan mampu menghadapi tantangan globalisasi melalui program-program yang diselenggarakannya.<br />Tugas yang diemban BPKB Provinsi adalah membantu Dinas Pendidikan dalam menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintah Provinsi di bidang Pengembangan Kegiatan Belajar. Sebagai aplikasi dari tugas tersebut dapat diimplementasikan dalam bentuk :<br /><br />1.Penyusunan program dan perumusan kebijakan operasional penyelenggaraan kebijakan Pembangunan</span></p><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Provinsi dan Pemerintah Pusat di bidang Pendidikan Luar Sekolah;<br />2.Menyelenggarakan program kegiatan BPKB sesuai dengan perencanaan untuk mencapai sasaran </span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> yang ditetapkan;<br />3.Penyusunan Sistem Jaringan Informsi Program Kegiatan;<br />4.Penyusunan Pola Pengembangan Kegiatan Belajar sesuai dengan karakteristik daerah;<br />5.Penyusunan sistem pengembangan pendidikan berbasis kawasan dan teknologi informasi;<br />6.Pelayanan administrasi kepegawaian di BPKB sesuai norma, standar dan prosedur peraturan </span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> perundang-undangan.<br /><br />Mengingat saat ini, di Kepulauan Bangka Belitung telah ada beberapa SKB seperti SKB di Kabupaten Bangka, Kota Pangkalpinang, Bangka Selatan dan Belitung, serta tahun 2008 SKB Pangkalpinang dijadikan sebagai SKB Pembina, maka sudah selayaknya bahwa daerah Kepulauan Bangka Belitung mendirikan BPKB untuk pengembangan pendidikan nonformal dan informal. Pada tahun 2006, Dewan Pendidikan Provinsi telah merekomendasikan kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung agar mendirikan BPKB Provinsi, namun pada saat itu belum mendapatkan jawaban. Kemudian pada tahun 2007, Dewan Pendidikan Provinsi kembali merekomendasikan agar mendirikan BPKB di Provinsi. Dan pada saat itu Gubernur Kepulauan Bangka Belitung meminta Dinas Pendidikan mempelajari hasil rekomendasi tersebut terkait hal apa saja yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menunjang kualitas pendidikan tersebut.<br /><br />Berdasarkan informasi terakhir, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merencanakan kehadiran BPKB Provinsi pada tahun 2010. Artinya tulisan ini diharapkan sebagai respon yang baik atas niat positif pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak hanya dibidang formal saja namun juga nonformal dan informal. Oleh karenanya, peran DPRD Provinsi dalam menyikapi keberadaan BPKB Provinsi juga mesti seimbang dengan niat pemerintah provinsi, karena bagaimanapun sebuah unit dalam menjamin mutu pendidikan nonformal tanpa adanya ketersediaan dana yang memadai tidak akan dapat sukses. Semoga bermanfaat<br /> </span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-50227047010874910072009-06-05T05:12:00.000-07:002009-06-05T05:36:01.720-07:00THE POWER OF PANCASILA<div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Sebuah kekuatan yang cukup baik ketika negeri ini menginginkan kemerdekaan, Pancasila sebagai pilihan patokan berbangsa dan bernegara. Negeri yang dicita-citakan oleh segenap bangsa ini merupakan perwujudan persatuan dan kesatuan. Berapa banyak suku dan agama yang telah berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Berapa banyak akidah yang telah menjadi perdebatan panjang dalam mendirikan negeri ini. Sebagian berpendapat ada yang menganggap bahwa pancasila tidak perlu dirubah namun sisi lain sebagian berpendapat bahwa pancasila merupakan buatan manusia. Itulah sebait cerita dari pancasila.<br />Jika kita telusuri lebihjauh, maksud power disini adalah kekuatan pemersatu bagi berbagai suku dan bangsa. 1 juni selalu diperingati agar para warganegara dapat mengingat kembali kekuatan tersebut. Namun tidaklah perlu kita mengusiknya lebih mendalam dari sisi agama. Semua agama jelas berbeda pandangan dalam menilai pancasila. Namun lebih dipahami bahwa pancasila merupakan pedoman manusia untuk berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia saja, karena bangsa lain tidak menggunakan ideologinya pancasila.<br />Pancasila sebagai dasar negara yang kuat tertanam di dalam masyarakat Indonesia. Karena itu, tidak beralasan bagi berbagai kelompok masyarakat di Indonesia untuk menuntut perubahan (atau bahkan penghapusan) Pancasila sebagai dasar negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila telah dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi pemersatu bangsa karena mayoritas dari masyarakat Indonesia tidak keberatan terhadap Pancasila. Semua agama hingga hari ini secara formal tidak mempermasalahkan pancasila, namun tidak menutup kemungkinan secara informal ada kelompok-kelompok yang tidak menginginkan pancasila dan mereka terpaksa mengikuti karena berada di Indonesia.<br />Sisi lain kelima sila yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan kepentingan dan persepsi sebagian terbesar rakyat Indonesia. Dalam proses amandemen UUD 1945 juga telah disadari tentang perlunya melestarikan Pancasila sebagai dasar negara dalam UUD 1945. Pernah muncul debat dalam Panita Ad Hoc I (PAH I) Badan Bekerja MPR (periode 1999-2004) tentang perlunya memasukkan Pancasila ke pasal-pasal UUD 1945.<br />Adanya ketidak setujuan dengan Pancasila lebih pada munculnya berbagai fenomena yang dinilai masih wajar dalam demokrasi. Yang perlu dicamkan oleh setiap orang adalah bahwa pendapat-pendapat yang berbeda harus disalurkan melalui cara-cara konstisusional dan parlementer. Cara-cara kekerasan dalam mewujudkan aspirasi harus dihindari dan tidak diperkenankan dinegara kita, karena Negara Indonesia adalah Negara hukum.<br />Berdasarkan gambaran di atas terlihat bahwa harus ada toleransi terhadap orang yang tidak setuju Pancasila. Selama Orde Lama dan Orde Baru, toleransi seperti ini tidak ada karena pihak-pihak yang tidak setuju Pancasila diangap sebagai musuh politik yang harus dimusnahkan. Bahkan bisa dikatakan bahwa yang dianggap sebagai musuh terbesar pada kedua periode itu adalah mereka yang anti-Pancasila. Sejarah telah membuktikan bahwa pola pikir seperti itu menghasilkan kehancuran bangsa Indonesia.<br />Kelihatannya kelompok yang tidak setuju Pancasila tidak merupakan kekuatan politik yang cukup besar. Kekuatan-kekuatan politik utama yang diwakili sejumlah organisasi kemasyarakat (ormas) dan partai politik (parpol) yang kuat merupakan pendukung Pancasila. Kemungkinan untuk berkembangnya kelompok anti-Pancasila di masa datang tidak terlihat cukup kuat karena memang tidak ada argumentasi yang solid untuk itu.<br />Keinginan beberapa parpol Islam memasukkan tujuh kata yang berasal dari Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 pada proses amandemen UUD 1945 yang lalu tidak dapat dianggap sebagai sikap anti-Pancasila. Tuntutan tersebut tidak bertujuan mengubah Pancasila karena hanya menambahkan tujuh kata itu saja ke salah satu pasal UUD 1945. Demikian juga dengan dikeluarkannya berbagai peraturan daerah (perda) yang bernuansakan syariat Islam. Perda-perda tersebut tidak merupakan perlawanan terhadap Pancasila karena dikeluarkan tanpa mempermasalahan keberadaan Pancasila.<br />Sebenarnya debat yang terjadi di dalam konstituante tahun 1956-1959 hanya berkisar pada satu pasal di dalam rancangan UUD yang sedang digodok oleh lembaga pembuat konstitusi. Karena itu, tidak tepat mengatakan bahwa debat yang terjadi di konstituante adalah debat tentang negara Islam. Yang terjadi adalah debat tentang dasar negara: apakah Indonesia yang diatur oleh konstitusi baru tersebut didasarkan atas Pancasila atau Islam.<br />Oleh karena itulah kekuatan Pancasila terletak pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Kelima sila dalam Pancasila adalah nilai-nilai ideal yang dianut oleh semua kelompok sosial sehingga tidak ada alasan untuk menentangnya. Kalaupun ada penentangan selama ini, penyebabnya adalah sikap yang anti terhadap pemerintah Soekarno dan Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik.<br />Faktor penyebab kedua adalah keinginan sebagian tokoh politik Islam memberikan warna Islam ke dalam konstitusi mengingat mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Jadi yang dituntut oleh tokoh-tokoh politik Islam bukan negara Islam karena konsep negara Islam masih diperdebatkan dan memerlukan pengkajian lebih mendalam. Meski begitu, pencantuman ketentuan yang khusus berlaku bagi ummat Islam, seperti yang termuat dalam tujuh kata Piagam Jakarta: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh dan masyarakat yang beragama lain.<br />Nilai-nilai Pancasila yang bersifat universal dan dapat diterima oleh semua kelompok menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang majemuk (heterogen) membuat Pancasila semakin menarik karena kelima sila dapat dijadikan payung bagi semua kelompok yang ada di Indonesia. Sejarah sudah menunjukkan bahwa satu-satunya gerakan politik bersenjata yang ingin mengganti Pancasila adalah dua pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) masing-masing pada tahun 1948 dan 1965.<br />Di masa-masa mendatang, nilai-nilai Pancasila yang universal perlu dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi tolok ukur bagi bekerjanya sistem politik dan tingkah laku manusia Indonesia. Soekarno yang merupakan pencetus gagasan Pancasila tidak berusaha menjabarkan nilai-nilai Pancasila menjadi lebih kongkret. Namun generasi peneruslah yang berpikir untuk menjabarkan nilai-nilai dalam usaha mempersatukan bangsa Indonesia dalam keadaan utuh. Menghadapi pemilihan Presiden 2009, tentunya mengedepankan persatuan dan kesatuan dan keutuhan Bangsa Indonesia untuk masa yang akan datang akan lebihbaik dibandingkan mengedepankan ambisi pribadi. Semoga mencerahkan. (Jogjakarta, Juni 2009)</span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-53535998042379233602009-05-08T07:27:00.000-07:002009-05-08T07:40:52.127-07:00AKTUALISASI TNI DI ERA REFORMASI<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQpXhB9tL7Mv2k-gOi5I_aSvlIo0gOt4icgUXQ5chu9xuMAt_n_5yEL3c58CXFYoiuWKfm1kRD5Jbf7Afx1bBIoMFJWP-P0ABZ0x9Ig3aL9uPJwYOBnJWE-zCm5V_wEUKmgq0kuJ1KkpN6/s1600-h/isk.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5333462047974391826" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 111px; CURSOR: hand; HEIGHT: 113px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQpXhB9tL7Mv2k-gOi5I_aSvlIo0gOt4icgUXQ5chu9xuMAt_n_5yEL3c58CXFYoiuWKfm1kRD5Jbf7Afx1bBIoMFJWP-P0ABZ0x9Ig3aL9uPJwYOBnJWE-zCm5V_wEUKmgq0kuJ1KkpN6/s200/isk.jpg" border="0" /></a><span style="font-size:180%;color:#000066;"><strong>N</strong></span>egara, menurut Max Weber, adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keasahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Sedangkan lembaga yang mempunyai monopoli terhadap pengelolaan kekerasan (management of Violence) adalah organisasi militer. Dengan demikian dalam suatu negara keberadaan organisasi militer sangat dibutuhkan untuk menegakkan hukum dan kewibawaan pemerintah. </div><div align="justify"><br /><span style="color:#000066;">Keterlibatan Militer dalam politik Indonesia.</span><br />Dalam sejarah militer, dikatakan bahwa TNI merupakan organisai kelaskaran sedangkan TRI merupakan rangkaian tentara yang didalamnya juga terdapat laskar yang tidak patuh kepada pimpinannya. Dan akhirnya TRI dan kelaskaran ini dilebur dalam rangka perbaikan program rekonstruksi dan rasionalisasi jumlah tentara yang demikian banyak, dimana tentara tersebut ada yang berlatar belakang PETA dan eks. KNIL, seperti A.H. Nasution, T.B Simatupang yang menginginkan tentara yang berdisiplin keras, terlatih dengan baik, dan bersenjata lengkap menyetujui program.<br />Dengan sejarah yang dimiliki oleh militer tersebut, maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia tidak memiliki angkatan bersenjata. Hal ini disebabkan pemerintah pada saat itu tidak mempunyai ketegasan terhadap peran tentara dalam pemerintahan yang akhirnya menimbulkan akibat-akibat yang serius.<br />Kenyataan tersebut yang tidak tergantung kepada pemerintah ini dalam pengertian lain, militer di Indonesia adalah tentara yang melahirkan dirinya sendiri. Dari hal di atas, sudah menampakkan diri bahwa tentara sebagai lembaga yang otonom. Otonomi ini semakin nampak karena lemahnya institusi sipil. bahkan akhirnya juga diantara pimpinan militer sering berbeda pandangan.<br />Sikap yang dibangun oleh militer yang otonom terhadap pemerintah inilah yang berbeda latar belakang tersebut menjadikan polarisasi baru dalam menjalin hubungan antara pemerintah dan militer. PETA mengatakan bahwa antara pemerintah dan militer relatif banyak mempersamakan dirinya dengan pemerintah sipil, yakni sebagai tokoh sosial atau solidarity makers (penggalang solidaritas).<br />Implikasi polarisasi sikap terhadap hubungan pemerintah dan militer bagi organisasi militer sendiri adalah sering diabaikan atau tanpa mempertimbangan aspirasi mereka dalam mengambil keputusan politik nasional. Seperti terjadi pada perjanjian Lingar Jati yang akhirnya dilanggar oleh Belanda. Dan yang paling menyakitkan di pihak militer adalah penyerangan kembali ke wilayah RI tanggal 19 Desember 1945 (perang dunia II), dimana pemrintah lebih suka ditawan oleh belanda. Akhirnya militer membawa beban moral tersendiri. Dengan modal adanya kekosongan pemerintahan ini, membuat militer mempunyai pengalaman dalam menjalankan pemerintahan militer. Birokrasi militer dibuat sejajar dengan birokrasi pemerintahan sipil, yang kemudian hari disempurnakan dan menjadi salah satu peralatan negara yang canggih untuk mengontrol hubungan negara dan masyarakat.<br />Dalam kenyataan pada saat itu juga, adanya campur tangan pemerintah dalam urusan intern militer seperti pilihan Menteri Keamanan yang ditolak pemerintah yang akhirnya Panglima Sudirman dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk menentukan keberadaan tentaranya.<br />Akibat peristiwa diatas ternyata membawa hikmah di kalangan tentara untuk lebih mengkonsolidasikan diri dan menggalang persatuan dan kesatuan diantara mereka. Dengan membentuk kongres yang diambil dari enam perwira yang berpangkat lebih rendah untuk memulihkan persatuan. Setelah adanya Kepala Staf Angkatan Darat yang merupakan hasil dari kongres tersebut, oleh Nasution mulai melaksanakan doktrin untuk merasionalisasikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia.<br />Gambaran jelas dari rasionalisasi Nasution mengenai keterlibatan militer dalam politik diungkapkan pada tahun 1958 dengan sebutan “jalan tengah”, yang akhirnya perintah Nasution terhadap Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung untuk mempersiapkan sebuah doktrin militer yang memungkinkan pelaksanaan kebijakan “jalan tengah”, berdasarkan pengalaman revolusi. Pada saat sekarang ini doktrin tersebut dikembangkan oleh kalangan militer di Indonesia sebagai dasar legitimasi peranan mereka di luar tugas bakunya sebagai keamanan, yakni militer mempunyai peran sosial-politik dalam kehidupan negara. Juga mereka berpegang pada Sapta Marga atau tujuh jalan dalam bertindak. Dengan Sapta Marga tersebut terlihat bahwa tiga diantaranya menjelaskan sikap dan peran setiap anggota angkatan bersenjata dalam masyarakat, sementara empat marga selanjutnya menyatakan apa sesungguhnya makna menjadi prajurit.<br /><br /><span style="color:#000066;">TNI Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Era Reformasi.<br /></span>Dalam kerangka pemikiran TNI, sebenarnya peran dan kontribusi yang telah diabadikan sejak republik ini berdiri tidak sama sekali berkonotasi kekuasaan. Tidak pula sebagai ambisi menguasai segala peran. Peran tersebut lebih karena tuntutan. Justru kehendak kuat dari TNI dalam membangun justru terus membangun bangsa adalah bagaimana masyarakat makin berdaya.<br />Jika bangsa ini jujur, ikut andil TNI dalam membangun masyarakat yang kritis, terbuka dan maju tidaklah kecil. Dengan demikian jika muncul anggapan yang keliru terhadap TNI, apalagi disimpulkan peran TNI selama ini telah mengalami penyimpangan dan menyalahi kelaziman peran suatu angkatan bersenjata, hanyalah sebuah pembelaan yang menafikan realitas bagi militer di Indonesia.<br />Pada era reformasi ini, banyak orang menaruh harapan yang besar kepada TNI. Sebagai salah satu institusi yang memiliki legitimasi struktural dan kultural dalam kehidupan kebangsaan, posisi yang dimiliki TNI ini sangat strategis dalam menggerakkan reformasi. Kemudian muncul sikap pesimis dan skeptis terhadap TNI. Hal ini sejalan dengan bergulirnya reformasi dimana TNI tidak berjalan di tengah refomasi tetapi malah terjadi perpecahan di kubu mereka dalam memperebutkan kekuasaan untuk mendekati ke pemerintahan. Hal ini sesuai dengan polling yang dilakukan oleh beberapa media, bagaimana TNI dalam pandangan masyarakat yang akhirnya banyak yang memberikan jawaban negatif.<br />Beragamnya penilaian itu menunjukkan bahwa adanya kepentingan negara ini terhadap militer. Karena setiap sorotan atau kritikan oleh TNI dipilah dan dipilih. Karena tidak semua penilaian yang diberikan itu bersifat fair dan jujur.<br />Berbicara masalah posisi TNI dalam masa reformasi ini haruslah dilihat secara jernih dan utuh, bagaimana posisi dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa. Dalam kenyataan sekarang fungsi TNI adalah mengamankan seluruh komponen bangsa terhadap tekanan yang ingin menghancurkan negara dan tugas lainnya adalah memajukan kesejehteraan umum dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian dan keadilan.<br />Harapan masyarakat saat ini adalah adanya peran TNI untuk tidak memihak salah satu kelompok manapun seperti status quo dan kelompok yang memenangkan pemilu atau mantan pejabat militer yang mendekati kekuasaan.<br />Oleh karena itu, peran TNI dalam kehidupan nasional baik yang telah, tengah, maupun yang akan dilaksanakan tidak terlepas dari dimensi historis, kondisi aktual serta kecenderungan yang akan datang. Variabel-variabel tersebut harus secara cermat dan komprehensif dibaca serta diterjemahkan menjadi suatu model yang dapat memberi gambaran yang jelas akan tantangan, kendala dan peluang yang dihadapi dan akan ditempuh.<br />Tinjauan ulang peran TNI masa lalu untuk dimasukkan pada masa saat ini menunjukkan bahawa peran dan fungsi tersebut mengalir dari hakikat hubungan militer dan politik secara universal, yakni bahwa “perang bukan sekedar tindakan dari suatu kebijakan tetapi merupakan alat politik (negara) yang sebenarnya, satu kelanjutan kegiatan politik dengan cara lain. Sasaran politik menjadi tujuan utama, perang menjadi alat untuk mencapainya dan sebagai alat perang tidak dapat dipandang secara terpisah”.<br />Oleh karena itu, sebagai salah satu kunci pengaman untuk menjembatani dan mencegah penyalahgunaan militer bagi politik partisan adalah menjaga bahwa tentara tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik praktis partisan. Dengan demikian tugas tentara hanya menjalankan menjalankan politik negara pada tingkat kenegarawan, terutama bersentuhan dengan penyelenggaraan fungsi-fungsi pertahanan-pertahanan negara.<br />Kalaulah terjadi adanya intervensi militer dikarenakan adanya kecenderungan manifestasi spesifik gejala yang lebih luas bagi semua negara berkembang. Gejala tersebut ditandai dengan apa yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington:<br />“….the general politicization of social forces and institutions. In such societies, politics lacks autonomy, complexity, coherence and adaptability, all sorts of social forces and group become directly engaged in general politics”.<br />Dari gejala di atas, maka tantangan pelaksanaan fungsi pertahanan-keamanan dalam konteks kemacetan sistem, kiranya tidak dapat dilepaskan dari situasi umum yang ditandai dengan ciri khas adanya krisis akibat dari perubahan sosial dan mobilisasi kelompok-kelompok baru yang berlangsung cepat serta dihadapkan dengan adanya pengembangan institusi politik yang berjalan lamban.<br />Inilah menjadi perhatian kita bersama. Dengan adanya penghujatan terus menerus kepada TNI dalam perannya dimasyarakat, akan mengakibatkan Indonesia menuju tempat jurang yang dalam untuk melakukan bunuh diri karena walau bagaimanapun peran TNI baik sebagai prajurit maupun sebagai manusia dimasyarakat saat ini sangat dibutuhkan terlebih. Kedepannya kita berharap TNI dapat selalu mengaktualisasikan diri terhadap perannya di masyarakat. Semoga mencerahkan. </div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-42682490000141523642009-04-06T21:46:00.000-07:002009-04-06T21:58:50.300-07:00KOALISI SEMU<div align="justify"><br /> Memasuki masa tenang, semua atribut pemilu telah dilepas oleh masing-masing para kontestan. Walau demikian masih ada yang belum melepaskannya seperti beberapa tempat masih jelas terlihat. Rangkaian pesta yang diselenggarakan oleh pemilik otoritas pemilu 2009 semestinya ditaati bersama, namun tampaknya proses pendidikan politik masih belum menyadarkan para calon idol, tentunya masyarakat akan menilai kembali mana yang konsisten dan mana yang belum. Kecerdasan masyarakat kembali digaungkan agar mencapai kualitas pemilu yang demokratis.</div><div align="justify"><br />Bila kita lihat dalam beberapa waktu terakhir ini, beberapa partai mencoba untuk menjajaki kemungkinan bersatu kembali, muncul blok-blok huruf yang mengarahkan nama tertentu. bahkan tidak sedikit lembaga-lembaga pengamat yang memanas-manasi suasana terkait dengan blok-blok tersebut. Para kontestan politik juga menyadari bahwa inilah kesempatan iklan gratis untuk mendongkrak kredibilitas partai dalam memperoleh suara. Pengalaman pemilu 2004, sedikit menggoreskan bahwa blok-blok tersebut mulanya tidak demikian namun akhirnya kembali pada muara yang tidak disangka-sangka.itulah politik!<br /></div><div align="justify">Mengapa harus koalisi ? sebuah pertanyaan yang cukup sederhana..kemungkinan bisa dikatakan bahwa politisi sudah mengarah pada ketidakpercayaan diri mereka masing-masing. Ketidakpercayaan meraih suara mutlak. Mengingat pemilu 2009 ini persaingan semakin sulit diprediksi, lembaga survey menyampaikan angka-angka seperti sebuah pesanan saja. Jalan terakhir…koalisi….Karena koalisi partai untuk seorang calon presiden diperlukan, mengingat kecilnya peluang seorang calon presiden dari sebuah partai mendapat suara mutlak dalam pemilu nanti.<br /></div><div align="justify">Dengan melakukan koalisi tentunya akan membantu mengurangi ketidakpastian siapa yang akan menang dalam pemilihan presiden nanti. Koalisi ini dilakukan dengan pertimbangan hubungan erat antara perolehan suara dengan calon presiden yang akan diusung oleh partai. Apalagi, dalam sistem pemilihan presiden tahun 2009, seseorang dicalonkan untuk jabatan presiden oleh partai politik. Dengan kereta Partai setidaknya membantu mengurangi tingkat kesulitan memperkirakan perilaku pemilih terhadap calon-calon presiden yang akan bersaing nanti.<br /></div><div align="justify">Perlu disadari bahwa partai politik adalah mesin politik yang punya daya mobilisasi massa paling sistematis dan terorganisis. Karena itu, koalisi antarpartai politik diharapkan berperan sebagai mesin politik besar untuk memobilisasi massa pemilih presiden yang dicalonkan sesuai dengan mesin politik masing-masing. Karenaya hingga saat ini tidak ada organisasi sosial-politik yang punya kemampuan mobilisasi massa secara nasional sebesar partai politik<br /></div><div align="justify">Kemungkinan terjadinya koalisi antar partai disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform baik visi maupun misi di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.<br /></div><div align="justify">Dalam hal platform sisi ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.<br /><br /><strong><span style="color:#cc0000;">Pengalaman dalam berkoalisi<br /></span></strong>Koalisi selama ini hampir dikatakan tidak permanen, koalisi masih memunculkan kepentingan-kepentingan partai. Hal ini terlihat dari hasil koalisi selama 5 tahun terakhir, muncul sinyal-sinyal negatif dalam pelaksanaannya. Demikian juga koalisi partai-partai politik dalam Pemilu 2009 tidak bisa diharapkan akan mencapai pada titik strategis dalam pembangunan. Seperti kesamaan untuk membangun sistem politik nasional yang lebih demokratis, atau kesamaan untuk menata kembali lembaga-lembaga ketatanegaraan yang memperkuat sistem presidensial, atau juga sistem ekonomi yang nonkapitalis. Karena kehidupan politik saat ini sudah terjebak dalam pragmatisme politik, yang tidak memikirkan kepentingan kebangsaan, orientasinya hanya jangka pendek yaitu kekuasaan, semakin banyaknya kontestan politik, semakin menjauhkan makna pelaksanaan pemerintahan yang demokratis.<br /></div><div align="justify">Semestinya pertemuan-pertemuan pimpinan antar partai politik selama ini janganlah menhadirkan bak sinetron belaka, mekipun telah manuver untuk menggalang dukungan politik hingga memunculkan klaim blok-blok kekuatan politik, namun hal itu baru sebatas wacana karena koalisi dan pencalonan presiden/wakil presiden masih sangat tergantung kepada hasil Pemilu legislatif 9 April 2009. Oleh karenanya, parpol memang harus merestrukturisasi diri dan semestinya jumlah partai yang besar perlu dikurangi dengan sistem multipartai sederhana. Langkah kedua, parpol juga harus meninjau ulang ideologinya. Reideologisasi partai politik, agar partai dapat mengimplementasikan cita ideal tatanan masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, keamanan dan peradaban.<br /></div><div align="justify">Pemilu 2009 sudah semestinya menghasilkan parlemen yang reformatif . Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pada partai politik akan membaik. Dan kalau itu bisa diwujudkan maka pemerintahan koalisi yang baik juga akan lebih mudah dibentuk. Indonesia telah mengalami bagaimana pendidikan politik yang selama ini terbangun, pemilu 2004 merupakan tonggak eksperimen bagi kita semua. Mereka yang terpilih menjadi idol politik 2009, maka sebagai anggota legislatif harus sungguh-sungguh dan ber komitmen anti-korupsi dan merepresentasi kepentingan rakyat banyak pun perlu diberikan kesempatan untuk tampil.<br /></div><div align="justify">Fenomena Blok M, Blok S dan Blok J dalam Politik di Indonesia merupakan representasi dari munculnya blok-blok kekuatan politik yang wajar dan sesuai dengan logika yang mendasari, yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara sah nasional 25 persen dan 20 kursi parlemen<br /><br /><strong><span style="color:#990000;">Koalisi Islam versus nasionalis-sekuler ?<br /></span></strong>Koalisi dapat dilakukan dengan beberapa partai yang memiliki kesamaan, namun sebagian ada yag berpendapat bahwa partai Islam dengan partai nasionalis jauh lebih tepat. Anggapan tersebut bisa saja terjadi guna meningkatkan peran dan fungsinya di dalam membangun bangsa Indonesia ke depan. sebagai titik awal membangun koalisi. Meskipun beberapa pengamat menilai, bahwa koalisi antara dua partai yang sama-sama berfaham kebangsaan itu tidak akan terjadi karena antara keduanya memiliki karakter yang berbeda. Namun dalam teorinya koalisi partai dapat dikelompokkan dalam dua bagian saja.</div><div align="justify"><br />Kelompok pertama adalah koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan (<em>policy blind coalitions</em>) dan koalisi yang didasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan (<em>policy-based coalitions</em>). Bentuk koalisi ini menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi di parlemen, minimal <em>winning coalition</em> dan asumsi partai bertujuan ”<em>office seeking</em>” (memaksimalkan kekuasaan). Bentuk koalisi seperti ini loyalitas peserta koalisi sulit terjamin dan sulit diprediksi.<br /></div><div align="justify">Kelompok kedua menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan, minimal <em>conected coalition</em> (terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan patner yang tidak penting), dan asumsi koalisi partai, bertujuan ”<em>policy seeking</em>”, yaitu mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai. Bila koalisi seperti ini terbentuk, maka loyalitas peserta koalisi partai akan terbentuk, karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan.<br /></div><div align="justify">Untuk melihat koalisi terbaik demokrasi saat ini, kita bisa lihat dari kemauan kelompok mana dan capaian apa saja yang menjadi target mereka yang koalisi. Banyaknya bentuk koalisi tersebut akan cenderung koalisi hanya bersifat pragmatis dan akhirnya selalu pecah pada saat pelaksanaannya. Oleh karena itu dalam membangun koalisi sudah waktunya untuk dipikirkan bahwa kesamaan program dan kebijakan dalam membentuk pemerintahan yang efektif dan stabil baik di tingkat daerah hingga tingkat pusat tidak semata-mata hanya karena alasan pragmatisme dan kekuasaan belaka.<br /></div><div align="justify">Untuk menghindarinya perlu adanya aturan terkait dengan koalisi, batasan-batasan yang harus dilaksanakan, sehingga koalisi tentuya tidak hanya untuk kepentingan sesaat saja, namun koalisi untuk membangun negeri ini lebih baik, adanya sanksi-sanksi dalam koalisi merupakan upaya keterikatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Dan nantinya tidak ada partai yang merasa dirinya menjadi pahlawan dalam membangun bangsa ini, namun jika kita melihat kondisi politik 2009 ini, masih tampak sekali semua partai yang berkoalisi menjadi pahlawan. Mampukah kita berkoalisi dengan baik? Mudah-mudahan dengan koalisi yang akan terjadi nanti tidaklah sebuah <span style="color:#000066;">KOALISI SEMU</span>.semoga bermanfaat</div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-65970426315820202042009-04-04T17:32:00.000-07:002009-04-04T17:38:44.753-07:00KAMPANYE TERAKHIR<div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:180%;color:#cc0000;">Kampanye</span> adalah proses untuk memperoleh dukungan pada saat pemilihan umum, setidak-tidaknya itulah yang dapat kita artikan secara singkat. Kampanye Damai sangat diharapkan oleh berbagai pihak khususnya masyarakat, karena pada kenyataanya masih saja ada praktek yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.</span></div><span style="font-family:trebuchet ms;"><div align="justify"><br />Pemilu legislatif tahun 2009 sebentar lagi akan berakhir, kampanye terakhir akan menjadi ajang adu kekuatan partai masing-masing peserta pemilu. Dalam kurun waktu terakhir ini, beberapa daerah di Indonesia terlihat jelas bagaimana kampanye dilakukan oleh peserta pemilu, bagaimana perilaku simpatisan partai dalam kampanye tersebut terjadi. Ada daerah atau tempat kampanye menunjukkan pelanggaran tidak terhindarkan, jalan-jalan dipenuhi simpatisan dengan berkonvoi, yang sangat disesalkan adalah adanya simpatisan yang minum-minuman keras saat kampanye, ada yang adu jotos sesama simpatisan pada saat kampanye, simpatisan menikmati makanan pedagang kaki lima yang tidak bayar, simpatisan yang tidak mentaati peraturan lalu lintas, orang gila naik panggung saat kampanye, anak-anak yang ikut dalam kampanye, dan yang paling menyedihkan adalah tarian erotis para penyanyi yang dihadirkan pada saat kampanye telah menyadarkan kita bahwa para kontestan pemilu telah mendidik masyarakat kearah yang kurang baik, ada yang menjual ayat-ayat al-Qur’an untuk kepentingan kelompok agar masyarakat memilih mereka dan beberapa persoalan lain yang melingkari pelaksanaan kampanye tahun 2009 ini.<br /></div><div align="justify">Perlu disadari bahwa kampanye adalah mengajak, akan tetapi bukan berarti memperbolehkan segala cara untuk mengundang masa. Kalau itu dilarang ketika tidak kampanye berlangsung, begitu juga saat kampanye, logika yang jelas. Oleh sebab itu dalam Pemilu Indonesa 2009 mestinya tidak terulang adanya kampanye yang mengenyampingkan nilai-nilai dan norma kesopanan dan mengedepankan kampanye arif, kampanye sehat dan kampanye damai. Kampanye yang mendidik masyarakat lebih berdemokrasi, tidak saling sikut-sikutan, itulah harapan dari masyarakat, akankah kenyataan selama ini demikian?..<br /></div><div align="justify">Kampanye terakhir dilakukan para kontestan berbeda-beda, ada yang melakukannya secara terbuka dengan menghadirkan pejabat teras kontestan pemilu dari Jakarta, menggiring artis agar simpatisan datang, ada yang melakukan bersih-bersih lingkungan, membagi-bagikan sekuntum bunga kepada setiap pengemudi kendaraan. Lokasi-lokasi strategis di seputaran jalan-jalan protokol dipilih untuk menebar bunga plastik oleh sekumpulan dara pilihan. Para gadis mengumbar senyum dirangkai sapaan simpatik kepada para pengemudi sembari menyodorkan sekuntum bunga plastik. Pembagian bunga hampir di seluruh sudut kota, berlangsung mulai pagi menjelang tengah hari.<br /></div><div align="justify">Daerah-daerah yang menjadi basis massa para kontestan pemilu biasanya dilakukan kampanye secara besar-besaran, bahkan mereka menjadikan sebagai ajang tersebut untuk menunjukkan kekuatan massa bahwa mereka akan memenangi pemilu 2009. Namun demikian mesti diingat bahwa pemilu 2009 ini sangat beda dengan pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2004 dulu. Hal inilah yang menjadikan para kontestan pemilu berkerja keras agar tidak ter-degradasi. Yang jelas kontestan pemilu ada yang menang dan ada yang kalah. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah…? Kita lihat 9 April 2009.<br /></div><div align="justify">Bahan-bahan kampanye para kontestan pemilu, gambar para idol menuju legislatif yang tersebar dibeberapa sudut daerahpun merupakan ajang yang paling tepat untuk menuju kursi parlemen. Siapa yang akan menjadi idol politik 2009? akankah kekuatan partai, kekuatan personal diri para idol dan kekuatan eksternal yang selama ini terbina akan menjadi kemenangan bagi mereka? mungkinkah partai yang telah eksis sebelumnya akan disalip oleh partai yang baru lahir kemarin sore? <em>Wait and see.</em><br /></div><div align="justify">Semuanya masih terkait dengan pola kampanye serta sosialisasi para kontestan terhadap konstituennya, berapa banyak para simpatisan partai tertentu yang tadinya sangat berperan dan menjadi icon bagi partai akhirnya beralih ke partai lain yang notabene-nya memiliki massa tersendiri, hal ini akan mempengaruhi hasil pemilu yang akan dihadapi. Fenomena apa yang menjadikan mereka pindah kelain hati? Sebagian berpandangan bahwa mereka bagaikan “kutu loncat”, mau menang sendiri, tapi sisi lain memang mereka harus pindah karena telah melanggar AD/ART partai karena tidak sedikit bagi mereka yang menjadi calon idol 2009 sebelumnya telah menjadi idol 2004. Dan inilah yang menjadi persoalan bagi partai, karena pelanggaran yang dilakukan idol tersebut tentunya mereka menjadi “kutil” dalam partai yang akhirnya akan menggerogoti kekuatan parta, lebihbaik hilang satu, namun tumbuh seribu. Atau bisa saja yang terjadi mati satu hilang seribu.</div><div align="justify"><br /><strong><span style="color:#cc0000;">KAMPANYE UNTUK RAKYAT<br /></span></strong>Kampanye PEMILU 2009, tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, baik berupa material maupun non material. Secara tidak langsung biaya kampanye tersebut pada akhirnya untuk rakyat juga, tentunya dengan segala spekulasi yang dilakukan dan tidak akan sampai pada rakyat jika calon wakil rakyat tidak bisa atau gagal menjadi wakil rakyat. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh para calon idol politik untuk membatalkan dirinya untuk maju sebagai wakil rakyat karena merasa tidak akan bisa memenangi idol 2009. Mereka tetaplah maju walaupun dengan dana yang diperoleh sangat mini atau sekedar untuk memperbanyak suara bagi partainya.<br /></div><div align="justify">Apabila para calon idol 2009 mengetahui tentang masa depan (sebagian ada yang menggunakan para dukun atau peramal, namun tidak mempercayainya 100% kalau dikatakan kalah nantinya, akantetapi sangat percaya jika dikatakan akan menang dan bahkan si “dukun” akan dijanjikan yang lebih besar, sungguh naïf sekai), mungkin ada calon idol yang mengurungkan niatnya untuk menjadi wakil rakyat di parlemen 2009, karena tahu kalau akan gagal. Dan dari semua itu mungkin ada beberapa kontestan idol yang mau memberikan dana kampanye secara langsung ke rakyat daripada untuk biaya kampanyenya yang sudah tahu akan gagal. Hal tersebut tidak mungkin akan dilakukan, karena ketika bersiap diri mendaftarkan menjadi idol politik tentunya pantang mundur sebelum bertarung. Namun demikian, semoga nanti para calon idol yang telah jadi akan betul-betul memberikan semua hasil peluhnya untuk kepentingan rakyat.<br /></div><div align="justify">Kampanye telah berakhir, masa tenang telah datang, semua bahan pemilu tidak diperkenankan lagi untuk berada ditengah-tengah masyarakat kecuali hanya pemilik otoritas pemilu saja yang boleh ada, karena mereka adalah yang mengatur pelaksanaan pemilu 2009 ini. Semoga kampanye tahun 2009 telah mendidik rakyat menjadi lebih dewasa untuk menghargai perbedaan baik suku, ras maupun agama. Perbedaan dalam pilihan untuk calon idol politik disetiap sudut di penjuru negara ini, patutlah untuk dijadikan sebagai rasa dalam mengedepankan betapa pentingnya kebersamaan dalam perbedaan serta menjaga negara Indonesia untuk selalu dalam bingkai NKRI. Semoga mencerahkan.</span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-92217489113350911872009-04-02T07:49:00.000-07:002009-04-02T07:53:36.716-07:00LINGKARAN PASCA PEMILU 2009<div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;"><strong><span style="color:#330099;">Perebutan kursi parlemen dalam pemilu 2009</span></strong> telah memberikan pencerahan yang cukup berarti dalam percaturan demokrasi di Indonesia. Setidaknya pembelajaran pendidikan politik telah menempatkan warganegara Indonesia untuk menjalankan demokrasi dengan baik pasca orde baru. Sebagian berpandangan bahwa selama kurun waktu yang lalu telah terjebak dalam politik yang katanya “tidak demokratis”, susah untuk mengeluarkan pendapat, tentunya berbeda dengan sekarang, itulah pendapat sebagian masyarakat terhadap pendidikan politik jika dilihat dari kurun waktu pemerintahan yang cukup lama berkuasa.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Terlepas dari apa yang telah dijalankan oleh masyarakat Indonesia dalam beremokrasi, apresiasi Negara adidaya terhadap Indonesia, cukup membanggakan dalam penilaian demokrasi sekarang ini, dengan masyarakat pluralism, demokrasi tercipta dengan baik, tentunya senyuman dan kegembiraan muncul dari kita, namun perlu penelusuran lebihlanjut atas kebenaran hal tersebut, jangan sampai terjebak dalam ucapan Negara lain yang menginginkan sesuatu yang tersembunyi di Negara kita ini.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Pemilu yang dilaksanakan tahun 2009 ini adalah pemilu yang cukup menyita waktu dan biaya yang cukup tinggi. Pendidikan politik dengan suara terbanyak, jumlah partai yang begitu banyak, jumlah caleg yang sungguh dahsyat dalam sejarah pemilu di Indonesia, telah menempakan/mendidik para stakeholder demokrasi dalam bingkai kejujuran dan keadilan, kejujuran dalam berdemokrasi tentunya merupakan syarat utama agar demokrasi berjalan dengan baik dan benar.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Aturan pemilu yang dilakukan saat ini telah mengalami perubahan yang luar biasa seperti coblos menjadi contreng. Berbagai pendapat dalam mengevaluasi perubahan ini, ada yang bersikap antipati, ada sebagian bersikap optimis. Tentunya sosialisasi yang dilakukan baik oleh pemilik otoritas mapun masyarakat pengguna pemilu (caleg) sangat menentukan. Terlihat beberapa waktu lalu, ujicoba yang dilakukan dibeberapa daerah di pulau jawa khususnya mendekati masyarakat pedesaan, cukup mengagetkan, karena kurangnya pemahaman masyarakat yang sedikit lagi akan dilakukan pencontrengan, malah masih berpikir pencoblosan.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Disisi lain, setelah ujicoba pencontrengan, malah banyak yang tidak mampu melaksanakannya. Ini sebagian fenomena yang menghantui pencontrengan. Memang kita harus menyadari, pendidikan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menggembirakan, masih banyaknya mereka yang melek aksara, sudah banyaknya mereka yang sudah tak begitu baik dalam penglihatan semakin menambah daftar panjang kelompok yang antipati terhadap pemilu 2009.<br />Masih adanya surat yang rusak dibeberapa daerah telah menyulutkan pemilik otoritas pemilu di daerah mulai khawatir, karena distribusi yang memakan waktu cukup lama akan menimbulkan kerawanan dalam pelaksanaan, belum lagi jika surat suara yang diterima akan terjadi kesalahan kembali, padahal waktunya sudah dekat, tentunya akan menjadikan pemilu sekarang semakin kurang bermakna.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Sederetan permasalahan yang melingkupi pemilik otoritas pemilu ini telah berjalan sejak awal akan diadakannya pesta demokrasi hingga saat ini, tentunya imbas pasca pemilu pun semakin menambah daftar permasalahan sejaka awal seperti kertas suara, pendaftaran peserta pemilu, pihak rekanan yang berbuat curang serta perebutan kursi RI 1 yang semakin panas, tentunya akan salahsatu list yang menunggu pasca pemilu.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Para caleg yang telah menghabiskan dana cukup besar dalam melakukan kampanye, banyaknya nanti suara yang tidak memihak pada dirinya dan memihak pada orang lain tentunya semakin pelik. Para caleg yang tidak terpilih dan partai yang sedikit mengalami kekalahan akan menghadapi justice untuk mencari keadilan. Pasca pemilu waiting list persoalan akan muncul, gugatan-gugatan akan ketidakpuasan hasil pemilu 2009 bisa saja terjadi apabila kita lihat persoalan sebagaimana uraian diatas.<br /></span></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Munculnya pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang melakukan survey pun akan berpengaruh dalam menghadapi pascapemilu, kita bisa melihat saat ini, survey terhadap RI 1 untuk periode 2009 – 2014 berbeda hasilnya dari satu lembaga dengan lembaga lainnya, akhirnya lembaga survey mana yang lebih eksis dan kredibiltasnya bisa dipertanggungjawabkan. Pemilik otoritas pemilu Demikian juga survey terhadap partai politik. masyarakat Indonesia seakan sedang goyang dengan kapal yang menaunginya, semakin banyaknya gelombang yang tidak menentu semakin memperburuk keadaan kapal. Masyarakat jenuh!. Ini sangat membahayakan dalam proses berdemokrasi.</span></div><span style="font-family:trebuchet ms;"><div class="fullpost" align="justify"><br /><span style="color:#cc0000;"><strong>UJIAN KEMAMPUAN MENGATASI ?</strong><br /></span>Pemilik otoritas pemilu selalu berupaya dan menyebarkan berita bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan baik dan tepat waktu, itulah sederatan upaya untuk meredam persoalan yang sedang bergejolak, walaupun kita ketahui kemampuan manusia ada koridor-koridor yang tidak bisa ditembus. Kita juga akan melihat MK (penjaga gawang hukum) akan kebanjiran perkara, berapa banyak perkara seluruh Indonesia akan masuk kemeraka, bisakah dengan waktu yang cukup singkat bisa diselesaikan? Kita lihat saja nanti.<br /></div><div class="fullpost" align="justify">Kritikan dan saran dari pihak reeder (diluar pemilik otoritas pemilu) bagi author (pemilik otoritas pemilu) sebenarnya sudah banyak sekali agar mempersiapkan diri, sehingga lembaga pemilik otoritas pemilu tersebut tidak salah dalam mengambil keputusan pasca pemilu, namun pihak reeder hanya dianggap sebagai orang yang mencari sensasi, para pengamat politik atau pemerhati politik hanya pandai berteori tak pandai dalam praktek. Kebesaran hati pihak author sangat dibutuhkan dalam mencapai pemilu yang demokratis dengan kapal kejujuran ini. Pihak pemilik otoritas pemilu tentunya tidak bisa menutup telinga dan hati untuk mendengarkan kritikan para reeder ini. Karena pemilik otoritas bukanlah Tuhan, bisa menyelesaikan masalah dengan kata “gampang dan mudah”.<br /></div><div class="fullpost" align="justify"><span style="color:#cc0000;"><strong>CERDAS PEMILU DAN PERGERAKAN EKONOMI<br /></strong></span>Sebagaimana uraian diatas, kita melihat betapa idol politik telah menghabiskan dana untuk menuju kursi parlemen, segala macam trik dan siasat dilakukan, apakah bisa memikat hati pemilih? Atau malah masyarakat bosan dengan trik dan siasat tersebut?wait and see….masyarakat telah cerdas?belum tentu, karena kondisi saat ini juga ikut menghantarkan money politic dan janji yang begitu cerdas diucapkan namun belum tentu pintar untuk dilaksanakan…?kalangan intelektual (reeder) telah melihat kondisi ini dengan baik, maka komentarpun cukup membuat repot pihak otoritas pemilu.<br /></div><div class="fullpost" align="justify">Lingkaran pasca pemilu tentu sudah menanti, bagi lawyer, merupakan masa panen mereka, saat ini panen masih didominasi oleh para pemilik percetakan, inilah sebuah realitas, pesta demokrasi memberikan dampak ekonomi bagi kalangan tertentu, baik sebelum dan sesudahnya. Namun dampak ini tetap ada, baik dampak positif maupun negatif, seberapa besar dampak tersebut tentu akan menjadi proses dalam pendidikan demokrasi. Bagi yang menang akan menjadi pesta yang panjang selama 5 tahun kedepan, bagi yang kalah pihak rumahsakit telah menyiapkan tempat berupa kelas-kelas pemulihan, tergantung beratnya masalah yang dihadapi, bagi yang memiliki dana lebih bisa menempati ruang suite president, bagi yang sudah terkuras, cukup kelas ekonomi saja. Siap menang siap kalah?</span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-55234463126839534182009-03-24T19:45:00.000-07:002009-03-24T19:48:54.866-07:00DPT FIKTIF VS JURDIL (Memudarkan nilai-nilai Demokrasi)Pemilu 2009 menyisakan waktu tidak lebih dari dua minggu lagi, hajatan lima tahunan ini telah menyita waktu dan biaya yang tidak sedikit, semua warga Negara Indonesia merasakan pesta demokrasi tersebut. Mulai dari orang yang telah dipilih untuk melakukan contreng maupun mereka yang belum mendapatkan kesempatan, bahkan anak-anakpun ikut dalam merayakan hajatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kesempatan kampanye yang dilakukan oleh partai-partai yang sedang berkompetisi merebut suara rakyat.<br /><br />Pemilihan umum adalah salahsatu media di Indonesia untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk diparlemen, memilih presiden yang akan memimpin negeri ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemilihanpun merambah ke provinsi dan kabupaten/kota yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung. Bahkan pemilihan langsungpun merambah hingga ke desa-desa. Sungguh luar biasa hasil yang ditunjukkan dalam pelaksanaannya, mulai dari yang memang tidak ada masalah hingga ada yang berlanjut ke pengadilan, hanya untuk mencari keadilan dan kejujuran dalam pemilihan.<br /><br /><div class="fullpost">Beberapa waktu terakhir ini, berbagai media baik cetak maupun elektronik telah mengejutkan kita semua dengan munculnya berita pemilih yang diduga tidak terdaftar secara resmi, atau dengan kata lain terjadi pemilih ganda atau adanya mark up pemilih dan sebagainya. Daftar pemiih tetap (DPT) merupakan daftar yang secara resmi mendapatkan hak untuk melakukan contreng, selain yang tidak terdaftar, tidak diperkenankan melakukan contreng, itulah aturannya. namun ternyata dibeberapa daerah, DPT yang sedianya sebagai “kunci” dalam pemilihan menjadi “permainan” sebagian pihak untuk mencapai kemenangan.<br /><br />Terungkapnya permasalahan DPT yang diduga fiktif di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya saat ini merupakan bukti bahwa pesta demokrasi kita semakin menjauhkan makna sebuah “keadilan”. Semakin menjauhkan kita akan makna demokrasi yang sedang diagung-agungkan saat ini sebagai pesta demokrasi yang jujur dan adil. Pengalaman dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur, adalah salahsatu bukti nyata bahwa “sindikat” permainan dalam proses demokrasi terbukti. Mestinya pelajaran berharga dalam pemilihan Gubernur tersebut patut untuk dijadikan sebagai evaluasi atas validitas data pemilih, bukannya meneruskan salah tersebut dalam Pemilu 2009 ini.<br />Akhirnya, kita bisa melihat “pencorengan” nama baik demokrasi yang mengusung kejujuran dan keadilan ternyata membuat pesta kita semakin tidak bermakna. Komentar-komentar sebagian partai politik terkait dengan dugaan adanya DPT Fiktif membuktikan bahwa semuanya menginginkan akan kejujuran dan keadilan (JURDIL). Tidak satupun dari mereka menginginkan kecurangan. Lalu siapa yang membuatnya “FIKTIF”, untuk apa?<br />Pertanyaan inilah yang sedang berkembang saat ini, belum ada yang bertanggungjawab akan kepentingan hal tersebut, tidak satupun kelompok yang berani menyatakan diri, atau si pemesan mungkin saat ini menyembunyikan diri agar selamat dalam pemilu sehingga tidak perlu keluar dari “sarang”. Entahlah, mungkin inilah trik mencapai kemenangan untuk siapa dan punya siapa, waktu yang akan menjawabnya. Bahkan sipemilik wewenang yang mengeluarkan DPT pun tidak mau dipersalahkan, karena mereka menerima dari tingkat bawah, pada tingkatan bawahpun tak mau juga dikambinghitamkan, karena mereka telah melaksanakan tugas sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Lalu siapa lagi yang mau kita salahkan? Jawabannya saya serahkan kepada masing-masing kita yang sebenarnya telah memiliki jawaban akan hal tersebut.<br /><br />Pesta demokrasi yang sebentar lagi akan kita laksanakan, masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup menantang, berbagai persoalan sudah mulai muncul saat pencetakan surat suara, dimana perusahaan rekanan yang telah ditunjuk tidak melaksanakannya sesuai kesepakatan, bahkan perusahaan rekanan melakukan sub kontrak dengan perusahaan lain. Disisi lainnya, saat pendistribusian surat suara, terjadi kesalahan fatal pendistribusian semakin kacau tidak sesuai dengan daerahnya, demikian juga saat surat suara dibuka, banyak sekali surat suara yang rusak dan dinyatakan tidak layak.<br /><br />Sungguh ironis, pesta demokrasi yang seharusnya menjadi kebanggaan karena akan memilih wakil kita di parlemen dan presiden sebagai pemimpin yang akan mengatur Negara ini lima tahun yang akan datang, namun masih menyisakan kekurangan yang dari tahun ke tahun selalu sama permasalahannya, akankah pemilu yang akan datang sama juga, mari kita ingat bersama-sama.<br /><br />Kasus DPT fiktif merupakan upaya untuk mencoreng nilai-nilai demokrasi yang menjadi kiblat pemilu. Kejujuran dan keadilan semakin tidak menampakkan dirinya dalam pesta, manakala selalu terjadi kecurangan. Setiap pemilihan berbagai isu, muncul seperti “permainan” di setiap TPS, ada yang menjadi penjaga gawang, eksekusi dan ada yang hanya melihat gawangnya telah kebobolan, namun tidak bisa berbuat banyak untuk menghalau agar tidak kebobolan. Isu tersebut tentunya tidak muncul begitu saja tanpa ada hal yang terjadi pada tempat TPS. namun mengapa hal tersebut bisa terjadi?apakah demokrasi saat ini bisa ditukar dengan mata uang?wallahua'lam.<br /><br />Melalui pemilu 2009, hendaknya pembelajaran politik telah menggiring kita untuk berbuat adil dan jujur, karena pengalaman negara-negara lain adalah menjadi pelajaran bagi kita, manakalah kecurangan terjadi maka akhirnya merugikan semua rakyatnya. Rakyat membutuhkan keadilan dan kejujuran, tentunya siapa saja yang memiliki otoritas dan kewenangan dalam melaksanakan hajatan demokrasi ini dituntut untuk lebih professional menuju pesta demokrasi yang semakin berkualitas.<br />Kita bisa melihat negara adidaya AS, ketika dalam pemilihan dan dinyatakan kalah, maka yang kalah harus “legowo”(menerima) akan kekalahannya dan mendukung yang menang, yang menangpun jangan “sombong”, mestinya merangkul yang kalah dalam upaya mencapai Negara ini lebih baik kedepannya. oleh karena itu, apabila pemilihan dilakukan dengan jujur dan adil, tentunya kita semua adalah pemenangnya. Dari kasus AS tersebut, Itulah pelajaran bagi kita, namun pertanyaannya, apakah kita sudah siap? Siap menang, siap kalah? Mungkin masih banyak diantara kita siap menang tak siap kalah, apalagi biaya yag telah dikeluarkanpun tidak sedikit dalam kontes idol tahun 2009 ini.<br /><br />Oleh karena itu, pemilu 2009 ini semoga menjadi pemilu yang berkualitas, untuk mencapai hal tersebut, tentunya partisipasi kita sebagai pemilih yang telah ditetapkan untuk mencontreng hendaknya mendukung pesta demokrasi dengan mendatangi TPS yang telah ditentukan. Karena lima tahun mendatang ditentukan salahsatunya dari suara kita pada tanggal 9 April nanti, terlepas adanya fatwa MUI terkait masalah GOLPUT yang masih kontroversi, namun sebagai warganegara kita memiliki kewajiban menentukan siapa yang menjadi pemimpin kita. Agar tidak terjadinya perusakan nilai-nilai demokrasi, kita awasi dengan baik kejujuran dan keadilan dalam pemilu 2009. Selamat Mencontreng!. Pangkalpinang, 24 Maret 2009<br /></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-15968208836531041772009-03-21T18:15:00.000-07:002009-03-24T19:57:26.153-07:00TIM SUKSES UJIAN NASIONAL (upaya kemunduran peradaban pendidikan)<strong><span style="color: rgb(0, 0, 102);font-size:180%;" >D</span></strong>alam kurun beberapa minggu terakhir ini, tulisan saya banyak memasuki ranah pendidikan, hal ini untuk menjadi perhatian bersama menuju pendidikan yang berkualitas sebagaimana telah dicanangkan dalam PROPENAS.<br /><br /><div align="justify">Dalam hitungan hari juga kita akan melangsungkan pesta demokrasi, tentunya banyak sekali pendidikan yang berharga dalam rangka pendidikan demokrasi di Indonesia. Dalam pemilu 2004, para calon legislative bertarung antar partai, tahun 2009, pertarungan sudah memasuki individu dengan individu, sebuah upaya untuk merangkum suara terbanyak partai.<br /><br />Pertarungan individu dengan individu baik antar partai maupun sesama individu dalam partai memberikan pemahaman kualitas manusia dalam pencalonan legislative mudah dipahami. Mana yang berkualitas dan mana yang hanya memeunhi kuantitatif saja. Dalam upaya agar calon legislative tersebut mendapatkan kursi, tentunya dibutuhkan sim sukses yang solid dan mengakar dengan konstituen. Upaya calon legislative tersebut dapat dimungkinkan tanpa tim sukses, namun sangat beresiko, tidak mungkin tanpa tim sukses dapat meraup suara terbanyak. Atau bisa saja calon legslatif tersebut hanya untuk memenuhi kuota kuantitatif tadi. Sangat disayangkan sekali.<br /><br />Ibarat permainan bola, pertarungan tim sukses pun berjalan dilapangan, berbagai upaya dilakukan agar calon yang diusung dapat menjadiduduk di parlemen. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai upaya mulai mendatangi majlis taklim, para pemuda, tim pemain sepak bola, tim pemain bola voli, dan bahkan bagi komunitas pemilih pemula.<br /><br />Upaya tersebut tidak hanya upaya positif saja, namun juga terkadang dengan cara yang kurang bijak dan tidak patut untuk dijadikan sebagai panutan dalam berdemokrasi. Mengingat tahun 2009 adalah suara terbanyak, maka dimungkinkan antar sesama pemain juga terlibat pertarungan menjadi yang terbaik. Karena terkadang antara sesame calon legislative di partai yang samapun terlibat saling sikut-sikutan dengan mengumbar kejelekan masing-masing. Begitulah pendidikan yang diberikan oleh calon legislate di pemilu 2009 menuju kursi legilatif .<br />Demikian juga dengan Ujian Nasional yang beberapa waktu lagi akan dilaksanakan serentak di Indonesia, semua guru berupaya agar anak didiknya dapat melalui UN dengan baik. Upaya yang dilakukan tentunya sebelum pertarungan dimulai. Mulai dari les setiap hari, hingga uji coba soal-soal yang lama agar dapat diselesaikan oleh para siswa.<br /><br />Setiap tahun, begitulah rutinitas sekolah semenjak diberlakukannya UN, terkadang sungguh miris sebagaimana terjadi pada tahun 2008 yang lalu, seorang anak yang cerdas dan memenangkan olimpiade tingkat internasional, namun tidak lulus dalam UN, ada siswa yang sangat bandel dan bahkan ugal-ugalan, namun lulus dalam UN. Itulah sebuah realita. Namun ketentuan UN harus dilaksanakan dengan pelajaran yang telah ditentukan tersebut.<br />Sebagaimana Pesta demokrasi yang diuraikan dimuka, maka dalam upaya menuju pendidikan yang baik, daerah-daerah berupaya untuk menaikkan rate mereka dalam kelulusan UN agar tercipta rate yang baik dalam UN setiap tahu. Tentunya upaya tersebut tidak hanya dilakukan dengan cara yang positif juga namun ada cara-cara yang tidak lazim dilakukan baik oleh pendidik maupun siswa.<br /><br />Tahun 2008, ditemukan beberapa kasus seperti di Kalimantan, seorang guru tertangkap sedang membantu siswa dengan jawaban yang diletakkan di kamar mandi (toilet) sisw. Begitu juga di Sumatera Utara, Ibu guru dan teman-temanya terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian yang telah membocorkan soal UN.<br /><br />Kenapa hal ini bisa terjadi?itulah yang ada dalam benak semua kita saat ini, sebegitukah dunia pendidikan ini dapat terjadi?siapa lagi yang akan mendidik anak dengan baik?. Kita menyadari semenjak UN dilaksanakan, banyak sekali tim pemantau, baik dari Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Dinas Pendidikan Provinsi, DInas Pendidikan Kabupaten, Dewan Pendidikan, Tim Pemantau Independen, dan lain sebagainya. Jika dikalkulasikan berapa banyak orang berharap kejujuran di negeri ini, proteksi UN terkadang sudah sangat berlebihan, mulai dari pencetakan soal hingga tata cara pendisitribusian sampai kepada peserta ujian. Aturan yang telah dibuat tersebut sebenarnya sulit untuk ditembus, namun sangat mudah bagi yang sudah berpengalaman.<br /><br />Bicara berpengalaman inilah yang menjadi perhatian kita, karena dibeberapa sekolah di daerah sekarang telah membentuk tim sukses dalam upaya mencapai target yang telah ditetapkan oleh sekolah, jika tahun lalu lulus 100%, maka tahun ini harus dipertahankan, jika tahun lalu lulus kurang memuaskan, tahun ini harus ditingkatkan, itu adalah hal yang wajar karena itu merupakan capaian yang dilakukan sekolah tersebut.<br /><br />Namun upaya tersebut tentu akan kurang baik, jika menggunakan tim sukses, suatu cara yang tidak fair dalam pertarungan UN, bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki tim sukses tentunya sangat iri dengan mereka yang memiliki tim, karena terkadang tahu sama tahu. Bagi yang tidak memiliki tim sukses mungkin mereka memang mengikuti aturan sebenarnya, atau mungkin saja tidak ada yang mau jadi tim sukses karena takut berurusan dengan pihak berwajib seperti rekan-rekan mereka di Kalimantan, Sumatera Utara dan sebagainya.<br /><br /></div><div align="justify"><strong><span style="color: rgb(0, 0, 102);">MENCAPAI KUALITAS ATAU KUANTITAS<br /></span></strong>Dalam upaya menuju pendidikan yang diharapkan, dalam UN masih ada yang beranggapan kuantitas yang perlu ditonjolkan, dan sebagian telah menganggap baha UN merupakan upaya meningkatkan kualitas. Beberapa sekolah di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, saat ini pertarungan UN bukan hanya mencapai angka kelulusan minimal saja, namun pertarungan sudah individual siswa X dengan siswa sekolah Y. para gurunyapun ikut memacu agar dapat mengalahkan sekolah lain, tidak hanya teman disekolahnya sendiri. mereka selalu berupaya untuk saling mengalahkan sekolah lain. Upaya yang luar biasa, artinya seorang siswa berupaya secara individual dalm menghadapi pertarungan tersebut. Namun muncul pertanyaan, apakah menggunakan tim sukses?wallahua’lam.<br /><br />Namun urain tersebut merupakan upaya untuk bahwa bukankuantitas lulusan yang menjadi target namun kualitas nilai UN yang tinggi agar dapat mengalahkan sekolah lain. Mungkinkah daerah Bangka Belitung sudah berupaya seperti itu?bisa saja terjadi, namun sebagian mengatakan tidak mungkin terjadi, karena sumber daya guru yang terbatas, sarana dan prasarana yang kurang mendukung merupakan alasan pembenar untuk jawaban tersebut.<br />Terlepas dari image negatif tentang tim sukses UN selama ini, tentunya dalam UN tahun 2009 mestinya menjadi cerminan apa yang harus dilakukan pada tahun sebelumnya, memang berat tugas yang diemban bagi guru yang terkadang tidak seimbang dengan apa yang telah mereka berikan kepada peserta didik.namun sisi lain apakah kesejahteraan dapat meningkatkan kualitas guru atau sebaliknya guru semakin terlena dengan kesejahteraan yang telah diberikan pemerintah?semua jawaban tersebut ada pada sanubari masing-masing guru. Karena penilaian tersebut ada pada diri masing-masing.<br /><br />Menuju UN 2009, marilah kita ciptakan ujian nasional yang jujur agar dapat menjadikan kualitas pendidikan kita semakin baik. Dengan adanya tim sukses UN di sekolah-sekolah tentunya merupakan kemunduran peradaban dalam dunia pendidikan kita. Semoga mencerahkan.Jogjakarta, 21 Maret 2009.</div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-67514897361560048642009-03-18T08:52:00.001-07:002009-03-18T09:02:36.231-07:00PEREDARAN PENETAPAN ANGKA KREDIT (PAK) PALSU DEPDIKNAS DIDAERAH<div align="justify">Beberapa waktu yang lalu saya menulis bagaimana peredaran ijazah palsu di Indonesia ini, khususnya pada kasus ijazah palsu yang dikeluarkan oleh STKIP Catur Sakti Jogjakarta. Kita dapat menilai bagaimana seseorang memperoleh ijazah tanpa melewati ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam mendapatkan ijazah. Sisi lain, hal tersebut dapat terjadi karena <em>suplay and demand</em> yang mengatur perjalanan menuju “ijazah palsu” tersebut. Namun perlu diingat bahwa para pemegang ijazah mesti dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />Kembali pada bulan februari tahun 2009 yang lalu, tersebar adanya penetapan angka kredit (PAK) palsu bagi Kepala Sekolah, pengawas, Guru dilingkungan pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal PMPTK Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Kasus tersebut menimpa para guru yang naik pangkat dari golongan Iva ke IVb. Isu tersebut cukup mengejutkan semua pihak, apa mungkin PAK bisa palsu? Karena kenaikan pangkat bagi para guru dari IVa ke IVb merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional Pusat.<br />Namun bila dilihat dari berbagai sudut, bisa saja terjadi karena beratnya syarat untuk kenaikan pangka bagi guru dari IVa ke IVb. Dan beberapa kriteria harus dipenuhi seperti 6 buah karya tulis juga harus diserahkan para guru yang akan naik pangkat tersebut apabila nilai karya tulisnya hanya dengan angka 2. Sungguh ironis dunia pendidikan kita, baru saja tertimpa ijazah palsu, sekarang ada lagi isu PAK palsu. Namun karena beratnya syarat untuk kenaikan pangkat tersebut mengakibatkan diantara guru tersebut menggunakan cara yang kurang sehat.<br />Berdasarkan fakta yang terjadi, awal diduga adanya PAK palsu tersebut ketika Kepala Dinas Pendidikan Kulon Progo mengirim surat ke Dirjen PMPTK dan adanya surat tembusan dari Biro Kepegawaian Depdiknas yang merupakan tembusan suratnya, dalam surat tersebut terdapat 226 orang dinyatakan memiliki PAK palsu dalam kenaikan pangkatnya dari golongan IVa ke IVb. Namun hingga kini nama-nama ke 226 orang oknum guru, kepala sekolah dan pengawas tersebut masih dirahasiakan, karena hal tersebut berkenaan dengan ujian nasional yang akan berlangsung tidak lama lagi, dikhawatirkan akan mempengaruhi pelaksanaan UN nanti.<br />Terlepas dari itu semua, PAK palsu tersebut telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia untuk kedua kalinya. Tidak menutup kemungkinan di beberapa daerah di Indonesia ini juga mengalami hal yang sama seperti yang terjadi daerah Kulon Progo ini. Demikian juga halnya dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Karena hal tersebut terkait dengan jaringan yang menyebar kemana-mana, karena hal tersebut menyangkut tandatangan sekretaris jenderal Direktorat Jenderal PMPTK Ir.Giri Suryatmana. Artinya Depdiknas saja bisa terjadi pemalsuan, sungguh hebatnya lagi hal tersebut sudah terjadi sejak 2006 hingga 2009. Dinas Pendidikan di daerah tidak dapat disalahkan karena hal tersebut merupakan kewenangan pusat.<br />Penentuan PAK tersebut palsu atau tidak hanya dapat diklarifikasi secara resmi oleh Dinas Pendidikan di daerah ke Direktorat PMPTK Departemen Pendidikan Nasional, karena datanya cukup lengkap. Hal ini mesti dilakukan agar kualitas pendidikan di Indonesia demikian juga Bangka Belitung dapat terjaga dengan baik. Namun manakala seperti yang terjadi di Kulon Progo, sungguh sangat menyedihkan bilamana seorang oknum kepala sekolah, guru dan pengawas menggunakan cara yang tidak benar dalam mendapatkan kenaikan pangkat tersebut.<br />Atas PAK palsu tersebut, juga tidak sepenuhnya kita menyalahkan kepala sekolah, guru dan pengawas tersebut, bisa jadi para guru tersebut tidak mengetahui bahwa mereka mendapatkan yang palsu, karena kepengurusannya PAK-nya tersebut diserahkan kepada orang lain yang telah mereka percaya sampai mendapatkan PAK-nya. Biasanya didaerah telah memiliki orang-orang yang memahami bagaimana caranya mengurus PAK. Tentunya inilah yang menjadi cela bagi seseorang untuk melakukan hal yang tidak baik ini. Para kepala sekolah, guru dan pengawas telah mempercayakannya, namun oleh orang yang dipercayakan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur alias palsu.<br />Terlepas dari hal tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mengatur kesemuanya hingga PAK palsu keluar atau karena ketidaktahuan para guru, pengawas atau kepala sekolah akan PAK-nya, ketentuan hukum telah menanti mereka yang telah menggunakan PAK palsu dalam kenaikan pangkatnya. karena mereka menggunakan PAK palsu yang akhirnya mendapatkan fasilitas berupa kenaikan gaji, tentunya ini menjadi perkara korupsi.<br />Bagi pengguna PAK palsu dapat dikenakan ketentuan pasal 12 UU No 31/1999 junto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 antara lain mengatur soal gratifikasi. Selain pasal 12 tersebut, apabila ditemukan ada unsur penyimpangan lain bukan tidak mungkin mereka terlibat dalam rekayasa PAK palsu demi meraih kenaikan pangkat itu dijerat dengan pasal 5, 9, 10 dan pasal 11 UU No 31/ 1999 junto UU No 20/2001.<br />Dalam pasal 9 sangat tegas menyebutkan bahwa bagi PNS atau selain PNS dipidana paling singkat setahun dan paling lama lima tahun atau denda sedikitnya Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta yang diberi tugas suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi.<br />Memang sungguh berat hukumannya, namun untuk penerapan aturan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar, penegakan hukum harus dilaksanakan tanpa pandang bulu, dan semuanya sama dihadapan hukum, equality before the law.<br />Berdasarkan uraian di atas, kita kembali menaruh harapan penuh pada guru, kepala sekolah dan pengawas akan kualitas pendidikan di negeri ini. Upaya-upaya yang kurang sehat dalam mendapatkan sesuatu terkait dengan jabatan sangatlah dihindari. Pendidik dinegeri ini merupakan asset untuk running sumber daya manusia di negara ini secara berkelanjutan, tanpa mereka tentunya anak kita belum tentu dapat menyelesaikan studinya. Namun manakala seorang oknum guru, kepala sekolah, pengawas telah menggunakan cara yang kurang baik, maka tentunya kualitas anak kita juga perlu dipertanyakan, apakah virus tersebut telah menyebar dalam image mereka, atau jangan-jangan mereka telah diajarkan caranya agar dapat berlaku yang kurang baik. Wallahu a’lam.Kita mengharapkan perilaku yang seperti diuraikan diatas tidak terjadi Bangka Belitung, karena jika kita kembali diingatkan dengan film Laskar Pelangi, betapa seorang guru mengharapkan anak didiknya sukses namun tetap dilakukan dengan cara-cara yang baik. Sekalipun anak tersebut memiliki intelektual yang tidak sama dengan lainnya. Demikian juga dengan sertifikasi yang sedang berjalan saat ini, semoga dapat membantu dunia pendidikan menuju tenaga pendidik yang berkualitas bukan hanya kuantitas saja. semoga mencerahkan. Jogjakarta, 19 Maret 2009.</div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-47322872605010667672009-03-16T16:40:00.000-07:002009-03-16T17:10:20.346-07:00PEREDARAN IJAZAH ASPAL DARI PERGURUAN TINGGI,sebuah upaya pembohongan publik<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAEJ0eEpXv9vajcHXElJ6WU_M3GlE5flpe521tH6CB8BjPWC8fWPNWlERbW_tAJiHr13V5O7NTNS97_6SpkcKEZeukElZR0ubFjNofMbS4F7CtjWx1kOKt0Jg5GLeaGY8yqS4LhX61iaCy/s1600-h/foto+bali.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5313935442255874322" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 200px; CURSOR: hand; HEIGHT: 193px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAEJ0eEpXv9vajcHXElJ6WU_M3GlE5flpe521tH6CB8BjPWC8fWPNWlERbW_tAJiHr13V5O7NTNS97_6SpkcKEZeukElZR0ubFjNofMbS4F7CtjWx1kOKt0Jg5GLeaGY8yqS4LhX61iaCy/s200/foto+bali.JPG" border="0" /></a> <span style="font-family:lucida grande;font-size:180%;color:#000066;"><strong>M</strong></span>emasuki tahun 2009, dunia pendidikan tinggi kembali terhempas paa titik nadir dengan adaya dugaan peredaran 1.500 ijazah dari perguruan tinggi swasta di Daerah Istimewa Jogjakarta yang beredar diduga palsu. dan para pemegang ijazah tersebut menyebar diseluruh Indonesia. Beberapa bulan yang lalu masyarakat masih sulit untuk menentukan PTS mana yang telah mengeluarkan ijazah tersebut karena terkait belum adanya kejelasan dari pihak yang berwenang.<br />Namun berdasarkan hasil data dari Koordinator Kopertis Wilayah V Prof Dr Budi Santoso Wignyosukarto, bahwa PTS yang telah melakukan hal tersebut adalah STKIP Catur Sakti dengan Program Studi Bimbingan Konseling (BK). Namun jumlah ijazah yang terlanjur beredar begitu besar membuat para pemegang ijazah dari lulusan STIKP Catur Sakti mulai menaruh keresahan, manakah ijazah yang palsu dan mana saja ijazah yang asli. Terungkapnya peredaran ijazah palsu tersebut dikarenakan STKIP Catur Sakti tidak membelajarkan para mahasiswanya sebagaimana ketentuan pemerintah, karena banyak para mahasiswa tidak kuliah namun sudah terdaftar di semester akhir yang posisinya akan menyelesaikan studinya, peredaran ijazah tersebut dimulai sejak tahun 2002 – 2008.<br />Jauh sebelum Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen disahkan, kenyataannya bahwa ijazah telah beredar, artinya masih dalam lingkup disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebuah antisipasi untuk memenuhi kualifikasi. Adakah korelasi antara rancangan undang-undang yang dibuat pada saat itu dengan tuntutan kualifikasi yang diharapkan bagi para guru? Mungkin saja, karena terkadang RUU sudah disiapkan dengan matang dan disahkan sewaktu pemimpin yang cocok berkuasa. Mungkin saja tidak, karena bisa saja karena “gengsi”, meningkatkan status sosial dengan memiliki gelar akademik atau apa saja namanya, melihat teman-teman seprofesi telah memegang ijazah semua. Apalagi terkadang muncul perselingkuhan kata di dunia pendidikan yaitu “ jeruk kok minum jeruk” atau “hari gini guru ngajar SD, SMP, SMA belum sarjana?”, sehingga upaya jalan pintas pun bisa saja dilakukan.<br />Atau bisa saja, ijazah aspal tidak hanya dari program studi pendidikan, menjelang pemilu seperti sekarang ini, biasanya marak jual beli ijazah, mungkin karena “gengsi” atau untuk gagahan kalau menjadi caleg sarjana lebih dapat meyakinkan masyarakat, jika memang itu terjadi betapa pembohongan public sudah dimulai, pemilu tahun 2004 lalu dapat kita lihat beberapa anggota dewan ditangkap terkait dengan ijazah palsu, artinya peredaran tersebut disinyalir hingga sekarang. sanksi hukum tetap akan berlaku bagi pemegang ijazah palsu, karena undang-undang sudah jelas megatur kesemuanya itu.<br /><strong><span style="color:#cc0000;">Hati-hati mencari PTS<br /></span></strong>Apa yang terjadi sebagaimana uraian diatas, mestinya tidak perlu ada apabila semua komponen memahami tugas dan fungsinya masing-masing, tetap pada koridor aturan yang berlaku, namun karena adanya <em>suplay and demand</em> yang diakumulasikan dengan kesempatan menyebabkan orang bisa berbuat apa saja. Namun sangat disayangkan apabila yang memiliki ijazah tersebut adalah berprofesi sebagai guru, apa yang mesti diajarkannya kepada anak didiknya sedangkan dirinya pemegang ijazah aspal, belum lagi dengan ilmu yang akan diajarkan, sangat disayangkan sekali. tanggungjawab akademik pemegang ijazah mengajarkan ilmunya dengan baik tercoreng dengan kepemilikian ijazah aspal.<br />Namun sisi lain, juga ada yang memang benar-benar kuliah sesuai dengan peraturan namun tergabung kelasnya dengan kelas aspal, maka tentunya akan berimbas terhadap pemegang ijazah. Oleh karena itu, memasuki penerimaan mahasiswa baru (PMB) tahun 2009 ini, perlu kehati-hatian mencari PTS yang dituju, apalagi saat ini telah beredar dalam bentuk spanduk, baliho, leaflet yang menawarkan berbagai kemudahan dalam perkuliahan maupun biaya murah atau akan disalurkan jika sudah lulus nanti. Itulah sebuah marketing, sangat meyakinkan, namun terkadang kecewa setelah orang kuliah ditempatnya, calon mahasiswa harus cerdas demikian juga orangtua harus jeli, tidak hanya mengantarkan namun juga patut bertanya agar tidak terjadi dengan hal-hal yang kurang baik dikemudian hari. Pertanyaan sederhana tentunya berkaitan dengan izin penyelengaraan dan akreditasi kampus.<br />Perlu diingat bawah PTN maupun PTS di Indonesia bukanlah lembaga pendidikan yang mendidik peserta didik untuk bekerja, namun lebih pada agar peserta didik bisa membuka lapangan kerja manakala yang bersangkutan telah memegang ijazah. Para lulusan diharapkan dapat merubah paradigma, namun sayang hingga kini masih banyak beranggapan bahwa lulus dari PT harus kerja, kalau bisa PNS, akhirnya jika tidak bekerja, maka pemegang ijazah merasa malu dan kreatifitasnya hilang.<br />Peredaran ijazah palsu selama ini sulit dilacak karena kurangnya kepedulian masyarakat, namun dengan terbongkarnya kasus di DIY saat ini, mestinya pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten dan Kota melacak akan keberadaan ijasah tersebut yang kebetulan para gurunya sempat mengenyam pendidika disana, memang bukan hal yang mudah, namun saat ini kepolisian Jogjakarta telah membentuk tim untuk melacak ijasah yang dimaksud. Beberapa Bupati di DIY telah memutuskan para gurunya yang sedang menyelesaikan studinya di STKIP Catur Sakti untuk dihentikan, dan melacak semua guru yang menggunakan ijasah dari PTS tersebut untuk diteliti keabsahannya, apakah termasuk kelompok ijasah aspal. Apabila ditemukan ijasah aspal, maka konsekuensinya kenaikan pangkat serta jabatan dan dana yang telah diterima selama memegang jabatan harus dikembalikan ke Negara, sungguh ironis sekali….?namun hukum harus ditegakkan dan wibawa hukum harus terlaksana dengan baik agar memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat.<br />Apa yang menjadi fenomena ijasah aspal diatas, bila dikaji lebih jauh, betapa masyarakat negeri ini selalu mencari yang instan untuk mendapatkan keuntungan, tanpa memikirkan akan akibat yang akan menimpanya dikemudian hari. Namun tidak bisa dipungkiri tuntutan akan undang-undang tentu sangat berpengaruh pada prilaku sebagian pendidik yang belum sempat memiliki ijasah PT, apalagi saat ini banyak dari para pendidik di negeri ini belum memenuhi kuaifikasi kesarjanaan sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang. Usia yang terkadang sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan juga sebagai pemicu untuk mencari jalan pintas, atau jabatan yang dipegang saat ini tidak mau ditinggalkan karena nanti kalau ditinggalkan kuliah belum tentu dapat lagi, itulah sebagian alasan untuk mendapatkan ijasah dengan cepat namun tidak perlu repot-repot. Sehingga jabatan tetap ada dan status sosialnya juga dapat diperoleh dengan kesarjanaan tersebut. namun mestinya diingat bahwa jabatan adalah sifatnya sementara, namun ilmu yang diperoleh pada saat kuliah bisa dipergunakan hingga akhir hayat dan bermanfaat bagi orang lain, dinegeri ini, kita belum terbiasa menolak jabatan yang diberikan dengan alasan tidak memiliki kemampuan, namun lebih banyak menerima jabatan dengan memaksakan diri yang tidak memiliki kemampuan untuk jabatan tersebut. padahal seorang akademisi pemilik ijazah telah memperoleh ilmu tersebut dibangku kuliah, tapi banyak yang tidak melaksanakannya, itulah yang mesti dipahami pemilik ijasah sebagai "<em>tanggungjawab akademik</em>".<br />Dengan memperoleh ijasah secara instan, kualitas pengetahuan pun tidak dianggap penting, karena simbol-simbol pengetahuan telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Hidup menjadi dangkal saja, kosong nilai, dan hanya bergerak di <em>lapisan periferal</em>. Pada posisi itu, jabatan publik dan kekuasaan dengan mudah tergelincir menjadi kesempatan memperkaya diri. Kepentingan umum dan pengabdian rakyat tetaplah impian yang kosong.<br />Dengan demikian, fenomena ijazah palsu hanyalah sepenggal kisah tentang absurditas, pendangkalan makna hidup, dan kekosongan nilai. Sadar atau tidak, kita sementara ini dikemudikan oleh kultur zaman dengan kecenderungan pendangkalan tersebut. Dalam konteks Indonesia, pendangkalan hidup itu bisa berarti ijazah dikejar dengan menghalalkan cara apapun, demi tuntutan formalitas dan gengsi sosial. Perburuan ijazah aspal dapat dilakukan siapa saja, mulai dari pejabat Negara, wakil rakyat hingga pengusaha bakso dan mie ayam, tukang parkir atau siapa saja yang mampu untuk membelinya atau jangan-jangan juga para pemulung ikut ambil bagian, karena siaa tahu ijasah yang diduga palsu sebelum tertangkap dibuang ke sampah dan dipungut oleh para pemulung. Konon dibeberapa daerah cukup dengan uang antara 10 juta hingga 15 juta dapat memperoleh ijazah yang dikehendaki, lengkap dengan register dan nomor ijazahnya, tanda tangan rektor dan kopertis lengkap bersama legalisirnya. Oleh karena adanya suplai and demand inilah yang menyebabkan pekerjaan gila ini dapat terjadi.<br />Kasus STKIP Catur Sakti di Jogjakarta hanya sebagian dari kasus pada PT yang telah mengeluarkan ijasah palsu sebagaimana telah diungkapkan oleh Koordinator Kopertis Wilayah V, ijasah palsu bisa saja dikeluarkan oleh PT yang memiliki izin dan terakreditasi, karena polanya bisa bermain pada ranah pendidikan dan pembelajaran serta tentunya ranah “uang” sebagai pelicin. Seseorang tidak perlu kuliah dengan full, yang bersangkutan bisa sudah diterima pada semester tertentu dengan cara menggunakan surat perpindahan dari PT lain, karena terkadang PT jarang melakukan cross cek kepada PT asal ketika terjadi perpindahan, apakah benar yang bersangkutan pernah kuliah disana, hal ini bisa saja terjadi di daerah Bangka Belitung, bisa juga tidak….masyarakat harus ekstra hati-hati saat ini untuk mendapatkan ijasah kesarjanaan agar tidak rugi dikemudian hari, karena bukannya mendapatkan untung namun malah “buntung”. oleh karena itu, peredaran ijazah palsu bisa saja hingga sekarang masih berlangsung di Indonesia, apalagi daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian lebih dari Koordinator Kopertisnya masing-masing atau peran masyarakatnya yang belum apresiatif. sehingga praktik semacam ini masih bisa melenggang dengan mudah.Semoga bermanfaat.</div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-3879179637504056202009-03-13T22:28:00.000-07:002009-03-13T22:31:59.560-07:00BANK ISLAM :SOLUSI MASYARAKAT TERHADAP BUNGA BANK<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2iCrSY6UQllt-3fP4KbcJtTRryMCELaUpmGVB2Z_FURthNg26XGniyI4rD12ICJLR5uhown2jXrmw7tgL6O_AKT7MDoAulFexEXoKAq9NfDDSuMnW1uS2jNlPN-1di4jlIF-PqORtX5VF/s1600-h/isk.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312911513613466226" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 190px; CURSOR: hand; HEIGHT: 200px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2iCrSY6UQllt-3fP4KbcJtTRryMCELaUpmGVB2Z_FURthNg26XGniyI4rD12ICJLR5uhown2jXrmw7tgL6O_AKT7MDoAulFexEXoKAq9NfDDSuMnW1uS2jNlPN-1di4jlIF-PqORtX5VF/s200/isk.jpg" border="0" /></a>Sampai saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan berhubungan dengan dunia perbankan, karena dengan alasan bahwa bunga bank termasuk praktik riba dalam Islam. Untuk itu, tulisan ini kiranya dapat memberikan pemahaman tentang praktik perbankkan Islam yang ada di Indonesia saat ini.<br />Dalam literatur perbankan Islam di Indonesia, istilah lain yang diperlukan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syariah. Secara akademis, istilah Islam dengan syariah memang mempunyai pengertian lain. Namun secara teknis di Indonesia menyebutkan Bank Islam dan Bank Syariah mempunyai pengertian yang sama.<br />Menurut Ensiklopedi Islam, Bank Islam ialah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam.<br />Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya di dasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis, sedangkan pengertian muamalat sendiri ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat. Muamalah ini meliputi bidang kegiatan jual-beli (bai’), bunga (riba), piutang (qard), gadai (rahan), memindahkan utang (hawalah), bagi untung dalam perdagangan (qirad), jaminan (dhamanah), persekutuan (syirkah), persewaan dan perburuhan (ijarah).<br />Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau berpedoman pada praktik-praktik usaha yang dilakukan di jaman Rasulullah s.a.w, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah, atau bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis.<br />Bentuk-bentuk perdagangan sejak pra-Islam yang sampai sekarang dikembangkan dalam dunia bisnis modern antara lain : al musyarakah (joint venture), al Bai’at-Takjiri (venture capital), al Ijarah (leasing), at takaful (insurance), al Bil’u Bithaman Ajil (instalment-sale), kredit pemilikan barang (al Murabahah), pinjaman dengan tambahan bunga (riba).<br />Pada masa Rasulullah saw. yang membawa risalah Islam sebagai petujuk bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang boleh dilakukan dan dikembangkan serta yang dilarang karena tidak sejalan dengan ajaran Islam. Salah satu bentuk yang dilarang ialah perdagangan yang mengandung unsur riba. Ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat, yaitu pada usia 60 tahun. Sehingga beliau belum sampai memberikan penjelasan secara rinci tentang riba. Oleh karena itu maka peranan ijtihad dari para ulama atau cendekiawan muslim yang bisa diharapkan sebagai penggali konsep-konsep dasar tentang bentuk-bentuk perdagangan yang mengandung unsur riba. Dengan demikian akan diperoleh konsep perdagangan tanpa riba yang salah satu bentuk kelembagaan berupa bank Islam, bank syariah atau bank tanpa bunga<br />Pengertian bank tanpa bunga di sini hendaknya tidak diartikan bahwa bank yang pada operasinya mengganti imbalan bunga dengan bagi hasil. Lebih lanjut hendaknya pengertian bagi hasil tidak disama-artikan dengan pembagian laba pada perseroan. Pengertian bagi hasil di sini tidak ada keterkaitan dengan tanda bukti pemilikan saham atau sejenisnya. Oleh karena itu, bank tanpa bunga mensyaratkan adanya kebersamaan, keterbukaan, kejujuran antara bank dengan nasabahnya sehingga kedua belah pihak dapat merasakan adanya keadilan.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">Ciri-ciri Bank Islam.<br /></span></strong>Bank Islam sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri tersebut adalah :<br />1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak rigid dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Untuk sisa utang setelah masa kontrak berahkir dilakukan kontrak baru untuk menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an surat Al Baqarah, ayat : 280.<br />2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir. Sistem persentase memungkinkan beban bunga semakin menjadi berlipat ganda. Lebih-lebih apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman itu karena suatu hal, maka pada akhirnya bisa terjadi jumlah bunga menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan jumlah pokok pinjaman. Penerapan sistem ini sama dengan bunga-berbunga yang mana hal ini sangat menjerat terutama peminjam yang pada umumnya berposisi lemah kemampuan ekonominya.<br />3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed return) yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui untung-ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanya Allah swt. Artinya bank maupun orang yang bersangkutan sendiri belum tahu pasti, karena sifatnya masih berusaha. Bank Islam menerapkan sistem yang didasarkan atas penyertaan modal untuk jenis kontrak al-mudharabah dan al-musyarakah dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) uang tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penerapan keuntungan di muka hanya diterapkan pada jenis kontrak jual-beli melalui kredit pemilikan barang/aktiva (al-murabahah dan al-bai’u bithaman ajil) sewa guna usaha (ijarah), karena kemungkinan rugi dan jenis-jenis tersebut relatif kecil.<br />4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito/tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al wadiah) sedangkan bagi bank merupakan titipan yang diamati sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank tersebut untung, maka penyimpan akan memperoleh bagian keuntungan yang bisa jadi lebih besar dari tingkat bunga deposito atau tabungan yang berlaku pada bank konvensional. Bentuk lainnya yang berupa giro dianggap sebagai titipan murni karena sewaktu-waktu dapat ditarik kembali, dapat diberikan bonus ijin penggunaan simpanan itu dalam operasi bank dan dapat juga dikenakan biaya penitipan.<br />5. Bank Islam tidak menerapkan jual-beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama, di mana dari transaksi itu dapat menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu dalam memberikan pinjaman pada umumnya tidak memberikan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk pembiayaan pengadaan barang. Dengan demikian tidak diperlukan jaminan kebendaan, karena selama kredit belum lunas barang tersebut masih menjadi milik bank. Kalaupun ada, hanyalah jaminan tambahan dan hanya diterapkan pada transaksi bisnis lintas negara.<br />6. Adanya pos pendapatan berupa “Rekening Pendapatan Non Halal” sebagai hasil dari transaksi dengan bank konvensional yang tentunya menerapkan sistem bunga. Pos ini biasanya digunakan untuk menyantuni masyarakat miskin yang terkena musibah dan untuk kepentingan kaum muslimin yang bersifat sosial.<br />7. Ciri lain bank Islam adalah adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain manajer dan pimpinan bank Islam yang diangkat harus menguasai dasar-dasar muamalat Islam. Ciri ini yang diharapkan dapat menjamin bahwa operasional bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syariah Islam.<br />8. Produk-produk Bank Islam selalu menggunakan sebutan-sebutan dengan istilah Arab, misalnya al-mudharabah, al-murabahah, al-bai’- bithaman ajil, al-ijarah, bai’u takjiri, al-qardul-hasan dan sebagainya di mana istilah-istilah tersebut telah dicantumkan dalam kitab-kitab Fiqih Islam.<br />9. Adanya produk khusus yang tidak terdapat dalam bank konvensional, yakni kredit tanpa beban yang murni bersifat sosial. Produk ini diperuntukkan khusus untuk orang-orang miskin/sangat membutuhkan dan untuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang urgent. Sumber dana untuk fasilitas sosial ini berasal dari zakat, infaq, shadaqah dan pendapatan non halal.<br />10. Fungsi kelembagaan Bank Islam selain menjebatani antara pihak pemilik modal/memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu tanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana tersebut ditarik kembali sesuai dengan perjanjian.<br />Ciri-ciri Bank Islam tersebut di atas bersifat universal dan kumulatif. Artinya, Bank Islam yang beroperasi di mana saja harus memiliki kesemua ciri tersebut, apabila tidak maka hilanglah identitasnya sebagai Bank Islam.<br />Menurut Marulak Pardede dalam tulisannya mengatakan bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat, harus dapat menjaga kesehatannya, karena kesehatan bank merupakan kepentingan dari semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat sebagai pengguna jasa bank maupun Bank Sentral selaku pembina dan pengawas bank. Dengan demikian, pembinaan dan pengawasan bank merupakan salah satu upaya yang besar peranannya dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada gilirannya akan menciptakan terpeliharanya kepentingan masyarakat sebagai penyimpan dana.<br />Munculnya Bank dengan prinsip syariah sebagai alternatif sistem perbankan di Indonesia, akan menjangkau lapisan masyarakat luas yang selama ini tidak mau berurusan dengan bank, karena tidak bisa menerima pranata bunga. Fenomena ini sebagai salah satu sistem perbankan alternatif, telah berlaku secara internasional, baik dalam negara yang menggunakan konstitusi syariah Islam maupun di negara-negara yang berpemerintahan non-Islam. Oleh karenanya keberadaan bank dengan prinsip syariah ini tidak tepat kalau dikatakan sebagai issue agama, melainkan issue sistem. Pada perkembangan berikutnya, lembaga perbankan Islam ini merambah keseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, perbankan Islam yang menerapkan prinsip syariah ini bisa dikatakan telah diakui sebagai salah satu sistem perbankan dunia.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">Halal-Haram Bunga Bank<br /></span></strong>Halal dan haramnya bunga bank telah banyak dibicarakan oleh kalangan ulama. Namun demikian, sampai saat ini belum ada kesamaan pendapat. Masalah pokok yang menjadi pangkal perbedaan tersebut pada ada-tidaknya unsur riba dalam sistem bunga. Sebagian ulama tidak bisa menerima pranata bunga yang dipakai oleh bank-bank konvensional, karena meyakini bahwa pada pranata bunga mengandung unsur riba. Dalam salah satu bukunya, Taqyuddin An-Nabhani secara gamblang menegaskan bahwa syariah atau Hukum Islam telah melarang riba dengan larangan yang jelas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Dalam hal tersebut Bank Syariah mengikuti pendapat ini, sehingga memilih mengoperasikan bank dengan sistem tanpa bunga.<br />Suroso Imam Zadjuli mengemukakan beberapa perbedaan yang terlihat antara lain pada: dasar hukum operasionalnya; asal hasil usahanya; landasan teori ekonomi operasionalnya; risiko kerugian; dimensi waktu; beda harga; motivasi operasional; pinjaman bagi keperluan konsumsi; kewajiban terhadap pemerintah dan masyarakat; batasan operasional; serta tugas pokok konsultannya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, bagaimanapun juga merupakan garapan baru bagi pemerintah dalam dunia perbankan, sedangkan Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang diberi kewajiban untuk menyelenggarakan pengawasan perbankan perlu mengadakan pendekatan-pendekatan baru.<br />Meskipun sebagai produk yang relatif masih baru dalam industri perbankan, namun Bank Syariah memiliki keistimewaan yang dapat diunggulkan, sehingga pemerintah meletakkan harapan besar kepadanya untuk menggali potensi masyarakat guna menunjang pembangunan nasional. Salah satu kelebihan Bank Syariah adalah dalam hal penyaluran dana, yaitu adanya produk dengan nama Al-Qard Al-Hasan. Produk ini merupakan suatu bentuk pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, di mana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali pokok pinjaman. Adapun sumber dana untuk pembiayaan ini berasal dari zakat, infak serta shadaqah.<br />Dengan demikian, meskipun ada produk yang semata-mata untuk kepentingan sosial, namun keliru jika menganggap Bank Syariah adalah bank sosial, apalagi lembaga sosial. Karena dalam aktivitas usahanya, Bank Syariah merupakan bank komersial yang mendasarkan diri pada profesionalisme perbankan untuk memaksimalkan keuntungan. Namun demikian di sisi lain, pada kenyataannya kehadiran Bank Syariah sebagai lembaga berusia “balita”, masih disertai dengan beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi. Oleh karena itu, sebagai muslim kita dapat memilih mana yang terbaik untuk dapat digunakan sebagai pegangan. Semoga bermanfaat. </div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-78127109177941739692009-03-10T18:39:00.000-07:002009-03-10T18:46:09.639-07:00AMANDEMEN;REFORMASI KONSTITUSI DIANTARA DUA KEPENTINGAN<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjOqfInSw0AYdbYNKNhfLFTm5_I2mzUclj6Prp4VjCzPATdpw_hUiTF_OapMLB71r6YSocu8-KbEOtpBZwouE6de8mi5l5910a3TiXopIqx0uMZjj4aMll5EnlrlPn_2ZRCaM3rkevCvLw/s1600-h/foto+artikel.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5311740308685124818" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 183px; CURSOR: hand; HEIGHT: 200px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjOqfInSw0AYdbYNKNhfLFTm5_I2mzUclj6Prp4VjCzPATdpw_hUiTF_OapMLB71r6YSocu8-KbEOtpBZwouE6de8mi5l5910a3TiXopIqx0uMZjj4aMll5EnlrlPn_2ZRCaM3rkevCvLw/s200/foto+artikel.JPG" border="0" /></a> <span style="font-family:arial;"><strong><span style="font-size:180%;">K</span></strong>onstitusi dalam sebuah negara tentunya tidak sekedar sebuah aturan yang tertulis yang berbentuk kertas piagam penghargaan, lebih dari itu konstitusi merupakan tata kehidupan politik yang riil, yang berisikan aturan-aturan yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga pemahaman tentang konstitusi selama ini adalah tulisan yang dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945.<br />Sejak setahun yang lalu, dimana presiden RI ke-2 jatuh dari tahtanya, maka gejolak reformasi mengumandang dimana-mana, mulai dari orang berpendidikan hingga anak kecil yang belum mengerti apa-apa tentang dunia politik. Hal ini seolah cerminan masyarakat yang terlepas kekuasaan seorang diktator yang sangat kuat dan berkuasa.<br />Gejolak reformasi telah membuka masyarakat politik maupun hukum untuk melihat kenyataan para penguasa Republik Indonesia ini dalam dua skala penggantian presiden, dimana setiap presiden memiliki akal yang cerdik untuk memimpin negara ini dengan dalih demokrasi dan atas nama rakyat secara keseluruhan.<br />Masa Orde Lama, kita melihat bagaimana sesunguhnya seorang penguasa mengalihkan seluruh demokrasi ke dalam kancah diktator dan kekuasaan berpusat kepada presiden saja. Kemudian muncul Orde Baru yang notabene ingin menguasai segala aspek kehidupan dengan dalih yang sama. Akhirnya sebuah konstitusi dalam negara Indonesia menjadi permainan politik penguasa untuk menghalalkan apa yang diperbuatnya selama menjadi penguasa.. konstitusi sudah seperti kitab suci yang sakral dan tidak dapat dirubah sama sekali. Undang-undang dibawah UUD 1945 menjadi bahan makanan yang bisa dijadikan apa saja.<br />Oleh karena itu, semangat reformasi setahun yang lalu merupakan momentum untuk rakyat Indonesia kembali sesuai dengan kedaulatan yang merupakan kehendak rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Munculnya kelompok-kelompok diskusi membawa angin segar untuk mengamandemen UUD 1945 dalam rangka menuju kesadaran berbangsa dan bernegara.<br />Permasalan amandemen sekarang adalah bagaimana dengan elite politik yang sedang memeperebutkan kursi di MPR saat ini, apakah mereka akan mengamandemen atau tidak adalah ditangan mereka.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">1. Perlunya Amandemen UUD 1945</span></strong><br />Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi undang-undang dasar negara Indonesia merupakan merupakan Undang-undang dasar yang dibuat pada masa perjuangan untuk memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan. Akantetapi pelaksanaannya oleh penguasa selama lebih dari 40 tahun (dua periode; orde lama dan orde baru) seperti telah diharamkan menggagas UUD 1945 untuk diamandemen sesuai dengan era globalisasi dan kemajuan zaman, bahkan Ahmad Syafii Ma’arif menyebutkan bahwa telah terjadi bukan hanya penyakralan melainkan sudah pemberhalaan.<br />Dengan demikian, dalam pelaksanaannya selama itu tidak terlepas dari naik turunnya pemakai dalam menjalankan roda pemerintahan sehingga mempengaruhi perkembangan demokrasi di negara Indonesia. Diantaranya telah ditabuhnya genderang reformasi setahun yang lalu untuk membangun masyarakat baru dengan pelaksanaan konstitusi yang dikehendaki rakyat Indonesia.<br />Perlunya amandemen, pada prinsipnya dikarenakan adanya isi dari batang tubuh UUD 1945 yang sudah tidak dapat dipakai lagi pada masa sekarang. Walaupun kita akui sebagai tulisan konstitusi yang buru-buru dibuat akantetapi telah menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang sesuai dengan syarat-syarat sebagai sebuah negara hukum.<br />Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa amandemen UUD 1945 yang dimaksud bukanlah amandemen secara keseluruhan akan tetapi hanya berkisar tentang yang dapat dan atau perlu diamandemen saja, seperti halnya pembukaan UUD 1945 tentunya tidak usak diganti karena didalamnya mencakup segala aspek pelaksanaan negara Indonesia. Danmungkin yang perlu diamandemen adalah seperti pembatasan kekuasaan presiden, karena selama ini, UUD 1945 selalu menciptakan dictator.<br />Secara konstitusional, tidak ada alasan untuk mempertahankan dan menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang sakral dan sebagai kitab suci, karena tegaknya hukum suatu negara apabila ditopang dengan tiga hal yaitu; pertama, tercapainya keadilan, kehormatan, martabat serta kemanfaatan, kedua, dilihat dari sistem dan fungsinya, hukum itu sebagai temuan atau hadiah dari Tuhan, suatu putusan orang yang bijak, berfungsi sebagai alat untuk mengoreksi seseorang secara sengaja atau tidak, yang berlaku dalam suatu negara, ketiga, dari segi penegakkannya, hukum suatu pedoman dan perintah mewajibkan semua orang untuk mematuhinya untuk berbagai alasan, karena semua warga negara dan sesamanya sederajat dimata hukum<br />Maka dari ketiga macam pilar tersebut muncul persoalan dimana kedaulatan rakyat di MPR/DPR menjadi tidak independen dan memberikan kesempatan kepada presiden terjun bebas untk mengintervensi lembaga eksekutif dan yudikatif, seperti terjadi selama ini.<br />Oleh karena itu, untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan memiliki cek dan ricek dalam penyelenggaraan pemerintah diperlukan pembaruan terhadap beberapa persoalan dalam konstitusi negara republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.<br />Apabila belum adamya perubahan terhadap konstitusi tersebut, untuk melaksanakan Tap MPR no. XI/1998 tentunya tidak akan pernah dilaksanakan dan tak mungkin akan terjadi karena sistemnya belum diperbaiki, dengan mengubah sistem (politik dan hukum) tentu harus diutamakan dalam segala-galanya.<br />Contoh-contoh yang dapat kita lihat dalam perkembangan sejarah dimana konstitusi hanya sebagai topeng penguasa adalah adanya pemberhentian pejabat yang vokal dan menyuarakan kebenaran, mereka ini biasanya tidak akan lama menjabat dalam struktur penting karena apabila dirasakan akan membahayakn penguasa tentunya tidak akan dibiarkan. Ibarat rumah apabila pondasinya digrogoti rayap tentu harus diberikan insektisida untuk mempertahankan rumah tersebut lebih lama.<br />Contoh lain seperti intervensi presiden dalam sebuah keputusan hukum diperadilan pada masa lalu, ditambah lagi dengan watak dan perilaku para hakim yang memberikan kebebasan dalam memutuskan sesuai dengan pertimbangannya maka dimungkin untuk dintervensi pihak lain dengan mengubah bahasa menjadi enak didengar dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penguasa tersebut.<br />Apabila hal ini selalu dijaga maka negara Indonesia tidak akan pernah menjadi negara yang maju dan demokrasi seperti yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">2. Amandemen merupakan Kepentingan Publik</span></strong><br />Civil society atau masyarakat madani yang berperadaban, dapat diartikan sebagai masyarakat yang utuh (solid) dimana kemajemukan dan kebersamaan menduduki peringkat utama dan dihormati. Sebagai konsep kemasyarakatan, semua negara dan bangsa di dunia ini pada dasarnya berhak bicara dan berkehidupan masyarakat madani sesuai dengan kepentingan, hak serta kewajiban masing-masing.<br />Namun, secara kontekstual mempunyai sistem nilai sebagai acuan filosofis-nya, begitu pula dengan kebijakan (policy) dan segi yuridis. Sistem tersebut tentunya masuk dalam kepentingan rakyat sebagai civil society. Dalam Islam, kepentingan tersebut tidak hanya sebatas muamalah akan tetapi diikuti dengan hubungan nilai ubudiyah dan uluhiyah yang digunakan untuk menncari kebaikan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />Sejarah telah membuktikan selama ini bahwa konstitusi selama ini didengungkan dengan semangat demokrasi tidak dapat dirasakan publik sama sekali, kadang kala apabila ada rakyat yang berbicara tentang kepentingan atau kepemilikan harta presiden saja, maka puluhan aparat akan menjemput kerumah untuk mengantarkannya ke tempat baru ukuran kamar VIP. Atau yang dialami oleh Aktivis HAM,Munir.<br />Kenyataan Indonesia sebagai negara kesatuan, terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama yang berbeda-beda telah melahirkan perubahan sikap yang mendasar terhadap rasa dan nasionalisme. Timbulnya disintegrasi telah mengancam eksistensi negara kesatuan Indonesia. Hal ini karena konstitusi selma ini tidak berjalan efektif dalam memunculkan hubungan proses interaksi sosial kemasyarakatan.<br />Memudarnya semangat persatuan Indonesia, dan meningkatnya tuntutan rakyat disebabkan adanya pemusatan kekuasaan. Tuntutan Otonomi Daerah dalam pengaturan anggaran belanja tahunan semakin adanya hubungan yang erat antara keinginan menetapkan federal sebagai sebagai bentuk yang ideal dalam proses pengolahan hasil bumi masing-masing.<br />Gejolak reformasi yang terjadi di Indonesia semenjak mei 1999, sudah jelas bahwa hal tersebut merupakan pengalaman masa lalu sehingga mencuat platform dan paradigma kerakyatan, keadilan, dan demokrasi untuk menembus rezim orde baru.<br />Oleh karena itu, konteks kepentingan rakyat/publik saat ini sangat dibutuhkan, tentunya yang menyengsarakan rakyat selama ini adalah konstitusinya yang tidak dijalankan secara benar dan adanya pihak penguasa bersembunyi dibalik baju konstitusi untuk menghalalkan atau membenarkan apa yang dilakukanya selama berkuasa, maka hak rakyat tentunya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaanya dan akhirnya menarik feedback dari pengalaman konstitusi secara tuntas dan benar.<br />Kepentingan amandemen pada saat ini tentunya tidak hanya sekedar melihat dari waktu jangka pendek akan tetapi adanya kepentingan jangka panjang yang dapat menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang benar-benar menjadi negara demokrasi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakatnya.<br />Perjalanan perebutan kursi di MPR/DPR saat ini akan menimbulkan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil yang dipilihnya sehingga memberikan inspirasi “krisis kepercayaan” kepada KPU sebagai pelaksana PEMILU tahun 1999.<br />Apabila hal tersebut terjadi, maka para wakil rakyat yang dududk di kursi dewan tentunya tidak akan melihat bagaimana kepentingan publik atau rakyat berperan dalam pelaksanaan konstitusi negara akan tetapi muncul adanya kepentingan seseorang yang akan menduduki kursi kepresidenan, yang selanjutnya dapat mensejahterakan dirinya serta keluarga. Oleh karena itu apabila amandemen saat ini dilihat dari segi politisnya maka hancurlah negara kesatuan Indonesia menjadi negara federal. Siapun yang akan menjadi presiden tidak akan mampu menampung aspirasi apabila diisntegrasi betul-betul terjadi di negeri tercinta ini.<br />Oleh karena itu, apabila Indonesia ingin menuju tatanan politik demokratis, modern, beradab, proses-proses politik struktural-institusional harus diarahkan agar sistem konstitusi agar kembali dan sistem pemilu sebagai cara untuk mendapatkan mandat dari rakyat. Keabsahannya tidak hanya dalam peserta pemilu yang dapat memenangkannya akantetapi bagaimana reaksi rakyat atas kemenangan rakyat. Karena bisa saja pemilu tersebut dilaksanakan secara tidak jujur yang nantinya akan mempermainkan kepentingan pribadi atas kepentingan rakyat secara keseluruhan.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">3. Kepentingan Politik<br /></span></strong>Perjalanan politik Indonesia di era reformasi saat ini menuju kehidupan demokratis yang akan berliku, kini terbentang dihadapan kita tampak memang penuh dengan ranjau yang setiap saat siap meledak. Kondisi politik saat ini yang diwarnai dengan kekerasan dan ekonomi yang sangat memprihatinkan, banyak pihak yang menyangsikan apakah politikus dan pemimpin partai yang menjadi presiden nanti benar-benar akan melakukan perbaikan terhadap kondisi tersebut seperti amandemen UUD 1945.<br />Sejarah telah memberikan inspirasi kepada para calon pemimpin bangsa yang akan memimpin negara ini keluar dari segala krisis yang terjadi saat ini. Sebagai contoh, pembangunan selama 32 tahun menemukan ciri yang khas dalam menjalankan roda pemerintahan dengan mengintensifikasi dan ekstensifikasi proses “retradisionalisasi” dan “refeodalisme” (“mataram Syndrom”) dalam mewjudkan kekuasaannya secara otoritarium.<br />Persoalan yang muncul saat ini adalah dimana amandemen menjadi diskusi yang menimbulkan kesadaran atas tindakan penguasa yang menzalimi rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat yang memilih pemimpin dalam pemilu berharap bahwa akan merubah sistem yang berlaku selama ini dan melakukan amandemen sesuai dengan kepentingan rakyat yang merasa telah mempercayai kepada partai tertentu.<br />Akantetapi perjalanan untuk mengamandemen UUD 1945 menjadi berliku-liku, walaupun akhirnya yang harus kembali kepada MPR yang akan memutuskan apakah perlu atau tidak. Perseteruan politik antar partai saat ini mengenai calon presiden yang akan memimpin negeri ini semakin runcing sehingga tidak ada kesepakatan. Seolah tidak memikirkan rakyat yang sedang menunggu perbaikan negeri ini.<br />Kepentingan politik akan bermain untuk tidak mengamandemen UUD 1945 sesuai dengan masa sekarang. Padahal sejarah Indonesia mengatakan UUD 1945 hanya sebagai syarat untuk mendirikan negara hukum, maka amandemen ini dipelajari sebagai UU sementara karena harus diganti apabila telah merdeka. Tapi kenyataannya selama ini tampaknya ada pensakralan terhadap UUD 1945. Sehingga kepentingan pribadi akan dipertahankan.<br />Hal inilah yang menjadi perdebatan terhadap perlu atau tidaknya amandemen pada kubu yang bersiteru karena kepentingan politik partai tidak akan dapat mentolerir setiap perubahan yang dapat mengganggu perjalanan politik mereka, tentunya jawabannya dapat kita lihat secara riil dalam sejarah dulu yang hampir terjadi peperangan antara muslim dan rakyat keturunan tentang persoalan kehalalan makanan.<br />Oleh karena itu kepentingan politik partai sangat menentukan sejarah perjalanan konstitusi negara sebagai Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang syah. Dengan demikian ada sedikit konspirasi politik bermain dalam mengalahkan tidak perlunya amandemen oleh antar pemimpin atau anggota legislatif untuk mengamandemen UUD 1945.<br /><br />Akhirnya, praktek Pemerintahan Orde Baru yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum terbukti telah menciptakan negara hukum yang bersifat Konstutusional autoritarisme. UU sebagai produk legislatif, Keppres dan Peraturan lainnya, telah nyata-nyata tidak sedikit dipergunakan untuk membenarkan kehendak pihak penguasa. Praktek pemerintahan Orde Baru tercermin dalam kenyataan ternyata tidak sesuai dengan permintaan arus globalisasi. Hal ini karena pemerintah Orde Baru telah memiliki andil besar dalam menciptakan suatu kepercayaan atas pensakralan Pancasila, ideologi negara dan UUD 1945, kenyataan ini bertentangan dengan UUD 1945, pasal 37 dan juga tidak mampu mengikuti arus globalisai baik untuk kepentingan nasional, individu, suku, golongan dan internasional.<br />Oleh karena itu kedepan masih banyak yang mesti diamandemen seperti halnya kedudukan DPD, kok seperti “macam ompong” gitu….artinya UUD 1945 bukanlah kitab suci, masih boleh dirubah-rubah kan….? (semoga mencerahkan)</span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-8484628351033243512009-03-09T21:43:00.000-07:002009-03-09T21:47:40.750-07:00CERMIN BURAM PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA (Sebuah Analisis Tinjauan Sosiologi Hukum) Bagian 2 (selesai)<div align="justify"> </div><div align="justify"><em>3. Fenomena Penegakkan Hukum di Indonesia<br /></em>Ruang lingkup penegakkan hukum sebenarnya sangat luas sekali, karena mencakup hal-hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun dalam bidang penegakkan hukum. Akan tetapi yang dimaksud dengan penegakkan hukum menurut penulis disini adalah penegakkan hukum yang tidak hanya mencakup “law enforcement”, juga meliputi “peace maintenance”. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah penegakkan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi, hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasayarakatan atau penjara.<br />Hukum bukan sekedar kumpulan peraturan tingkah laku belaka, tapi juga manifestasi konsep-konsep, ide-ide, dan cita-cita sosial mengenai pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat. Hal itu tercermin dalam konsep atau cita-cita tentang keadilan sosial, kesejahteraan hidup bersama, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta demokrasi.<br />Pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat dengan sarana hukum ini meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bidang sosial dan budaya maupun dalam bidang ekonomi dan politik. dalam konteks ini, hukum merupakan pedoman bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat.<br />Hukum merupakan kaidah tertinggi yang harus diikuti oleh masyarakat dalam melakukan interaksi sosial, dan oleh penguasa negara dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.<br />Perlu diketahui, bahwa hukum bukanlah merupakan kaidah yang bebas nilai, dimana manfaat dan mudaratnya tergantung kepada manusia pelaksananya atau orang yang menerapkannya. Tetapi hukum merupakan kaidah yang sarat nilai, menentukan identitasnya, harapan-harapannya, dan cita-citanya. Singkatnya, hukum memiliki logika sendiri, kehendak sendiri, dan tujuan sendiri.<br />Walaupun demikian, hukum tidak dapat merealisasikan sendiri kehendak-kehendaknya tersebut, karena ia hanya merupakan kaidah. Oleh karena itu dibutuhkan kehadiran manusia untuk mewujudkan (aparat penegak hukum). Dengan cara memandang hukum seperti itu, maka penegakkan hukum (law enforcement) tidak sekedar menegakkan mekanisme formal dari suatu aturan hukum, tapi juga mengupayakan perwujudan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam hukum tersebut.<br />Penegakkan hukum yang hanya mengandalkan prosedur formal, tanpa mengaitkan secara langsung dengan spirit yang melatarbelakangi lahirnya kaidah-kaidah hukum, membuat proses penegakkan hukum akan berlangsung dengan cara yang sangat mekanistik. Padahal tuntutan hukum bukan hanya pada pelembagaan prosedur dan mekanismenya, tapi juga pada penerapan nilai-nilai substantifnya.<br />Dalam proses perubahan sosial, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam masyarkat bukan hanya faktor internal dalam sistem hukum itu sendiri ((hukum, aparat, organisasi, dfasilitas), tapi juga faktor-faktor eksternal di luar sistem hukum, seperti sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya.<br />Melihat kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa hukum sangat erat dengan kemasyarakatan, oleh karenanya hubungan antara hukum dan penegak hukum yang satu dengan yang lainnya sangat erat sekali. Hal ini sesuai dengan sebuah statemen yang menyatakan bahwa hukum secara sosiologis itu sangat penting, dan merupakan lembaga kemasyarakatan (sosial institution) yang merupakan kumpulan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.<br />Dalam kenyataanya ada tiga unsur pokok yang mempengaruhi terbentuk suatu hukum dan ditaatinya suatu hukum yaitu faktor penegak hukum itu sendiri, faktor masyarakatnya, dan faktor kebudayaannya.<br />Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi dan juga bisa rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban—kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan peranan atau role. Maka dengan demikian mereka mempunyai peranan untuk berbuat atau bertindak, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang menjadi bebannya.<br />Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian, tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan penegak hukum itu menimbulkan konflik baik status maupun perannya.<br />Berbagai situasi sangat mungkin akan terjadi dan dihadapi oleh penegak hukum, dimana mereka harus melakukan diskresi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab lainnya suatu kriminal tersebut terjadi. Dan situasi-situasi tersebut dapat berupa penindakan langsung atau tidak adanya tindakan terhadap pelanggar. Dalam siatuasi ini apabila aparat penegak hukum lambat dalam melakukan aksi hukum terhadap pelaku kejahatan, maka mungkin hukum masyarakat akan terjadi. Karena masyarakat selama ini tidak dapat mencari keadilan sebagaimana yang dimaksud dalam negara hukum Indonesia.<br />Perlu dicermati bahwa penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selama ini pembodohan aparat penegak hukum kepada masyarakat sangat menyakitkan. Contoh beberapa kasus yang terjadi selama ini, di mana para koruptor dapat lepas begitu saja (kasus Edi Tansil, Suwondo, Bank Bali dan lain-lain).<br />Selama ini penegak hukum tidak mampu berkomunikasi dengan masyarakat, maka akhirnya masyarakat lebih mempercayai hukum itu sendiri dengan tindakan nyata tanpa adanya proses pengadilan yang sebenarnya. Apalagi dengan adanya beberapa oknum penegak hukum yang nyata-nyata telah melanggar hukum tetap dilindungi. Maka bukanlah aparat sebagai panutan oleh masyarakat tetapi hukum masyarakat menjadi panutan aparat penegak hukum. Inilah yang harus dicermati bahwa apabila dalam penegakkan hukum tersebut tidak melihat realitas hukum di masyarakat maka kehancuran akan mulai menggerogoti kehidupan hukum di Indonesia pada masa yang akan datang.<br />Beberapa kasus saat ini merupakan pelajaran yang baik bagaimana pembentukkan hukum yang ada di Indonesia saat ini sebaiknya dilakukan. Karena tanpa mengikutsertakan masyarakat, maka penegakkan hukum tersebut tidak akan dapat dilaksanakan, contoh konkrit aktual yaitu adanya Undang-Undang PKB, dalam peraturan tersebut, masyarakat sangat dirugikan dan hukum tersebut dibuat hanya menguntungkan kalangan militer , namun demikian, akhirnya kita dapat lihat bagaimana peristiwa berakhirnya hukum tersebut di masyarakat.<br />Sesungguhnya, tujuan penegakkan hukum berasal dari masyarakat dimaksudkan untuk mencapai kedamaian dan keadilan di dalam masyarakat itu sendir, karena mengalami hukum tersebut setiap hari. Oleh karenanya, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum tersebut.<br />Selanjutnya, kondisi sosial masyarakat Indonesia selalu berbeda pendapat terhadap persoalan hukum. Pengertian hukum menjadi luas menurut masyarakat. Namun demikian, pengertian hukum tersebut mempunyai kecenderungan yang besar dan bahkan mengidentifikasikannya degan petugas. Sebagai akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum tersebut selalu dikaitkan dengan penegak hukum, yang menurut masyarakat merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses daripada hukum itu sendiri.<br />Kaitannya dengan hal tersebut, maka pelanggaran hukum oleh masyarakat dengan model terbaru amuk massa juga banyak dilatar belakangi oleh adanya suatu kegiatan dari penegak hukum itu sendiri yang sedianya untuk bertujuan agar masyarakat mentaati hukum akantetapi malah membuat masyarakat untuk melanggar hukum. Contoh kongkrit, kalau ketaatan terhadap hukum diketengahkan atau dibahas mengenai sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum dilanggar, maka mungkin masyarakat malah hanya taat pada saat ada petugas. Dan mungkin juga jika mempunyai massa yang banyak malah petugas sendiri yang dihakimi massa tanpa ada yang dapat menghalangi hukum yang dilakukan oleh massa itu sendiri.<br />Oleh karena itu, hendaknya sebuah hukum tidak menempuh suatu cara bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang sangat menakutkan, tapi dengan menggunakan cara persuasif lebih tepat. Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku pada masyarakat.<br />Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan kebudayaan-kebudayaan khususnya. Maka akhirnya diketahui bahwa penegakkan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang hanya berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik antara masyarakat dan hukum, begitu juga sebaliknya.<br />Melihat kondisi Indonesia saat ini yang bermacam perilaku baik secara tradisional maupun modern, maka cara yang efektif dalam penegakkan hukum itu sendiri adalah bagaimana caranya mengenal lingkungan sosial dari masyarakat terhadap hukum dengan sebaik mungkin.<br />Akhirnya, eeorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi penegak hukum atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial selalu ada dasar-dasarnya.<br />Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kekuasaan dan wewenang serta penerapan hukum yang akan dilakukan dalam kondisi masyarakat yang demikian.<br />Sebagai hasil akhir, maka dengan memahami dan mengetahui stratifikasi dalam masyarakat maka terbukalah jalan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dilingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terhadap nilai-nilai atau norma-norma serta kaidah-kaidah sangat penting di dalam pekerjaan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi (ataupun yang bersifat potensial).<br />Disamping itu, juga akan diketahui bahwa hukum tertulis yang ada saat ini mempunyai berbagai kelemahan yang harus diatasi dengan keputusan-keputusan yang cepat dan tepat. Penyebab utama dari kelemahan terhadap hukum tertulis Indonesia saat ini adalah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa adanya pendidikan hukum masa pemerintahan Indonesia selama ini yang mengabaikan supremasi hukum dan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan hukum itu sendiri. Sehingga demokrasi yang hendak diterapkan keluar dari jalur dan hanya mengenai beberapa orang pemerintahan saja, sedangkan masyarakat menjadi tertindas dengan adanya hukum tersebut.<br />Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hukum di masa yang akan datang, hendaknya ikutserta dan peran masyarakat harus dominan dalam pembuatan hukum itu.<br /><br /><em>4. Pembentukan Hukum yang Ideal berdasarkan Sosiologi Hukum<br /></em>Sebagaimana dalam pembahasan diatas, maka dapat diketahui bagaimana kondisi baik segi demokrasi, politik, dan penegak hukum di Indonesia selama ini sudah berjalan. Dalam analisis ini akan dibahas tentang upaya mengatasi anarkisme massa dan pembentukan hukum yang ideal dalam konteks sosiologi hukum.<br />Pemerintah ataupun aparat kepolisian perlu merumuskan kembali strategi baru untuk segera mengatasi merebaknya fenomena main hakim sendiri yang menisbikan perikemanusiaan dan kaidah-kaidah hukum. Gejala main hakim sendiri kini sudah ber-eskalasi cukup jauh sehingga cenderung anarkhis, merontokkan pilar-pilar wibawa hukum. Jajaran kepolisian harus menghentikan aksi ini serta bertanggung jawab mengusut berbagai kejadian “pengadilan massa”.<br />Jika kita lihat melalui kaca mata sosiologi hukum, jelas bahwa fenomena pengadilan massa merupakan ketidakberdayaan sistem hukum yang dibuat selama ini dan pengaruh aparat penegak hukum dan akhirnya jika tetap dibiarkan pengadilan massa itu, maka menjadi sebuah fenomena anarkisme yang berbahaya, baik itu terhadap hukum, aparat bahkan akan menjadi suatu kudeta terhadap pemerintah. Karena apabila pengerahan massa yang tidak terkendali dapat kita lihat bagaimana negara ini hancur tanpa ada hukum yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan hukum itu sendiri.<br />Oleh karena itu, fenomena saat ini juga jangan sepenuhnya dianggap sebagai kesalahan masyarakat secara mutlak, tetapi harus dilihat juga apakah tidak mungkin tindakan tersebut merupakan kepedulian masyarakat dalam memerangi para penjahat hukum dengan tindakan nyata. Dengan demikian, pekerjaan yang paling utama yang harus dilakukan para penegak hukum adalah bagaimana mengupayakan agar tindakan masyarakat (pengadilan massa) tidak menjurus menjadi kasar, sampai membakar pelaku kejahatan, tetapi bagaimana caranya agar masyarakat dan aparat keamanan saling membutuhkan dan menjadikannya mitra dalam menghadapi setiap bentuk kejahatan.<br />Pengadilan massa, sesungguhnya merupakan kesalahan dalam memproduk hukum yang selama ini tidak mengindahkan pendapat para pemikir sosiologi hukum dalam membentuk suatu hukum. Dapat kita lihat bagaimana hukum saat ini dibuat, penulis belum melihat i’tikad para penguasa mengikutsertakan masyarakat dalam membentuk hukum tersebut.<br /> Kondisi penegakkan hukum dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut. Namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung konteks sosial dan tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan.<br />Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum dapat dibedakan dalam dua hal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor yang terdapat di luar hukum. Adapun faktor-faktor yang dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana. Sedangkan faktor-faktor di luat sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor penguasa negara.<br />Realitas penegakkan hukum dalam masyarakat kita yang sedang mengalami proses modernisasi juga mempengaruhi faktor-faktor majemuk tersebut. Dengan demikian kondisi penegakkan hukum yang masih buruk dalam masyarakat kita dipengaruhi oleh berbagai faktor.<br />Ada pendapat yang mengatakan bahwa faktor yang berdiri di belakang kelembekkan suatu negara atau ketidakdisipilnan sosial yang meluas, yaitu perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation). Perundangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasi masyarakat dengan segera, berhadapan dengan masyarakat yang umumnya diwarsisi, yaitu otorianisme, paternalisme, partikularisme, dan banyak ketidak aturan lainnya.<br />Tapi menurut penulis, bahwa hal tersebut tampaknya tidak terjadi di Indonesia, karena proses pembentukan suatu undang-undang sangat lamban dan dalam memperbaharui satu hukum saja memerlukan waktu yang sangat lama.<br />Sebagaimana uraian sebelumnya, faktor suatu undang-undang tetap mempunyai pengaruh terhadap kondisi buruk dalam penegakkan hukum di Indonesia saat ini. Ini terjadi karena masih tetap dipertahankannya beberapa undang-undang atau ketentuan undang-undang yang kurang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. hal ini tentunya memicu massa atau masyarakat lebih tidak mempercayai hukum yanga ada di Indonesia saat ini secara keseluruhan.<br />Faktor lain yang paling berpengaruh dalam penegakkan hukum di Indonesia adalah kualitas sumber daya aparat penegak hukum. Bukan rahasia lagi bila aparat penegak hukum, kepolisian, kejakasaan, kehakiman, dan kepengacaraan saling lempar-lemparan di depan pengadilan tapi saling telpon-telponan ketika berada di luar sidang pengadilan.<br />Kurangnya profesionalisme ini terlihat dari lemahnya wawasan dan minimnya ketrampilan untuk bekerja, rendahnya motivasi kerja, dan rusaknya moralitas personal aparat penegak hukum.<br />Faktor-faktor di luar sistem hukum yang berpengaruh terhadap proses penegakkan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Perubahan sosial dan politik penguasa. Kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah, baik dikalangan masyarakat terdidik maupun di seputar masyarakat kurang berpendidikan, bahkan juga di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri.<br />Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi sekarang ini, dengan adanya pengadilan massa terhadap pelaku kejahatan. Tanpa mengenal siapa yang melakukan kejahatan, semuanya harus dihukum sesuai dengan hukum rakyat.<br />Pengaruh perubahan sosial terhadap proses penegakkan hukum di Indonesia tergambar dalam perubahan tata nilai dalam masyarakat Indonesia sendiri. Perubahan tata nilai merupakan perubahan tata kelakuan dalam pola interaksi sosial di antara sesama warga masyarakat. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai baru belum terlembagakan, yang akhirnya mengakibatkan perbenturan nilai-nilai atau terjadinya dualisme nilai dalam masyarakat.<br />Nilai-nilai dualistik tersebut misalnya nilai kemafaatan sosial dan keadilan, nilai-nilai tradisional dan modern, kekeluargaan dan individualisme, pertumbuhan dan pemerataan, materialisme dan spiritualisme dan sebagainya. Ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan tersebut menimbulkan kerancuan nilai dan ketidakpastian hukum sehingga merangsang aparat penegak hukum melakukan tindakan yang bersifat patologis. Maka pada akhirnya masyarakat memilih nilai sendiri dalam melakukan penegakkan hukum yang ada di wilayahnya masing-masing sesuai dengan tuntutan dari masyarakat wilayah tersebut.<br />Untuk menghentikan segala aksi dan protes masyarakat terhadap para penegak hukum melalui berbagai pengadilan massa yang sedang marak saat ini diperlukan sebuah startegi yang besar dalam sejarah penegakkan hukum di Indonesia. Staretgi tersebut berasal dari bagaimana proses membuat hukum yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan sesuai dengan keadaan sosial dan kebudayaan masyarakat di Indonesia. <br />Kesalahan yang paling besar selama ini adalah bahwa hukum di Indonesia yang berlaku dari dulu hingga zaman reformasi saat ini merupakan adopsi hukum yang berasal dari negara lain (contoh hukum pidana), padahal hukum yang telah disepakati oleh pemerintah berlaku di Indonesia belum tentu sesuai dengan budaya dan keadan sosial daerahnya.<br />Seperti halnya persoalan pengadilan massa, hukum pidana Indonesia tidak cukup mengatur kejahatan yang dilakukan massa (tindakan pidana kelompok), kecuali pasal 55 – 56 KUHP yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan, jadi suatu yang tidak mudah untuk menyelidiki perkara ini. Tentunya hal ini kembali kepada bagaimana efektivitas pembuatan hukum yang bersendikan masyarakat dan budaya Indonesia.<br />Oleh karena itu, hukum yang hendak diciptakan di negara Indonesia saat ini harus mengikutsertakan masyarakat sebagai komunitas yang menjalani kehidupan dalam bernegara. Tentunya hukum yang dibuat atas dasar peranserta masyarakat, penegakkan hukumnya akan berbeda dengan pembuatan hukum tanpa mengitusertakan masyarakat.Hal tersebut akan terjadi karena masyarakat mengetahui dan memahami hukum tersebut sesuai dengan apa yang menjadi realitas keadilan dan kedamaian bagi kehidupan komunitas mayarakat itu sendiri. Sedangkan hukum tanpa mengikutsertakan masyarakat, maka mereka tidak pernah dapat memahami akan fungsi ketaatan mereka kepada hukum.semoga bermanfaat</div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-47564127065596352822009-03-06T17:24:00.002-08:002009-03-06T17:31:42.659-08:00CERMIN BURAM PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA (Sebuah Analisis Tinjauan Sosiologi Hukum)<p align="justify"> Bagian I<br /><br /><br />Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, menarik garis antara apa yang itu hukum dan apa itu yang melawan hukum. Hukum dapat berupa suatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasinya sebagai melawan hukum. Yang diperhatikan dan digarap oleh hukum itulah perbuatan melawan hukum baik sungguh-sungguh terjadi (<em>on recht in actu</em>) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (<em>on recht in potentie</em>). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakkan hukum.<br />Kejadian kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini sudah sangat begitu menyedihkan, hukum bukan lagi kumpulan kaidah yang mesti ditaati, tetapi sekedar huruf-huruf yang tidak mempunyai arti apa-apa. Rentetan peristiwa kekerasan massa yang paripurna menggambarkan pudarnya kekuatan hukum saat ini.<br />Menjelang akhir abad ke-20, kita dengan sedih menyaksikan banyak kasus kriminal massal terjadi di Indonesia. Konflik horisontal maupun vertikal, tampaknya akan selalu mewarnai kehidupan hukum di Indonesia saat ini. Apabila kita lihat hukum sebagaimana gambaran di atas, maka orang tentunya tidak akan melakukan pelanggaran hukum apalagi dengan model terbaru saat ini “amuk massa”.<br />Masyarakat sudah lelah menantikan penegakkan hukum yang tidak pasti dan sekedar menjadi panggung sandiwara sinetron politik saja. Bukan hanya untuk kasus-kasus yang berskala nasional yang sangat menyengsakan rakyat kecil, akantetapi juga untuk kasus-kasus yang setiap hari terjadi di tengah masyarakat. Selain polisi, jaksa dan hakim tentu saja berbagai kesulitan yang didera masyarakat juga menjadi pemicu bagaimana hukum itu tidak ditegakkan.<br />Oleh karena itu, rangkaian berbagai peristiwa kriminal massal saat ini patut dijadikan bahan kajian secara mendalam, fenomena apa yang membuat rakyat/masyarakat Indonesia yang dulu terkenal lembut, santun, kini justru mudah terpancing emosionalnya meskipun kadang hanya disebabkan oleh hal-hal yang tampak sederhana dan dengan kondisi yang demikian masyarakat sangat mudah melanggar hukum. Hukum di Indonesia tampaknya tidak mempunyai kharisma di mata masyarakat. Hukum adalah yang nampak dalam penyelesaiannya bukan melalui peradilan yang selalu membebaskan para pelaku kejahatan yang sudah terbukti melanggar hukum.<br />Adanya fenomena amuk massa mengandung faktor pemicu atau faktor korelatif kriminologen-nya dan diakibatkan adanya sesuatu yang keliru dalam mekanisme birokrasi dan penegakkan hukum di Indonesia selama ini.<br />Hal ini juga didukung oleh beberapa kalangan, seperti Dr. Mudji beliau menyatakan bahwa bahwa penyebab utama adanya pengadilan massa adalah bukan semata-mata karena sistem pendidikan kita yang gagal akantetapi ada sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi, seperti adanya proses pembodohan yang berlangsung lama melalui berbagai simbol dan kebijakan, politisasi dan penseragaman. Karena itulah kekerasan semakin menonjol, apalagi banyak elit politik di Indonesia yang lebih suka ber-talk show dalam melakukan aksi nyata. Akhirnya pengadilan massa semakin menonjol dan kekerasanpun selalu mewarnai kehidupan hukum kita saat ini.<br />Berbagai tindakan main hakim sendiri, mencerminkan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai institusi dan fungsinya. Dengan demikian jika aparat tidak mau menegakkan institusi dan fungsinya, maka akan muncul perlawanan yang didorong oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan serba rancu yang akhirnya menimbulkan gejolak sosial dan anarkhi.<br />Lemahnya tradisi hukum di Indonesia saat ini, pada dasarnya tergantung pada semua komponen yang terlibat dalam proses hukum. Bukan semata-mata tergantung pada pengadilan dan para hakim yang menegakkan hukum.<br /><br /><span style="color:#ff0000;">1. Manusia dan Kekerasan<br /></span>Maksud pembahasan manusia dan kekerasan ini adalah untuk mengarahkan bagaimana fenomena hukum seharusnya dibuat.<br />Tindakan kekerasan selama ini sudah berjalan sangat lama sekali, menyadarkan kepada kita akan nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai memudar dan bahkan kurang diperhatikan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Fenomena disekitar kita saat ini menunjukkan bahwa adanya sebagian masyarakat yang menganggap kekerasan atau pola-pola agresitivitas sebagai hal yang biasa atau lumrah. Bahkan ada di antara mereka yang menjadikan sikap dan perilaku agresif itu sebagai sarana dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi saat itu juga.<br />Berlangsungnya praktik seperti demikian, tentunya sangat mengkawatirkan akan kelangsungan bangsa Indonesia selanjutnya, karena perilaku seperti itu menjadikan manusia lebih rendah dari binatang. Kita ketahui bahwa binatang memiliki perilaku yang agresif yang dalam bentuk defensif, yaitu ketika kepentingan hayatinya mulai terancam, maka ia akan melakukan apa saja yang dapat membuat dirinya aman dan damai. Tujuannya adalah bukan untuk mengancurkan, melainkan sekedar untuk menjaga kelangsungan hidupnya.<br />Namun bagi sebagian manusia, destruktivitas dan kekejaman (seperti kekerasan saat ini), justru memberinya rasa puas yang amat sangat. Banyak manusia yang tiba-tiba dikuasai oleh nafsu haus darah untuk melakukan kekerasan dan merusak apa yang ada disekitarnya.<br />Terlepas dari motivasi dan alasan dasar melatarbelakanginya, agresitivitas dalam bentuk tindakan kekerasan atau perilaku yang mengarah kepada kebrutalan merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.<br />Manusia sebagai makhluk yang bereksistensi karena hanya manusia yang menyadari keberadaannya sendiri dan dengan melihat hal itu, manusia dapat memahami antara manusia satu dengan manusia lainnya. Inilah yang dinamakan interaksi sosial.<br />Dengan demikian, dunia manusia dihayati sebagai dunia bersama, dengan demikian kelangsungan kehidupan hukum di Indonesia saat ini tergantung kepada manusianya, sejauhmana ia peduli terhadap kehidupan dan sesamanya dan sejauhmana ia mau menjauhi segala macam bentuk perilaku yang akan menghancurkan kehidupan, tanpa ada kesadaran manusianya tidak akan pernah bereksistensi dalam pengertian yang sebenarnya. Menurut penulis, hal ini juga merupakan anutan para penggagas dan pencinta sosiologi secara umum.<br />Sebagaimana bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, agresitivitas juga bertentangan dengan diametral dengan nilai-nilai universalitas agama. Sehingga kehidupan manusia juga selalu berkaitan dengan agama. Walaupun tindakan main hakim sendiri sangat ditentang oleh agama, akan tetapi bila tanpa adanya peran pemerintah dalam menegakkan hukum secara baik dan benar, penulis yakin sebuah hukum akan selalu menjadi mainan para pihak yang berkepentingan saja, kekerasan semakin menjadi tanpa ada yang dapat membendung arus perlawanan masyarakat terhdap hukum yang sah saat ini.<br />Kekerasan yang terjadi pada masyarakat Indonesia merupakan fenomena yang dilatarbelakangi berbagai dimensi.<br /><span style="color:#ff0000;"></span></p><p align="justify"><span style="color:#ff0000;">2. Cermin Pembangkangan/Pelanggaran Hukum dan Demokrasi Sebagai Salah satu Bentuk Perlawanan Kebijakan Hukum di Indonesia<br /></span></p><p align="justify">Perjuangan masyarakat Indonesia dalam rangka menegakkan hukum dan demokrasi merupakan proses yang telah mensejarah. Meskipun harus diakui bahwa sistem nilai dan perangkat inskonstitusional hukum dan demokrasi telah berlangsung beberapa saat.<br />Upaya untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu kekuasaan dan penindasan budaya barangkali dapat dipandang sebagi motor penggerak hukum dan demokrasi di Indonesia. Namun harus dipahami bahwa bentuk-bentuk budaya politik perlawanan masyarakat dalam upaya membebaskan masyarakat dari kungkungan sistem hukum yang menindas tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai dengan perkembangan sosial yang berlangsung.<br />Seperti persoalan yang mencuat saat ini, dengan adanya pelanggaran hukum oleh masyarakat dengan fenomena amuk massa merupakan pembangkangan terhadap penindasan hukum oleh penguasa kepada masyarakat. Dan peristiwa yang demikian, menurut masyarakat bukan merupakan pelanggaran hukum, karena mereka tidak mempercayai Indonesia sebagai negara hukum. Peristiwa seperti ini, tidak memerlukan pembuktian karena banyaknya saksi di sekitar tempat kejadian perkara.<br />Pada masa perkembangan masyarakat yang masih diwarnai oleh sistem kerajaan dengan tatanan sosial-politik feodalisme, perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut dan cenderung menindas sudah sering terjadi. Sistem perlwanan yang muncul tetap dibalut oleh kultur politik monarkhi, yakni menggunakan bentuk opposition within system, sehingga diakomodasi dan tidaknya sebuah aspirasi atau tuntutan semuanya sangat tergantung pada kearifan sang raja sebagai penguasa sistem. Artinya, kalau raja dangan ing penggalih maka tentunya aspirasi masyarakat dipenuhi. Sebaliknya, kalau raja tidak setuju tidak tertutup kemungkinan para pemrotesnya akan dibasmi hingga tuntas. Salah satu contoh bentuk perlawanan rakyat atau disitilahkan sebagai pembangkangan sipil (civil disobediene) dengan cara berjemur di alun-alun kerajaan atau politik pepe, tidak mempercayai hukum sebagai konstitusi yang sah di Indonesia.<br />Sejarah perjalanan di dunia telah mebuktikan bahwa iklim sosial yang demokratis pada dasarnya ditopang oleh dua pilar utama, yakni mekanisme politik dalam arti formal, dan yang bersifat substansial. Pilar politik pada level yang formal lebih mengacu pada sebuah sistem dan struktur kelembagaan demokrasi perwakilan rakyat atau parlementary. Pembentukan pemerintahan yang sah adalah melalui keterwakilan suara dan perwakilan rakyat, melalui bekerjanya sistem kepartaian, DPR-MPR, lembaga kepresidenan, peradilan, konstitusi dan lain-lain. Jikalau sebuah negara telah memiliki lembaga-lembaga politik seperti tersebut di atas, maka negara itu secara formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi.<br />Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal terbentuk secara mapan akan berkorelasi positif yang otomatis menghadirkan demokrasi.<br />Sebaliknya pilar lain sebagai persyaratan normatif dan substansial yang penting adalah adanya civil liberation di berbagai bidang kehidupan. Artinya, setiap anggota masyarakat baik secara individual maupun kelompok memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan aspirasinya. Apalah artinya sebuah negara yang memiliki sistem parlementer yang mapan kalau tidak terjadi kebebasan riil, sehingga demokrasi yang tidak lebih dari sekedar demokrasi formal. Demkian juga sebaliknya, jikalau terdapat kebebasan untuk mengungkapkan pendapat masyarakat ada, tetapi tidak ada institusi-institusi politik formal maka yang terjadi adalah kekacaun sosial. Jadi, sistem demokrasi dibangun atas dua pilar politik formal dan substansial yang tidak bisa salah satunya ditiadakan dan keberadaan dua-duanya harus saling berinteraksi komplementer.<br />Pemerintahan Orde Baru juga melakukan klaim bahwa dirinya layak disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. meskipun dalam praktek lebih merupakan formalisme dalam berdemokrasi karena telah meniadakan salah satu pilarnya yaitu kebebasan masyarakat. Bahkan hegemoni dan dominasi politik yang dilakukan cenderung melahirkan monopoli makna atas gerakan-gerakan sosial yang mengarah pada protes. Perlawanan rakyat yang tidak puas dengan sistem yang ada dimaknai sebagai membangkang dan dihadapkan secara diametral dengan konstitusi sehingga mendapat cap mbalelo dan inkonstotusional. Padahal maksud dari pembangkangan tersebut dari sisi rakyat adalah meminta pada penguasa agar ruang gerak politik dapat diperluas untuk menuju tegaknya hukum dan demokrasi secara baik dan benar.<br />Bentuk-bentuk pembangkangan rakyat yang lahir pada masa Orde Baru hinga kini dapat dikategorikan sebagai perlawanan politik yang menjelma dalam masing-masing bidang kehidupan manusia. Hal ini dapat meliputi pembangkangan bidang politik, sosial, sastra, budaya dan filsafat. Beberapa contoh yang dapat diungkapkan disini misalnya, demontrasi turun ke jalan, mimbar bebas, sidang rakyat-mahasiswa, amuk massa, maraknya penggunaan bahasa plesetan, bentuk-bentuk ketoprak humor, dekonsruksi wayang kulit (dalang Sujiwo Sutejo), teater kritik (Butet Kartarejasa), puisi-pantomim kritik (Jemek Supardi, Wiji Tukul), dan lain-lain. Kalau kita amati secara cermat maka munculnya berbagai varian pembangkangan tersebut sebagai reaksi politis atas praktek kekuasaan Orde Baru yang mengarah pada kemunafikan. Itulah Orde Baru, di satu sisi mengklaim dirinya demokratis tapi pada sisi lain menindas hukum dan masyarakat.<br />Sayang rezim ini mengalami konfidensi berlebih sebagai akibat dari arogansi kekuasaan elitnya sehingga tidak mampu membaca tanda-tanda kritik politik melalui maraknya berbagai bentuk pembangkangan/pelanggaran hukum tersebut. Maka jatuhlah kekuasaan Soeharto ketika masyarakat memaksa dirinya harus turun dari tahta tanpa ia mampu mewariskan institusi politik yang demokratis pada masyarakat dalam pengertian “skill berdemokrasi” dari lapisan atas hingga bawah. Hal ini berakibat pada munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan, kerusuhan dan ancaman disintegrasi sosial yang dapat kita rasakan dampaknya hingga sekarang. Apalagi saat ini dengan adanya fenomena peradilan massa makin menambah daftar pelanggaran hukum secara kolektif di Indonesia.<br />Ketika era reformasi tiba, pembangkangan kian marak. Harus diakui bahwa tindak protes memiliki dimesi majemuk. Apa yang berlangsung dengan eskalasi tindakan atau perilaku kekerasan tidak lain karena sosialisasi politik masa lalu yang didominasi oleh repressi dan cara-cara penindasan. Para petani yang pada rezim Soeharto mengalami marginalisasi kerena tergusur tanahnya untuk “pembangunan” melakukan tuntutan kembali atas haknya melalui “penjarahan kembali”. Bahkan lapisan bawah yang selama ini tertindas disinyalir melampiaskan kekecewaannya dengan cara mengamuk dan merusak apa saja yang menjadi simbol-simbol kekuasaan negara yang absolut. Kendatipun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya amuk massa yang menelan korban besar, baik material maupun nyawa tersebut juga merupakan akibat kreasi provokator-provokator yang tidak menginginkan perubahan politik.<br />Ini semua merupakan bukti bahwa kesadaran yang telah merebak di kalangan masyarakat akan ketertindasan masa lalu sudah cukup untuk membentuk politik hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini. Ketiadaan pendidikan sipil (<em>civil education</em>) pada masa pemerintahan Soeharto dan absennya perilaku demokratis telah membawa bangsa Indonesia pada era reformasi ini dalam situasi chaos. Adalah langkanya skill berdemokrasi yang internalized dalam setiap benak dan perilaku individu-individu anggota masyarakat. Masih jauh dari harapan bahwa gerakan-gerakan pembangkangan/pelanggaran terhadap hukum dan demokrasi yang terjadi, berubah menjadi protes konstruktif, melahirkan opini publik. Menjadi perdebatan dalam politik resmi (parlemen dan pemerintah), dan melahirkan sebuah kebijakan publik. Untuk sementara ini, makna sosial pembangkangan/pelanggaran hukum masih belum berubah, yaitu melawan pada rezim dan sebagai tindakan salah.<br />Kekecewaan baru termanifestasi sebatas pada perlawanan, belum mewujudkan dialong yang positif. Kekecewaan masih melahirkan “politik sikut-sikutan”, artinya masih ada kecenderungan bahwa upaya membela kebenaran diri dengan jalan “mematikan” pihak lain. Kalau hal ini yang terjadi secara terus menerus, maka masa depan Indonesia menghadapi perkembangan politik yang buran. Salah satu legitimasi untuk meredakan kekecewaan politis rakyat adalah dengan menyelenggarakan hukum dan demokrasi secara jujur dan tranparan tanpa melihat berbagai bentuk jabatan atau kekayaan pelanggar hukum. Tapi itu juga tidak merupakan jaminan, karena semua kembali pada perilaku politik formal saat ini, selain sosialisasi nilai berdemokrasi di tingkat masyarakat. Mampukah ia membawa kapal Indonesia pada masa depan politik yang lebih demokratis. (bersambung..)</p>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-58236658908417673822009-03-05T00:37:00.000-08:002009-03-05T01:08:53.829-08:00FAKTOR INTERNAL DALAM INTERALISASI NILAI-NILAI AGAMA<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVjTsRcSnTtMj7AleIHUqpGWIWF4hDSyEjotGpG6qZd2EPwMvmTMISLw6gg1Qlu8k13a3onxSADEaP3z06xTZBr-50X3t82NArvC-p64rlkoim_jPtEtdkfAqNZyknlKMFeDb80En9plwW/s1600-h/foto+saya+lagi.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5309627731112536482" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 161px; CURSOR: hand; HEIGHT: 186px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVjTsRcSnTtMj7AleIHUqpGWIWF4hDSyEjotGpG6qZd2EPwMvmTMISLw6gg1Qlu8k13a3onxSADEaP3z06xTZBr-50X3t82NArvC-p64rlkoim_jPtEtdkfAqNZyknlKMFeDb80En9plwW/s200/foto+saya+lagi.JPG" border="0" /></a><span style="font-size:180%;">S</span>endi-sendi fundamental yang mendasari kehidupan psikologis manusia yaitu iman dan tauhid berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil didorong dan dipacu untuk berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup <em>Fastabiqul Khaeraat.<br /></em>Masalah pokok yang sangat menonjol dewasa ini adalah kaburnya nilai-nilai agama dalam masyarakat. Mereka dihadapkan kepada berbagai kontradiksi dan aneka ragam pengalaman moral, yang menyebabkan mereka bingung untuk memilih mana yang baik untuk mereka. hal ini tampak jelas pada mereka yang sedang pada usia remaja, terutama pada mereka yang hidup di kota-bkota besar di Indonesia yang mencoba mengembangkan diri dari arah kehidupan yang disangka maju dan modern, dimana berkecamuk aneka ragama kebudayaan asing yang masuk seolah-olah tanpa saringan.<br />Sikap yang mengejar-kemajuan lahiriyah tanpa mengindahkan nilai-nilai moral yang bersumber kepada agama yang dianutnya, mengeyebabkan generasi muda kebingungan bergaul karena apa yang dipelajarinya disekolah bertentangan dengan apa yang dialaminya dalam masyarakat, bahkan mungkin bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri di rumah.<br />Kontradiksi yang terdapat dalam kehidupan generasi oenerus itu, menghambat pembinaan moralnya. Karena pembinaan moral itu terjalin dalam pembinaan pribadinya. Apabila faktor-faktor dan unsur-unsur yang membina itu bertentangan antara satu sama lain, maka akan goncanglah jiwa yang dibina terutama mereka yang sedang mengalami pertumbuhan dan perubahan cepat.<br />Kegoncangan jiwa akibat kehilangan pegangan itu telah menimbulkan berbagai ekses terhadap kehidupan bermasyarakat. Seandainya keadaan itu dibiarkan terus berjalan dan berkembang, maka pembangunan bangsa kita akan terganggu, bahkan mungkin akan gagal. Karena tujuan pembangunan kita adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup, yang seimbang antara kemakmuran lahiriyah dan kebahagiaan bathin, atau dengan kata lain, sifat pembangunan negara kita adalah pembangunan yang seimbang antara jasmani dan rohani, antara materiil dan spirituil antara kehidupan dunia dan akherat.<br />Secara nasional faktor-faktor tersebut bahayanya adalah menghambat tercapainya tujuan pembangunan dan secara pribadi atau masing-masing anggota masyarakat, mereka akan kehilangan kebahagiaan.<br />Kalau kita kaji secara mendalam ada beberapa faktor internal dalam interalisasi dalam nilai agama hal ini memang sangat rentan, namun hal itu harus menjadi perhatian bahwa memang hal tersebut sangat berperan dalam timbal balik pemahaman nilai agama.<br />Adapun faktor-faktor internal dalam interalisasi tersebut diantaranya :<br />1. <span style="color:#000066;">Usia/umur<br /></span>Waktu atau usia yang dimiliki oleh seseorang sangat berpengaruh terhadap pemahamannya akan nilai-nilai agama. Hal ini dapat kita perhatikan bahwa masa remaja adalah masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa, atau dapat dikatakan bahwa masa dewasa adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.<br />Anak-anak jelas kedudukannya yaitu yang belum dapat hidup sendiri, belum matang dari segala segi, tubuh masih kecil, organ-organ belum dapat menjalankan fungsinya secara sempurna, kecerdasan, emosi dan hubungan sosial belum selesai pertumbuhannya. Hidup masih tergntung pada orang dewasa, belum dapat diberi tanggungjawab atas segala hal. Dan mereka menerima kedudukan seperti itu.<br />Masa dewasa juga jelas. Pertumbuhan jasmani telah sempurna kecerdasan dan emosi telah cukup berkembang. Segala organ dalam tubuh telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik, disamping itu ia telah mampu mencari rezeki untuk kepentingan dirinya, dia tidak bergantung lagi kepada orang tua atau orang lain. Dia telah diberi oleh tanggungjawab dan mampu memikul tanggungjawab tersebut. Dia diterima masyarakat, diamana dia berada sebagai orang dewasa yang matang, pendapatnya patut didengar, pertimbangannya perlu diindahkan dan dia diberi kepercayaan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, baik kegiatan sosial, politik, ekonomi maupun agama.<br />Ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama, pada dasarnya diterima oleh seseorang pada masa kecilnya. Ide agama yang diterimanya waktu kecil itu akan berkembang dan bertambah subur, apabila anak atau remaja dalam menganut kepercayaan itu mendapat kritikan dalam hal agama. Tentunya apa yang tumbuh dan berkembang itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.<br />Masa-masa muda yang mendapat didikan agama dengan cara yang tidak memberi kesempatan untuk berpikir logis dan mengkritik pendapat-pendapat yang masuk akal, disertai pula oleh kehidupan lingkungan dan orang tua, yang juga menganut agama yang sama, maka kebimbangan para generasi muda dalam memahami agama agak berkurang.<br />Dapat kita pelajari bagaimana seseorang yang sudah berumur akan sangat berpengaruh dalam melakukan aktivitas nilai-nilai agama dibandingkan dengan seseorang yang masih belia umurnya, faktor usia memang sangat vital.<br />Pemahaman orangtua atau orang dewasa sangat berperasaan dalam melakukan aktivitas nilai agama, pengaruh usialah yang sangat dominan. Hal ini dikarenakan orang yang sudah dewasa akan lebih bijaksana dalam melakukannya dibandingkan orang yang masih belia.<br />Sebagai contoh kita lihat bagaimana interalisasi nilai agama bagi anak muda dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan dengan orang dewasa, nampaklah bahwa orang-orang muda selalu ada dibelakang dan tidak akan muncul kedepan karena merasa belum pantas dan sebagainya untuk maju sebagai orang pertama.<br />Demikian juga dalam hal sholat berjamaah, orang tua akan lebih didahulukan dibandingkan dengan anak muda sebagai imam, karena beberapa keadaan lingkungan yang membuat hal tersebut terbentuk, walaupun nilai ajaran agama tidak mengajarkan demikian, namun pemahaman masyarakat akan hal itu hingga sekarang ini tidak atau belum dapat dirobah.<br /><br />2. <span style="color:#000066;">Pendidikan</span><br />Hubungan antara pendidikan dengan masyarakat (manusia) erat sekali, maka dalam proses perkembangannya saling mempengaruhi, mesin pendidikan yang kita namakan sekolah dalam proses perkembangannya tidak terlepas dari gerakan mesin sosial. Mesin sosial diselenggarakan segenap komponen kehidupan manusia, terdiri dari sektor-sektor sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama.<br />Kalau kita lihat dalam pemahaman interalisasi agama pada pendidikan oleh masyarakat yang menerima agama, maka akan sangat berpengaruh jelas akan ketimpangan dan hubungannya dalam pelaksanaan kehidupan ini<br />Seseorang akan memahami nilai agama sesuai dengan apa yang dipelajari masa sebelumnya, jadi apa yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari merupakan interalasi apa yang diterimanya dari pendidikan atau orang yang mengajarinya.<br />Faktor pendidikan agama yang dimiliki seseorang mempunyai peranan penting, karena sebagai wujud dari pemahamannya terhadap agama maka ia akan mentransfernya dalam kehidupan.<br />Oleh karena itu, apabila pendidikan agama yang diberikan kepadanya menyimpang, maka akan terjadi kesalahan fatal dalam mentransfernya kepada kehidupan nyata, dapat kita lihat maraknya pendidikan agama yang kesemuanya sangat menyentuh para orangtua agar anaknya masuk dalam lembaga tersebut.<br />Namun harus disadari bahwa pendidikan agama bagi seseorang sangat berpengaruh besar nantinya terhadap kehidupannya, maka haruslah dipilih lembaga pendidikan agama yang mana untuk kepantasan dan kecocokan baginya karena apabila adanya pemaksaan terhadap pendidikan agama maka yang bersangkutan akan merasa terpaksa dan akahirnya akan berbahaya bagi kehidupannya dalam menginteralisasi nilai agama dalam kehidupannya.<br /><br />3. <span style="color:#000066;">Faktor Fisiologis dan Psikologis</span><br />Kondisi umum jasmani bagi seseorang sangat berpengaruh bagi semangat dan intesitas seseorang dalam melaksanakan ajaran agama, kita ketahui bersama bahwa apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka yang bersangkutan secara outomatis akan berkurang dalam menginteralisasikan nilai agama dalam kesehariannya.<br />Untuk mengatasi akan adanya kondisi tubuh yang menurun, maka diperlukan pemeliharaan kesehatan secara rutin, apabila seseorang dalam keadaan sehat jasmani, maka seseorang akan dapat melakukan transfer nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.<br />Sebagai bukti dapat kita lihat bagaimana seseorang dapat datang ke masjid seandainya yang bersangkutan sakit parah, bahkan untuk berdiri melakukan sholatpun tidak bisa, dengan demikian dapat kita pahami bahwa interalisasi nilai agama bagi orang tersebut tidak maksimal dilakukan. Oleh karena itu kondisi yang prima dan bugar dapat menggerakkan seseorang menerapkan nilai agama dalam kehidupannya sehari-hari.<br />Oleh karena itu, keadaan tonus jasmani seseorang dapat dikatakan sebagai latar belakang implementasinya, karenanya keadaan seseorang yang segar akan lain pengaruhnya daripada keadaan jasmani yang kurang segar.<br />Adapun faktor psikologis juga dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam menyerap dan menjlankan nilai agama.<br />Psikologis tersebut akan menurunkan intelegensi manusia dalam menggerakkan otot-otot atau organ-organ tubuh lainnya karena apabila intelegensinya menurun akan menurun pula implementasinya karena otak merupakan menara pengontrol hampir selurubaktivitas manusia.<br />Untuk itu, faktor-faktor psikologi yang harus diperhatikan dalam rangka peningkatan kualitas interalisasi nilai agama adalah diantaranya sikap, bakat, minat, dan motivasi. Keempat hal ini selalu terkait dengan apa yang akan menjadi panutan dan pemahaman seseorang dalam memahami nilai agama dalam kehidupannya.<br />Namun ada beberapa faktor lain dari psikologis seseorang ini yang harus menjadi perhatian yaitu :<br />- adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas<br />- adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju<br />- adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru, dan teman-teman.<br />- Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun kompetisi.<br />- Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai ilmu atau agama.<br />- Adanya ganjaran hukuman sebagi akhir dari apa yang tidak dikerjakan apabila sudah mengetahui.<br />Namun ada pendapat lain yang bermeda dengan motif-motif ini yaitu Maslow mengemukakan :<br />- adanya kebutuhan fisik<br />- adanya kebutuhan akan rasa aman bebas dari kekhawatiran<br />- adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain.<br />- Adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan masyarakat<br />- Sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri.<br /><br />Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor tersebut pada prinsipnya harus diperhatikan, faktor internal dalam interaliasi nilai agama merupakan faktor mendasar dalam pemahaman nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, faktor internal dalam hal ini juga akan dipengaruhi akan beberapa hal faktor eksternal yang nantinya akan berkesinambungan dalam mengisi keduanya sebagai timbal bail dalam implementasinya.<br /><br />Bahan Bacaan<br />Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (jakarta: Rajawali, 1987)<br />Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)<br />Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung: Bumi Aksara, 1994)<br />W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Grasindo, 1996)<br />Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) </div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-15229732021203091072009-03-02T06:28:00.000-08:002009-03-02T06:41:08.128-08:00KONTES IDOL DI PENTAS POLITIK 2009<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPr1xj18YgoHSa9kLOszVBEkfR0zjBNOuZ49ZpVis1SDTQ46Dr_bBczAjJmF0nU-BaULtZmQEwKQmQ3MDhQW3mdjtqRuzgpT-waf_E_5mMAiB6vIwlodgKhksIYEqnXaezm_uZRX2v1PZh/s1600-h/foto+saya.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5308599961570532546" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 124px; CURSOR: hand; HEIGHT: 116px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPr1xj18YgoHSa9kLOszVBEkfR0zjBNOuZ49ZpVis1SDTQ46Dr_bBczAjJmF0nU-BaULtZmQEwKQmQ3MDhQW3mdjtqRuzgpT-waf_E_5mMAiB6vIwlodgKhksIYEqnXaezm_uZRX2v1PZh/s200/foto+saya.JPG" border="0" /></a><br /><div align="justify"><span style="font-size:180%;"><strong>M</strong></span>endengar kata “idol”, kita diingatkan dengan acara reality show terbesar di Indonesia dalam ajang music. Acara yang merupakan adopsi dari Negara Paman Sam tersebut telah membuat demam seluruh Negara termasuk Indonesia. Acara yang sangat digandungi kalangan anak muda ini merambah dari perkotaan hingga pedesaan. Siapa sih yang gak kenal dengan pemenangnya, kalangan anak muda hafal betul siapa jagoannya, mulai dari keluarga hingga yang sangat pribadipun dapat diketahui public. Begitulah idol, katanya mencari bakat generasi muda dibidang music. Memang sih, banyak yang sukses melalui acara tersebut, bahkan dari generasi babel pun pernah memegang jabatan bergengsi dikalangan anak muda tersebut, walau memang yang bersangkutan hampir dikatakan lupa dengan “kampung halaman”. Mungkin karena asik dengan jabatan yang dipegangnya tersebut.<br />Fenomena Idol music ini dikomentari berbagai kalangan dari berbagai sisi, sebagian mengatakan betapa besar untung yang diperoleh dari bisnis SMS yang dipergunakan dengan diimingi hadiah, namanya juga anak muda sambil dukung jagoannya, semoga dapat untung. Tidak luput juga para orang yang sudah berumurpun ikut nimbrung karena hadiahnya. Maklum saja dimasa krisis apa saja bisa dilakukan sebagian orang agar mudah mencari untung. Jika kita kalkulasikan dengan angka, berapa juta orang setiap efisode ditayangkan sms yang masuk. Wah…jumlah yang cukup fantastis jika dikomentari dari sisi bisnisnya.<br />Sisi lain, bakat anak nageri yang terpendam dapat terangkat baik dari kalangan masyarakat modern hingga masyarakat yang bawah (belum mendapatkan informasi canggih), juga ada sebagian yang ingin merubah hidup.<br />Dalam perjalanan menuju idol, seorang calon idol mempromosikan dirinya melalui kemampuan menyanyi, dan fermomance diri lainnya. Melalui televisi, spanduk dan berbagai macam cara dilakukan, baik oleh pengelola maupun pendukung/supporter yang kadang sang calon idol tidak kenal sama sekali. Tapi itulah pola promosi idol, menampilkan kemampuan memperoleh perhatian, dan hebatnya lagi calon idol telah menampakkan diri akan kemampuannya, semuanya diserahkan kepada masyarakat pemilih, siapa yang pantas menjadi idol terbaik.<br />Bagi pemenang idol, kita masih bisa melihat mereka dengan karya-karyanya yang baru dan bagi pendukung, supporter masih bisa menikmati kemampuan sang idol dalam bernyanyi. Bagi yang belum beruntung menjadi idol, mereka menyampaikan selamat kepada sang idol, mereka juga masih berkarya terkadang karyanya lebh baik lagi dari sang idol. Itulah hal bijaksana dalam kontek idol dibidang music.<br />Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini,khususnya Kepulauan Bangka Belitung betapa maraknya idol-idol politik menuju kursi parlemen, sepanjang jalan, persimpangan, perempatan, pertigaan, kuburan, hutan-hutan, jembatan, tempat pemandian, kolong-kolong, bahkan menjaga pohon-pohon sepanjang hari, semuanya dihiasi calon idol politik 2009. Ada yang mengatakan sekarang gak usah takut jalan malam-malam karena banyak yang jaga. Begitulah komentar masyarakat berbagai macam terkait idol politik.<br />Promo idol politik terkadang disandingkan/berdekatan dengan iklan salahsatu promo telpon seluler yang notabene iklan tersebut bukan dibintangi oleh komunitas dari kalangan manusia, Bisa mengandung banyak makna. Itulah trik promo, dibeberapa daerah dipulau jawa, caleg bersandingan dengan salahsatu artis terkenal seperti Ahmad Dhani karena mau mengambil hati kalangan muda, ada juga yang unik didaerah jawa timur bersandingan dengan Macan dibelakangnya, entah apa maksudnya, apakah akan menangkap yang akan korupsi, namun belum ada yang berani berdampingan dengan para dukun, seperti “dukun Ponari dari Jombang”. Kan siapa tahu batu petirnya menyambar para pemilih langsung contreng calon idol politik atau jangan-jangan sang calon idol politik sudah kedukun namun tidak terekspose. Kan malu kalau ketahuan…….?<br />Demikian juga halnya dengan promo lainnya sepeti Bangka Belitung, dilakukan dengan berbagai cara, mulai calon idol dari kalangan muda hingga yang sudah bertahun-tahun terjun dikancah politik. Ada yang sudah lama gak pakai kopiah, sekarang pakai kopiah, sudah lama tidak ke masjid, sekarang sering mendatangi masjid, pengajian dan sebagainya yang berbau agama. Mulai dari gaya yang sangat jaim hingga yang koboi, begitulah cara mencari simpati, karena targetnya adalah kalangan mana yang hendak direbut suaranya.<br />Anak muda selalu mengagungkan bahwa mereka siap membangun negeri ini, demikian juga kalangan lama dalam politik, sama-sama membangun, kata kuncinya adalah “tidak korupsi”, ya itulah slogan. Apakah nanti terealisasi atau tidak yang penting semangat sudah ada untuk mengatakan “tidak korupsi”. pelaksanaanya belum tahu, karena kan belum masuk sistem, kalau sudah masuk sistem, nanti nampak pintunya masuk dimana dan pintunya keluar arah mana. Karena di legislative bukan suara individual namun fraksi, seperti yang pernah dilakukan Angelina Sondak yang tidak setuju dengan UU Pornografi, namun partai menyatakan setuju, akhirnya suara yang bersangkutan tenggelam.<br />Kontes pemilu 2009 ini memang unik, beberapa sisi diuntungkan, karena betapa peranserta para kontestan idol politik meramaikan balehonya diberbagai persimpangan, tim sukses yang meraup keuntungan dimasa krisis, lumayan sih…daripada kerja harian belum tentu dapat uang,lebihbaik jadi tim sukses dapet uang makan, artinya sudah membuka peluang kerja untuk sebagian orang, bagi para pemilik percetakan berapa keuntungan yang diperoleh, kalau dibayar calon idol, kalau sempat gak dibayar, wah berapa ruginya…?<br />Bagi pemenang idol di kontes politik 2009, ternyata dialah yang memang terpilih menjadi idol, artinya pilihan masyarakat kebanyakan melihat kemampuan idol tersebut dari berbagai segi. Tentunya yang akan dipikirkan bagaimana timnya yang sudah memenangkan sang idol, dilupakan, melupakan atau sengaja gak tahu lagi, tergantung janji yang pernah terucap kata yang pernah tersampaikan. Biasanya uphoria kemenangan akan selalu menghiasi hari-hari menjelang pelantikan, berbagai acarapun dibuat agar konstituen tetap percaya kepada sang idol. Mungkin uphoria tersebut hanya sesaat, selebihnya mungkin sang idol sudah sulit untuk ditemui karena alasan sibuk sebagai wakil rakyat, karena sebelum menjadi idol, sang calon sangat mudah ditemui bahkan sang calon idol yang mendatangi konstituen, setelah menjadi idol, tentunya bak selebritis, agenda pun sangat padat, undangan pelatihan dari Jakarta mengalir bak air bah, nomor telepon seluler yang tadinya mudah dihubungi semakin sulit karena sejak menjadi idol memiliki nomor ganda, nomor yang tidak terdata dalam HP sang idol tentunya tidak akan diangkat. Bisa jadi nomor lamapun dihilangkan.<br />Konstituen mulai dilupakan, apalagi pada saat kontituen membutuhkan dana dalam acara masyarakat, sang idol semakin sulit dicari, didatangi kerumah kata penjaganya sedang keluar kota, dikantor, maaf bapak sedang rapat, begitulah sang idol politik. Menjadi selebritis yang sulit dicari, kaca kendaraan ditutup rapat-rapat bahkan sulit untuk dilihat dari luar. namun lima tahun yang akan datang, apabila akan menjadi idol periode berikutnya, muncul lagi sang calon idol tersebut. Lagi-lagi sang calon idol mudah dicari dan mudah dihubungi. Begitulah seterusnya.<br />Bagi yang belum beruntung dalam kontes idol politik 2009, artinya bukanlah kekalahan mutlak, namun kemenangan yang tertunda, masih ada kesempatan periode berikutnya, dengan mempelajari kekalahan kita dari sisi mana, dan mempelajari kemenangan idol dari sisi mana saja. Menjadi orang yang menerima kekalahan dan menyambut bagi yang menang adalah hal yang sangat bijak dalam berdemokrasi, bukan membuat statemen negative bagi sang idol, dalam berdemokrasi manakala belum bisa menerima kenyataan artinya kita belum siap untuk berdemokrasi, seorang calon idol mesti memiliki hal bijak apabila ingin menjadi idol politik yang sejati. Karena kepentingan rakyat lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan pribadi, begitulah slogan ketika menjadi “calon idol”. Tapi kenapa berubah ketika kita kalah….?<br />Gugatan dalam pasca pemilu dengan data yang kurang akurat sebenarnya menunjukkan kurangnya kedewasaan dalam berdemokrasi. Kepentingan pribadi lebih dimunculkan ketimbang kepentingan umum, dengan dalih “atas nama rakyat”. Mestinya kita melihat kondisi sekarang lebih kepada rakyat yang dimasa krisis seperti ini memerlukan wakil rakyatnya memikirkan mereka, jadilah idol politik yang bijaksana, siap menjadi idol politik 2009, siap juga menjadi penonton idol politik.<br />Itulah idol kontes music dan idol kontes politik. Semoga calon idol politik 2009 tidak menjadikan tulisan ini dilihat dari sisi negatifnya, namun lebih pada semoga hal-hal negatif sebagaimana uraian diatas dapat sebagai bahan pandangan manakala menjadi idol dan juga kalah dalam kontek idol politik. Semoga bermanfaat<br /></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-9745528402676823822009-02-23T19:12:00.001-08:002009-02-23T19:15:47.997-08:00MENANGANI KEKERASAN PADA PEREMPUAN…?<div align="justify"><span style="font-family:verdana;"> <br /><br />Allah menciptakan manusia itu secara berpasang-pasangan. Secara kodrati setiap manusia memiliki kecenderungan untuk lawan jenisnya. Islam memberikan kecenderungan legitimasi terhadap hasrat seksual tersebut melalui sebuah lembaga yang bernama perkawinan, guna membentuk rumah tangga yang bahagia sebagaimana firman Allah (Q. S. Ar – Rum (30) ; 21)<br />Namun tidak selamanya suatu rumah tangga mampu memberikan suasana harmonis bagi penghuninya. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa bila salah seorang diantara anggota rumah tangga tidak memahami apalagi tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam, maka akan timbul faktor-faktor yang mengganggu kerukunan rumah tangga. Dan penanggulangannya tergantung pada penyebab penyimpangan dari petunjuk Islam dalam mencapai rumah tangga yang dikehendaki oleh Allah SWT. Setiap rumah tangga dibentuk oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak saja sudah lain jenisnya, juga berlainan sifat dan tingkah laku, maka faktor-faktor yang sederhana ini sudah merupakan faktor yang dapat mengganggu kerukunan rumah tangga. <br />Dalam suatu rumah tangga pertengkaran atau perselisihan antara suami dan istri adalah hal biasa dan wajar, pertengkaran kadangkala dinilai sebagai asam garamnya hidup berumah tangga. tetapi petengkaran yang terus menerus tidaklah wajar, ketidak wajaran pertengkaran juga terjadi jika diwarnai tindak kekerasan, seperti menganiaya pasangannya, menampar, memukul dan sebagainya.<br />Faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan rumah tangga antara lain adalah :<br />1. Tidak mengetahui dan mempelajari aturan agama Islam.<br />2. Kecewa, karena apa yang diharapkan sebelum perkawinan tidak tercapai, contoh ; seorang</span></div><div align="justify"><span style="font-family:verdana;"> suami mengharapkan istrinya yang taat beragama, ternyata ia adalah perempuan yang</span></div><div align="justify"><span style="font-family:verdana;"> pemalas.<br />3. Belum matang untuk berfungsi sebagai suami atau istri, yang pada akhirnya rumah tangga jadi berantakan.<br />4. Masalah ekonomi, yang banyak sekali merupakan faktor yang utama dalam perceraian di Indonesia.<br />5. Suami yang mudah terayu oleh perempuan lain, sehingga si istri menjadi cemburu dan sebagainya.<br /><br />Apabila ada perselisihan atau kegoncangan dalam keluarga, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menempuh secara damai, mengendalikan diri dan tidak mengikuti hawa nafsunya. Perselisihan atau konflik yang terjadi antara suami istri adalah sesuatu yang wajar, tetapi penyelesaian konflik dengan kekerasan tidak dapat dibenarkan.<br />Selama ini kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya lebih dimaksudkan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Adapun yang disebut sebagai kekerasan terhadap istri adalah segala perilaku yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yang sifatnya menyakiti baik secara fisik, emosi atau psikologis dan seksual sehingga menyebabkan si istri hidup dalam situasi keseharian yang menyakitkan.<br />Membicarakan masalah kekerasan terhadap istri mengingatkan kita pada gambaran akan istri yang teraniaya atau istri yang terlantar karena tindakan suami yang semena-mena kepada mereka. Kekerasan terhadap istri pada prinsipnya merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga masalah ini tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan.<br />Kekerasan terhadap istri merupakan masalah sosial yang kurang mendapatkan tanggapan dari masyarakat, hal ini disebabkan karena. Pertama kekerasan terhadap istri memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacinya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap istri seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap istri terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan. Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh kesah istri yang mengalami persoalan kekerasan terhadap istri dalam perkawinannya. Akibatnya mereka pun memendam persoalan itu sendiri, tidak tahu bagaimana menyelesaikannya dan semakin yakin pada anggapan yang keliru bahwa suami memang berhak mengontrol istri.<br />Untuk memahami realitas kekerasan terhadap istri sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dilakukan telaah yang berprespektif perempuan. Sebab tanpa itu kita akan terus terjebak dalam berbagai mitos menggiring pada pelestarian budaya viktiminasi terhadap perempuan. Padahal, kekerasan terhadap istri adalah bahaya terbesar bagi kamum perempuan di banding bahaya perampokan dan pencurian, karena data statistik telah menunjukkan bahwa setiap sembilan menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25 % perempuan yang telah terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan laki-lakinya. Disebutkan juga bahwa antara 1,5 hingga 3 juta anak perempuan yang berumah tangga mengalami kekerasan dari suami.<br />Masyarakat di Indonesia lebih suka menyembunyikan dan bungkam menghadapi masalah terhadap istri, hal ini disebabkan selain faktor yang disebutkan diatas, juga disebabkan karena masih sangat kuatnya kultur menomer satukan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Hal ini tercermin dalam ilustrasi berikut : ketika seorang istri melaporkan kepada aparat tentang tindak kekerasan suami terhadap dirinya, maka aparat menyuruh si istri tersebut pulang dan membicarakan kembali urusan rumah tangganya itu secara baik-baik (kekeluargaan) dengan suami. Ketika kekerasan terhadap istri di bicarakan kepada mertua, saudara atau mungkin tetangga, maka mereka justru akan menanyakan apa kesalahan sang istri sampai membangkitkan kemarahan suami hingga memukulnya. Kemudian istri “dibekali” serangkaian pesan yang isinya antara lain agar ia lebih memahami jiwa laki-laki, agar bertahan apapun keadaannya demi keutuhan keluarga dan seterusnya.<br />Akibatnya banyak korban kekerasan terhadap istri yang menyerah pada keadaan, memendam masalahnya hingga penderitaan, meyakini bahwa bersabar dan berbesar hati atas prilaku suami adalah jalan yang terbaik. Tanpa di sadari solusi semacam ini sebetulnya telah menyebabkan dampak negatif yang berlapis-lapis, baik bagi perempuan, anak-anak dan keluarga.<br />Kekerasan terhadap istri pada dasarnya merupakan indikasi dari adanya ketidak setaraan sistem struktur sosial atas pola relasi laki-laki dan perempuan. Toleransi masyarakat yang demikian longgar atas masalah ini di dasari pada anggapan yang sangat diyakini atas peran superior laki-laki terhadap perempuan (istri mereka). Kekerasan dalam rumah tangga jarang di laporkan, biasanya perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suaminya adalah kekhilafan sesaat. Apalagi setelah melakukan kekerasan, si suami kemudian minta maaf, atau seorang istri merasa malu atau enggan dimana ia menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya adalah biasa, bukan merupakan sesuatu yang harus di hentikan. Namun tidak sedikit juga seorang istri memilih melaporkan suaminya pada kepolisian atau mengadu permasalahannya itu kepada biro konsultasi.<br />Di Indonesia banyak terdapat lembaga swadaya masyarakat dan bantuan hukum yang siap membantu kaum perempun dari tindak kekerasan, lembaga tersebut adalah salah satu lembaga yang sangat peduli pada masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang peduli masalah kekerasan terhadap perempuan (baca : istri) kepedulian tersebut diwujudkan dengan melakukan upaya pemberdayaan perempuan, dengan menggunakan beberapa metode untuk mencapai tujuannya tersebut.<br />Mengamati metode penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang diterapkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam kacamata Islam, adalah dimaksudkan sebagai pencarian relevansi hubungan antara keduanya dalam mendekati masalah penanganan tindak kekerasan tersebut.<br />Islam sebagai suatu agama yang banyak memberikan dasar-dasar normatif dalam setiap bidang kehidupan manusia, telah mengajarkan kepada ummatnya untuk selalu mengendalikan hawa nafsu dan mengutamakan perdamaian diatas segalanya.<br />Dengan demikian dalam menghadapi masalah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, hukum Islam lebih menitik beratkan pada upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan tersebut dengan jalan mengadakan perdamaian antara kedua pihak yang berselisih.<br />Islam disamping mengajarkan tentang perdamaian juga menganjurkan umatnya untuk berperang melawan segala bentuk kekerasan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran Islam itu sendiri.<br />Pada dasarnya Islam sangat tidak mentolelir terjadinya kekerasan di dalam bidang apapun dan dalam bentuk apapun. Untuk itulah keberadaan Lembaga-lembaga perempuan sebagai suatu lembaga yang konsen terhadap masalah-masalah kekerasan, khususnya tindak kekerasan dalam rumah tangga amat menarik untuk dikembangkan di daerah ini. Semoga mencerahkan.</span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-21070563448513830692009-02-21T07:25:00.000-08:002009-02-21T07:29:36.541-08:00PROSPEK PENDIDIKAN NONFORMAL, Kini dan Masa Depan<div align="justify"><br /><strong><span style="color:#000066;">Pendahuluan<br /></span></strong>Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.<br />Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.<br />Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.<br />Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.<br />Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.<br />Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.<br />Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.<br /><br /><strong><span style="color:#000099;">Pendidikan Nonformal Jalur Pendidikan Yang Kurang Dikenal<br /></span></strong>Di dalam berbagai pengarahan, sering kali sang pejabat mengatakan bahwa pembangunan pendidikan berarti membangun sumber daya manusia, dari yang belum terdidik menjadi berpendidikan,yang sudah berpendidikan ditingkatkan kualitas pendidikannya, atau dari yang mempunyai pendidikan umum diarahkan pada pendidikan keahlian atau ketrampilan tertentu untuk mendorong terciptanya kemandirian dalam berusaha.<br />Pembangunan pendidikan yang seperti ini terasa semakin penting dan mendesak, lebih-lebih bila hal ini dihubungkan dengan era perdagangan bebas. Harapan diatas tidaklah mungkin dapat ditangani sendiri oleh sekolah (pendidikan formal), hal ini dikarenakan belum semua masyarakat berkemampuan memasuki sekolah formal.<br />Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah menyediakan jalur Pendidikan Non Formal (PNF), dimana menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa fungsi PNF adalah mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta mengembangkan sikap dan kepribadian professional. Dengan kata lain Pendidikan Non Formal merupakan sebuah pendidikan alternatif bagi mereka yang terkendala dalam memperoleh pendidikan jalur formal.<br />Hal ini sesuai dengan tujuan PLS yang ada dalam PP 73 tahun 1991, yaitu membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat atau jenjang yang lebih tinggi serta memenuhi kebutuhan belajar masyarakt yan tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.<br />Masalahnya, sampai saat ini keberadaan Pendidikan Non Formal belum banyak dikenal oleh masyarakat. Mengapa bisa terjadi?. padahal petugas Pendidikan Non Formal itu banyak, ada yang namanya Penilik Pendidikan Non Formal, ada Tenaga Lapangan pendidikan masyarakat, ada Tutor, ada Fasilitator Desa Intensif, ada Pamong Belajar. Ditangannyalah banyak program pendidikan non formal yang harus ditebarkan kepada masyarakat yang masih kesulitan mengakses pendidikan formal.<br />Dengan dukungan dana yang cukup besar, yang dirupakan dalam berbagai bentuk program, seperti dana program rintisan penyelenggaraan kelompok belajar kesetaraan, rintisan program PAUD, penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional.<br />Ada juga program pasca melek aksara, yaitu program yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat. Program mata pencaharian, yaitu program yang diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan bekerja secara berkelompok melalui Kelompok Belajar Usaha, juga ada program peningkatan kualitas hidup, yang termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pendidikan ketrampilan hidup (life skills) yang diutamakan bagi mereka yang masih belum memiliki pekerjaan agar bisa membuka lapangan kerja secara mandiri.<br />Biasanya lembaga-lembaga yang dijadikan mitra oleh Dinas Pendidikan Non Formal adalah mereka yang telah memiliki akta kelembagaan, rekening bank atas nama lembaga, seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga sejenis yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan setempat.<br />Program pendidikan non formal yang begitu banyak itu kiranya perlu lebih disosialisasikan keberadaannya kepada masyarakat yang menjadi sasaran program melalui berbagai media massa. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat dengan memanfaatkan keberadaan kegiatan yang ada di kampung, seperti arisan PKK, posyandu dan majlis taklim. Semua itu perlu dilakukan agar program pendidikan non formal semakin dikenal oleh masyarakat.<br />Sehingga upaya mensukseskan percepatan wajib belajar dan pemerataan pendidikan melalui pendidikan non formal bisa dilihat dan dirasakan secara signifikan. Inilah tugas berat yang harus dilakukan oleh para penggiat pendidikan non formal dimana pun berada.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">Pengertian, Tujuan dan Sasaran PNF<br /></span></strong>Konsep awal dari PNF ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisahatau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.<br />Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri.<br />DalamUU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa PNF diselenggaran bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan PNF berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada pengusasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.<br />Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa PNF meliputi pendidikan kecakapan hidup(life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.<br />Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan PNF terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).<br />Sasaran dan Karakteristik PNF Sasaran PNF dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan, sasaran khusus, pranata system pengajaran dan pelembagaan program. Titilik dari segi pelayanan, sasaran PNF adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, PNF mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh.<br />Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan.<br />Di segi layanan masyarakat, sasaran PNF antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran PNF sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus.sedangakn sasaran PNF ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan arau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan.<br />Bagaimana dengan karakteristik PNF? Secara khusus PNF memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan PNF, yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya, PNF terbilang relative singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan dating serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.<br />Isi dari program PNF ini berpedolam pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk PNF, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam PNF pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga.<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">Pendidikan Luar Sekolah sebagai Sebuah Alternatif<br /></span></strong>Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).<br />Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi<br />Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.<br />Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :<br />Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;<br />Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;<br />Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;<br />Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);<br />Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan<br />Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Kepulauan Bangka Belitung<br />Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :<br />Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;<br />Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;<br />Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;<br />Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta<br />Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.<br />Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :<br />Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;<br />Pembinaan kelembagaan PLS;<br />Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;<br />Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;<br />Meningkatkan fasilitas di bidang PLS<br />Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.<br />Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.<br />Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama.<br />Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.<br />PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.<br />Perlunya Life Skill dan Semangat Entrepreneur<br />Salah satu solusi agar materi yang diberikan tidak terlalu membebani peserta didik adalah dengan menitipkan pesan “setiap materi mampu memberikan pelajaran life skill” kepada peserta didiknya dengan alokasi waktu yang relatif cukup dalam proses pembelajaran. Salah satu pertanyaan yang dapat diajukan lebih lanjut adalah sejauh mana materi tersebut berisi aspek life skill dan sejauh mana life skill yang dimaksudkan memang mampu untuk menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja?<br />Apakah benar bila, misalnya, seorang mahasiswa yang kuliah di matematika setelah lulus dapat langsung bekerja sesuai dengan profesinya sebagai matematikawan? Apakah mahasiswa yang kuliah di jurusan pertanian juga dapat langsung mengolah lahan pertanian secara profesional ketika sudah lulus. Begitu pula dengan jurusan lainnya. Pada kenyataannya, justru begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat sukses ketika masih di bangku kuliah, memperoleh IP (Indeks Prestasi) yang memuaskan, tetapi ia gagap ketika terjun langsung di masyarakat.. Kepandaian dan ketrampilannya solah-olah terbuang dan kurang memiliki nilai positif untuk dirinya. Ternyata persoalannya bukan semata-mata pada ada atau tidaknya life skill dalam pembelajaran. Persoalan utama justru pada sikap kewirausahaan (enterpreneurship) yang perlu ditumbuhkan pada setiap peserta didik.<br />Dengan demikian jelaslah sekarang bahwa amat diperlukan pendidikan yang sengaja dirancang untuk membekali peserta didik dengan ketrampilan hidup (life skill), yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan. Pendidikan harus dikembalikan pada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Karena itu, pendidikan harus dapat membekali peserta didik, selain dengan kemampuan belajar (learning how to learn), juga kemampuan melepaskan diri dari kebiasaan yang kurang baik (learning how to un learn), seperti menghilangkan pola pikir yang tidak tepat, atau perilaku yang mengganggu, baik orang lain maupun masyarakat pada umumnya. Pendidikan harus dapat pula menyadarkan peserta didik mengenali dan mensyukuri potensi dirinya, kemudian dapat mengembangkan dan mengamalkannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Kepercayaan diri dan kemandirian juga sangat perlu ditanamkan dan dibiasakan, agar mereka berani menghadapi problema kehidupan serta mampu memecahkannya secara kreatif, untuk memperoleh hasil yang bermakna bagi hidup dan kehidupannya, yang akan berpengaruh pada peningkatan daya saingnya. (Wahidmurni, 2004:8).<br /><br /><strong><span style="color:#000066;">Pendidikan Nonformal Adalah Sebagai Pendidikan Yang Amat Dinamis Dengan Waktunya Yang Fleksibel<br /></span></strong>Pendidikan non formal suatu paradigma di dalam memajukan anak bangsa khususnya mereka yang tidak ditempa dalam pendidikan formal. Seharusnya pendidikan nonformal menjadi pendidikan alternatif bahkan lebih dari pendidikan formal. Namun seyogyanya salah satu yang ada dalam pikiran bagaimana kita untuk kedepan mungkin pendidikan nonformal dapat lebih menggunakan keuntungan dari pendidikan nonformal adalah sebagai pendidikan yang amat dinamis dan waktunya fleksibel. Sehingga kedepan dapat diketemukan cara untuk sebuah sistem pembelajaran yang bersifat dinamis dan berkualitas dengan menggunakan keuntungan yang ada dan didapat itu memiliki arti luas.<br />Menurut saya pendidikan formal itu jangan menjadikan kita terbelenggu dengan kurikulum yang ada, padahal begitu banyak hal yang harus dipelajari, hanya membuat kita berpikir terkotak-kotak dengan sajian yang ada untuk pembelajaran sehingga kita kesulitan untuk berpikir bebas inovatif maupun berfikir logis dan kreatif; sebaiknya jangan ada anggapan lebih kepada mengejar ijazah bukan kepada kemampuan, baik itu kemampuan kognitif, afektif dan psikomorik; sehingga menjadikan pola pikir kita menjadi kaku, lebih cenderung tidak ada keberanian untuk mendobrak apa yang telah ada atau yang telah berjalan, Mudah-mudahan pendidikan nonformal betul-betul dapat menggantikan pendidikan formal yang diharapkan ada daya persaingan yang harmonis diantara ke dua bentuk pendidikan yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1989.<br />Kita juga berharap, sebaiknya Pendidikan Nonformal setiap programnya diarahkan untuk peningkatan keterampilan kerja mandiri, jadi disetiap lembaganya perlu adanya semacam unit pengembangan usaha dan permodalan, agar mereka yang kebetulan telah meraih pendidikan di lembaga tersebut betul-betul dapat menguasai ilmunya dan juga menguasai cara pengolahannya sehingga laku dijual, apalagi di era otonomi ini mestinya tidak terlalu sulit untuk melaksanakan program tersebut.<br />Tentunya sangat tergantung kepada Pemimpin Daerahnya dan yang lebih baik lagi ada payung hukumnya, sehingga tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Alangkah sangat bijak lagi apabila, instansi terkait di daerah saling mendukung yaitu melaksanakan kegiatan produktif dalam satu atap atau mekanisme tertentu, sehingga peserta didik pendidikan nonformal setelah lulus betul-betul mampu dapat bersaing baik dari segi kualitas ilmu, maupun segi hasil kualitas produksinya.<br />Kalau kita lihat dengan mata yang jelas dan keterharuan pada sebuah pendidikan merupakan yang paling menarik secara pasti adalah pendidikan nonformal, karena lembaga ini setelah di pahami dan disebut dengan barang langka masih banyak orang yang belum mengenalnya bahkan ada yang ikut suatu jenjang pendidikan di dengan klasifikasi kesarjanaan S1.<br />Sementara pendidikan nonformal adalah merupakan sebuah pendidikan yang sulit dan banyak liku-likunya tidak semudah formal yang hanya dapat di lakukan secara tatap muka yang berada di kelasnya.Nah kalau semua ini dapat diterima dan di jabarkan oleh para penentu kebijakan maka pendidikan nonformal itu sudah banyak tenaganya. ini akan menjadi sebuah wacana yang akan pasti lebih berpikir arif dan bijaksana andaikan ini tentunya tidak terlepas dari sebuah pengabdian. .<br />Kalau semua ini untuk meningkatkan mutu PTK-PNF mari kita ajak para stakeholder itu untuk dapat mengabdi kepada pendidikan nonformal jadi ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Tentunya kita ketahui bersama banyak Program-program pelatihan atau orientasi bagi PTK-PNF besar manfaatnya, oleh karena itu program tersebut harus benar-benar direalisasikan baik di dalam negeri maupun program keluar negeri.<br />Selain adanya sarana dan prasarana, hal yang terpenting lainnya adalah cara menggunakan sarana dan prasarana tersebut dengan efektif. Oleh sebab itu, maka pembuatan rencana program sosialisasi dengan menggunakan berbagai media yang ada agar betul-betul direncanakan dengan sebaik-baiknya. Baik dari sisi minat pada masyarakat maupun pandai menangkap isu yang berkembang pada masyarakat, khususnya tentang pendidikan nonformal.<br />Terakhir untuk mendapatkan SDM yang baik, maka perlu diadakan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat terserap dengan baik dan dapat direalisasikan di SKB masing-masing. Khususnya program ICT, kendala utama yang dihadapi selama ini adalah tidak adanya tenaga staf maupun pamong belajar yang memang adalah ahli komputer. Jadi jalan terbaiknya adalah dengan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap.<br />Barangkali inilah yang menjadi pemikiran bersama, kita berharap dengan respon dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah kita khususnya Dit PTK-PNF diharapkan untuk wajar 2009 tuntas melalui program-program unggulan yang jitu dalam membebaskan Indonesia dari buta aksara, yang jelas sesuai dengan tupoksi pendidikan non formal sebagai pendidikan yang dinamis dengan waktu yang fleksibel. what next?<br /> </div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-64271741445250763042009-02-20T03:38:00.002-08:002009-02-20T03:45:38.983-08:00SUNTIK MATI DALAM ISLAM (Upaya Mengakhiri Hidup Manusia)<p align="justify"><br /><span style="font-family:courier new;"><br /> <span style="font-size:180%;">T</span>ulisan ini adalah untuk meyikapi adanya permintaan suntik mati oleh pasien yang gencar mengungkapkan kata-kata suntik mati bagi pasien oleh keluarganya untuk mengakhiri penderitaan si pasien.<br /> Permohonan atas suntik mati atas pasien saat ini menjadi kata yang sangat trendi di Indonesia saat ini, dengan mencuatnya permohonan tersebut di media cetak amupun elektronik. Tulisan ini kirany dapat menjadi pelajaran untuk perenungan bagi kita sebagai manusia yang beragama Islam.<br /> Apalagi saat ini, sebagian masyarakat telah menghubung-hubungkannya dengan istilah hak asasi manusia, terhadap hal ini jika suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan suntik mati tersebut.<br /> Oleh karena itu terkadang hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Belanda yang telah melegalkan suntik mati atau dikenal dengan euthanasia pada prinsipnya bukan merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintah Belanda, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia. <br /> Namun apapun alasannya Islam telah mengatur bagi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya baik atas pemintaan sendiri maupun atas pertolongan orang lain (tim medis). Karena Islam sudah melarang untuk membunuh sebagaimana telah diungkapkan dalam surat An-Nisa ayat 29 dan bahkan diminta untuk saling bahu membahu. Hal ini sesuai diperkuat dengan surat al-Maidah ayat 32.<br /> Dalam ayat tersebut hendaknya kita menghormati jiwa orang lain, sebagaimana kita menghormati dan menjaga jiwa kita sendiri. Dengan adanya sifat kasih sayang Allah maka hal itu sesungguhnya mengajarkan kepada kita sebagai manusia untuk saling menyayangi, mencintai, tolong menolong dan memelihara harta serta melindungi diri jika keadaan membutuhkan perlindungan.<br /> Islam pada hakekatnya melarang adanya pembunuhan. Islam sangat menghargai jiwa seseorang, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Hidup dan mati menurut Islam merupakan kekuasaan Allah. Walaupun itu adalah hak asasi tetapi ia adalah anugerah. Oleh karena itu, seseorang tidak mempunyai wewenang sama sekali untuk melenyapkan jiwa manusia tanpa kehendak dan aturan Allah swt.<br /> Allah juga berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 33 : “Janganlah kamu membunuh seseorang yang dilarang Allah , kecuali demi kebenaran” dan dalam surat al-An’am ayat 151. Kedua ayat tersebut menjelaskan bagaimana sesungguhnya orang tersebut hanya boleh dibunuh. Dan dalam hal apa saja orang tersebut dapat melakukan pembunuhan.<br /> Dalam surat lainnya Allah berfirman pada Surat al-Hijr ayat 23 dan an-Najm ayat 44 yang menunjukkan agar manusia tidak memandang rendah terhadap jiwa manusia, sehingga Alah memberikan ancaman dan peringatan bagi orang yang meremehkannya. Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa dan raga milik orang lain maupun jiwa dan raga milik sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan dianggap melawan hukum Allah. Adanya peringatan dan ancaman dari Allah swt dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhan, sebagaimana diungkapkan dalam Surat al-Baqarah ayat 179.<br /> Namun bagi mereka yang mau berpikir mendalam kiranya hadis dari Jundub bin Abdullah yang diriyawatkan oleh Bukhori ini dapat menjadi pelajaran karena Rasulullah SAW bersabda : “Ada dimasa dahulu sebelum kamu seorang yang menderita luka, tiba-tiba ia jengkel lalu mengambil pisau dan mengiris lukanya, maka tidak berhenti darahnya hingga ia mati, berfirman Allah swt: hambaku akan mendahului aku terhadap dirinya (jiwanya), maka aku haramkan surga atasnya”. Adapun yang dimaksud dengan haram disini adalah haram karena ia telah membunuh dirinya dan tidak sabar menerima ujian Allah.<br /> Oleh karena itu, orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibolehkan dan dibenarkan agama, menurut Islam sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya. Karena Islam memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap jiwa manusia.<br /> Dilihat dari segi nas-nya, menunjukkan bahwa Islam secara tegas melarang bunuh diri dan membunuh jiwa orang lain. Kalau melihat segi unsur jarimah dalam hukum Islam maka seseorang yang melakukan euthanasia telah mengandung unsur jarimah yaitu suatu tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. Sebagai contoh dari jarimah ini adalah biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia). Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan keluarga pasien.<br /> Terhadap hal seperti ini tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan selain yang telah disebutkan sebelumnya juga karena kemungkinan lain bisa terjadi bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerja sama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.<br />Jika dilihat dengan adanya permintaan suntik mati untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang gencar diberitakan saat ini kiranya perlu dipertimbangkan kembali bahwa Islam jelas sudah melarang dan bahkan Allah SWT mengancam orang yang terlibat dalam masalah suntik mati atau euthanasia ini.<br /> Oleh karena itu, maka jika permintaan tersebut dilakukan karena :<br /><em> <span style="color:#000066;">Pertama, Alasan Pasien</span></em><span style="color:#000066;">;</span> bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita yang berkepanjangan, tidak ingin meninggalkan beban ekonomi, atau tidak punya harapan sembuh, adalah suatu refleksi dari kelemahan iman. Sakit adalah satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia/suntik mati. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat disembuhkan lagi, atau biaya untuk meneruskan pengobatan terlalu mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang saja dari rumah sakit. Seandainya diyakinkan bahwa apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, maka tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Hal ini disebabkan kemampuan ekonomi pasien (keluarga) sudah tidak memungkin lagi. Pemulangan pasien seperti ini sudah sering terjadi dan para dokter diperkenankan melepaskannya, karena prosedurnya sudah ada, maka yang bersangkutan tidak akan terkena larangan Allah yaitu sebagai tindakan bunuh diri. Bunuh diri berarti mengingkari rahmat Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa ayat 29 dan surat Yusuf ayat 87. Rasulullah telah bersabda sebagaimana diriwayatkan Bukhori bahwa orang yang mencekik dirinya sendiri, maka Allah mencekiknya dan menikamnya di dalam neraka”<br /> <em><span style="color:#000066;">Alasan kedua</span></em> yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan kepada pasien, atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia/suntik mati, sementara penderita masih terlihat menyimpan tanda-tanda kehidupan berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja, berarti orang yang melakukannya akan terkena al-Qur’an surat an-Nisa ayat 93.<br /> Dalam ayat tersebut juga tidak dibedakan apakah dilakukan atas kasihan atau karena keluarga kekurangan biaya ataupun alasan lain di luar dari yang haq, semuanya dilarang Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si korban. Begitu juga kiranya apabila dilakukan tanpa sepengetahuan si pasien, maka hal ini dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja.<br />Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu tidak boleh titipan ini diabaikannya, apalagi memusuhi dan melepaskannya dari hidup. Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada suatu bala’ atau musibah yang menimpanya atau karena gagal dalam cita-cita yang dimpi-impikan. Sebab seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Sebab setiap mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis yaitu senjata iman dan kekayaan budi.<br /> Oleh karena itu, Islam melarang seseorang yang menderita sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdoa untuk minta dipercepat kematiannya-pun tidak diperbolehkan.</span></p>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-79176355387913682062009-02-11T16:29:00.000-08:002009-02-11T16:33:16.301-08:00Menformulasikan Pembentukan Hukum pada Sosial Kemasyarakatan<div align="justify"><span style="font-family:lucida grande;"> </span><span style="font-family:lucida grande;"><span style="color:#000066;">Menformulasikan Pembentukan Hukum pada Sosial Kemasyarakatan<br /> Oleh Iskandar,M.Hum<br /> </span><br />Kondisi di Indonesia baik segi demokrasi, politik, dan penegak hukum selama ini sudah berjalan. Pemerintah ataupun aparat kepolisian perlu merumuskan kembali strategi baru untuk segera mengatasi merebaknya fenomena main hakim sendiri yang menisbikan perikemanusiaan dan kaidah-kaidah hukum. Gejala main hakim sendiri kini sudah ber-eskalasi cukup jauh sehingga cenderung anarkhis, merontokkan pilar-pilar wibawa hukum. Jajaran kepolisian harus menghentikan aksi ini serta bertanggung jawab mengusut berbagai kejadian “pengadilan massa”.<br />Jika kita lihat melalui kaca mata sosiologi hukum, jelas bahwa fenomena pengadilan massa merupakan ketidakberdayaan sistem hukum yang dibuat selama ini dan pengaruh aparat penegak hukum dan akhirnya jika tetap dibiarkan pengadilan massa itu, maka menjadi sebuah fenomena anarkisme yang berbahaya, baik itu terhadap hukum, aparat bahkan akan menjadi suatu kudeta terhadap pemerintah. Karena apabila pengerahan massa yang tidak terkendali dapat kita lihat bagaimana negara ini hancur tanpa ada hukum yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan hukum itu sendiri.<br />Oleh karena itu, fenomena saat ini juga jangan sepenuhnya dianggap sebagai kesalahan masyarakat secara mutlak, tetapi harus dilihat juga apakah tidak mungkin tindakan tersebut merupakan kepedulian masyarakat dalam memerangi para penjahat hukum dengan tindakan nyata. Dengan demikian, pekerjaan yang paling utama yang harus dilakukan para penegak hukum adalah bagaimana mengupayakan agar tindakan masyarakat (pengadilan massa) tidak menjurus menjadi kasar, sampai membakar pelaku kejahatan, tetapi bagaimana caranya agar masyarakat dan aparat keamanan saling membutuhkan dan menjadikannya mitra dalam menghadapi setiap bentuk kejahatan.<br />Pengadilan massa, sesungguhnya merupakan kesalahan dalam memproduk hukum yang selama ini tidak mengindahkan pendapat para pemikir sosiologi hukum dalam membentuk suatu hukum. Dapat kita lihat bagaimana hukum saat ini dibuat, penulis belum melihat i’tikad para penguasa mengikutsertakan masyarakat dalam membentuk hukum tersebut.<br /> Kondisi penegakan hukum dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut. Namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung konteks sosial dan tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan.<br />Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor yang terdapat di luar hukum. Adapun faktor-faktor yang dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana. Sedangkan faktor-faktor di luat sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor penguasa negara.<br />Realitas penegakan hukum dalam masyarakat kita yang sedang mengalami proses modernisasi juga mempengaruhi faktor-faktor majemuk tersebut. Dengan demikian kondisi penegakan hukum yang masih buruk dalam masyarakat kita dipengaruhi oleh berbagai faktor.<br />Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa faktor yang berdiri di belakang kelembekkan suatu negara atau ketidakdisipilnan sosial yang meluas, yaitu perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation). Perundangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasi masyarakat dengan segera, berhadapan dengan masyarakat yang umumnya diwarsisi, yaitu otorianisme, paternalisme, partikularisme, dan banyak ketidak aturan lainnya.<br />Tapi menurut penulis, bahwa hal tersebut tampaknya tidak terjadi di Indonesia, karena proses pembentukan suatu undang-undang sangat lamban dan dalam memperbaharui satu hukum saja memerlukan waktu yang sangat lama.<br />Jadi, faktor suatu undang-undang tetap mempunyai pengaruh terhadap kondisi buruk dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini. Ini terjadi karena masih tetap dipertahankannya beberapa undang-undang atau ketentuan undang-undang yang kurang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. hal ini tentunya memicu massa atau masyarakat lebih tidak mempercayai hukum yanga ada di Indonesia saat ini secara keseluruhan.<br />Faktor lain yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum di Indonesia adalah kualitas sumber daya aparat penegak hukum. Bukan rahasia lagi bila aparat penegak hukum, kepolisian, kejakasaan, kehakiman, dan kepengacaraan saling lempar-lemparan di depan pengadilan tapi saling telpon-telponan ketika berada di luar sidang pengadilan.<br />Kurangnya profesionalisme ini terlihat dari lemahnya wawasan dan minimnya ketrampilan untuk bekerja, rendahnya motivasi kerja, dan rusaknya moralitas personal aparat penegak hukum.<br />Faktor-faktor di luar sistem hukum yang berpengaruh terhadap proses penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Perubahan sosial dan politik penguasa. Kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah, baik dikalangan masyarakat terdidik maupun di seputar masyarakat kurang berpendidikan, bahkan juga di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri.<br />Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi sekarang ini, dengan adanya pengadilan massa terhadap pelaku kejahatan. Tanpa mengenal siapa yang melakukan kejahatan, semuanya harus dihukum sesuai dengan hukum rakyat.<br />Pengaruh perubahan sosial terhadap proses penegakan hukum di Indonesia tergambar dalam perubahan tata nilai dalam masyarakat Indonesia sendiri. Perubahan tata nilai merupakan perubahan tata kelakuan dalam pola interaksi sosial di antara sesama warga masyarakat. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai baru belum terlembagakan, yang akhirnya mengakibatkan perbenturan nilai-nilai atau terjadinya dualisme nilai dalam masyarakat.<br />Nilai-nilai dualistik tersebut misalnya nilai kemafaatan sosial dan keadilan, nilai-nilai tradisional dan modern, kekeluargaan dan individualisme, pertumbuhan dan pemerataan, materialisme dan spiritualisme dan sebagainya. Ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan tersebut menimbulkan kerancuan nilai dan ketidakpastian hukum sehingga merangsang aparat penegak hukum melakukan tindakan yang bersifat patologis. Maka pada akhirnya masyarakat memilih nilai sendiri dalam melakukan penegakan hukum yang ada di wilayahnya masing-masing sesuai dengan tuntutan dari masyarakat wilayah tersebut.<br />Untuk menghentikan segala aksi dan protes masyarakat terhadap para penegak hukum melalui berbagai pengadilan massa yang sedang marak saat ini diperlukan sebuah startegi yang besar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Staretgi tersebut berasal dari bagaimana proses membuat hukum yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan sesuai dengan keadaan sosial dan kebudayaan masyarakat di Indonesia. <br />Kesalahan yang paling besar selama ini adalah bahwa hukum di Indonesia yang berlaku dari dulu hingga zaman reformasi saat ini merupakan adopsi hukum yang berasal dari negara lain (contoh hukum pidana), padahal hukum yang telah disepakati oleh pemerintah berlaku di Indonesia belum tentu sesuai dengan budaya dan keadan sosial daerahnya.<br />Seperti halnya persoalan pengadilan massa, hukum pidana Indonesia tidak cukup mengatur kejahatan yang dilakukan massa (tindakan pidana kelompok), kecuali pasal 55 – 56 KUHP yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan, jadi suatu yang tidak mudah untuk menyelidiki perkara ini. Tentunya hal ini kembali kepada bagaimana efektivitas pembuatan hukum yang bersendikan masyarakat dan budaya Indonesia.<br />Oleh karena itu, hukum yang hendak diciptakan di negara Indonesia saat ini harus mengikutsertakan masyarakat sebagai komunitas yang menjalani kehidupan dalam bernegara. Tentunya hukum yang dibuat atas dasar peranserta masyarakat, penegakan hukumnya akan berbeda dengan pembuatan hukum tanpa mengitusertakan masyarakat.<br />Hal tersebut akan terjadi karena masyarakat mengetahui dan memahami hukum tersebut sesuai dengan apa yang menjadi realitas keadilan dan kedamaian bagi kehidupan komunitas mayarakat itu sendiri. Sedangkan hukum tanpa mengikutsertakan masyarakat, maka mereka tidak pernah dapat memahami akan fungsi ketaatan mereka kepada hukum.<br /> </span></div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-44045415284048297422009-02-11T16:06:00.001-08:002009-02-11T16:09:11.742-08:00Kontrak Politik Wakil Rakyat<div align="justify"> <strong>KONTRAK POLITIK WAKIL RAKYAT<br /> DENGAN MAHASISWA<br /> </strong><br />Menyikapi perjalanan demokrasi Indonesia saat ini terjadi hal-hal yang aneh bagi wakil rakyat yang memegang amanah untuk tahun 2004 – 2009, 2009 - 2014 fenomena baru ini dilakukan oleh para mahasiswa di beberapa kota di Indonesia. namun tidak semua daerah berperilaku “aneh” karena terkait dengan sosial budaya dan keunikan daerah itu masing-masing. Kadang seorang wakil rakyat yang baru saja dilantik dikejar-kejar untuk menandatangani kontrak seperti mengejar seorang “maling”, disini muncul sebuah persoalan baru bagaimanakah status hukum dari kontrak tersebut? Apakah bisa dipertanggungjawabkan ? jika terjadi pelanggaran bagaimanakah prosesnya ? inilah yang harus dipikirkan oleh para mahasiswa yang mengambil jurusan hukum.<br />Kontrak politik adalah istilah baru yang muncul dalam pemilu legislatif periode 2004 – 2009, 2009 – 2014 jika dilihat dari maknanya kontrak berisi beberapa perjanjian yang termaktub dalam klausul-klausul dengan arti dan makna tertentu. Namun jika dikaitkan dengan politik akan menjadi lain maknanya, karena selama ini belum pernah terjadi adanya kontrak politik para wakil rakyat dengan rakyatnya. Sebab yang terjadi selama ini adalah bahwa wakil rakyat telah mengambil sumpah jabatan dan hal tersebut sudah cukup berbahaya bagi mereka yang melanggar sumpah (maksudnya pengertian sumpah dalam agama), atau munculnya fenomena kontrak politik ini dikarenakan sumpah jabatan tidak dibutuhkan lagi ? atau mungkin perlu perubahan cara untuk mengambil sumpah jabatan yang telah dilakukan selama ini ? masihkah dibutuhkan kontrak politik ?<br /><br /><strong>Keinginan Mahasiswa dengan Kontrak Politik<br /></strong>Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh para mahasiswa dengan adanya “Kontrak Politik” ini ? sebuah pertanyaan sederhana tapi sulit untuk menemukan jawaban pasti. Kenapa demikian ? karena kontrak politik ini belum bisa dipastikan dapat dijalankan yang bersangkutan ataupun tidak. Secara sederhana kontrak politik yang dikehendaki oleh mahasiswa adalah ingin mengungkapkan penegakan kembali aturan-aturan yang berlaku saat ini bukan hanya sekedar pajangan dalam sebuah lemari yang tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum, dan juga para mahasiswa berkaca mata pada masa yang telah lalu, bagaimana pelaksanaan pemerintahan yang tidak baik, kolusi, korupsi dan nepotisme berjalan melenggang dalam alur perjalanan demokrasi Indonesia.<br />Penegakan supremasi hukum yang kurang mengesankan. Wakil rakyat yang tidak bermoral dengan adanya korupsi yang dilakukan oleh para wakil rakyat yang seharusnya melindungi rakyat malah berperilaku sangat menyengsarakan rakyat. Korupsi yang dilakukan para wakil rakyat mungkin sudah berlangsung sangat lama, namun baru sekarang ini geliat untuk menjaring mereka dalam satu perangkap hukum.<br />Akantetapi yang menjadi persoalan kembali adalah ketika para koruptor telah ditangkap, maka hukumanpun tidak seimbang dengan apa yang telah mereka lakukan. Hal tersebut membuat para mahasiswa merasa hukum hanya sebagai “pajangan” dalam lemari yang lusuh, mereka seolah kebal hukum. Hal ini juga yang membuat para mahasiswa untuk membuat kontrak politik dengan para wakil rakyat.<br />Persoalan tersebut di atas, tidak semua dipahami oleh para mahasiswa, karena kadang kala para mahasiswa juga sulit mendeteksi siapa dan apa yang menjadi dalang dari sebuah “fenomena kontrak politik” tersebut. Terlepas dari indepensi mahasiswa, banyak yang terjadi dalam perjalanan demokrasi dikalangan mahasiswa, ketika menjadi masih menjadi aktivis mahasiswa sangat vokal untuk mengkritik kinerja pemerintah namun setelah menjadi mantan aktivis, sulit untuk melihat bagaimana indepensinya. Karena jika kita perhatikan dalam beberapa kasus demonstrasi saat ini yang dilakukan oleh para mahasiswa kadang didalangi oleh rekan mereka yang telah menjadi mantan aktivis dan terjun dalam kalangan dunia bisnis, dan para mahasiswa menganggap senior mereka masih seperti dulu. Hal ini menjadi pikiran mahasiswa untuk mereview kembali aksi-aksi yang sebenarnya.<br /><br /><strong>Isi dan kegunaan kontrak politik<br /></strong>Kadang sulit kita untuk melihat secara murni apa gunanya kontrak politik tersebut. Sebagian mengatakan tak ada gunanya karena perilaku wakil rakyat masih seperti itu juga, pemikiran ini disampaikan oleh para mahasiswa yang menilai perilaku para wakil rakyat takkan berubah jika penegakan hukum tak berjalan.<br />Oleh sebagian mahasiswa kontrak politik ini sangat berguna karena salah satu point dalam kontrak tersebut adalah bersedia mengundurkan diri jika melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme. Hal ini digunakan oleh para mahasiswa sebagai “surat sakti” bagi para wakil rakyat yang telah menandatangani kontrak tersebut. Namun yang harus diperhatikan adalah jika dilakukan dengan secara paksa tentunya tidak bisa dipertanggungjawabkan.<br />Menurut penulis, kontrak politik ini lebih pada cara baru untuk menekan wakil rakyat agar berlaku secara arif dan bijaksana serta sesuai dengan aturan yang berlaku, namun demikian penulis melihat hal tersebut tidak akan berjalan karena cara pengambilan kontrak politik tersebut sudah diluar cara-cara yang sah. Dalam pelaksanaannya terjadi pemaksaan dan bahkan kejar-kejaran dengan wakil rakyat seperti yang terjadi di Kota Medan untuk menandatangani kontrak tersebut. Hal ini sangat merugikan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, Penulis melihat hal ini ada apa dengan fenomena kontrak politik ini, bisa saja dengan pemaksaan tersebut nantinya untuk digunakan pada saat tertentu oleh orang-orang tertentu dalam hal urusan bisnis para wakil rakyat sehingga unsur politik, bisnis sangat berperan untuk menjegal orang-orang tertentu pula.<br />Kenapa demikian ? jika kita runtut beberapa peristiwa yang telah dilakukan oleh para mahasiswa di era reformasi ini tak satupun wakil rakyat yang dapat mengikuti keinginan mahasiswa, hal ini terjadi karena para wakil rakyat melihat para mahasiswa dalam melakukan beberapa kegiatannya tidak bisa murni kembali mengatasnamakan rakyat, namun lebih pada unsur “kepentingan” lain. Dalam perjalan demokrasi ke belakang telah disadari berapa jumlah aktivis yang berada dibelakang layar untuk melakukan aksi bagi kepentingan orang-orang tertentu. Kita juga menyadari kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat mempengaruhi pola pikir manusia dan kinerjanya.<br /><br /><strong>Membersihkan wakil rakyat dari virus<br /></strong>Kontrak politik yang dilakukan oleh para mahasiswa dibeberapa kota adalah berupaya untuk membersihkan wakil rakyat dari virus-virus yang telah merusak citra wakil rakyat. selama ini, wakil rakyat yang seharusnya jadi panutan rakyat untuk masa yang akan datang tidak lagi menyengsarakan rakyat. Para wakil rakyat betul-betul menyampaikan aspirasi rakyat.<br />Memang disadari, jika para wakil rakyat yang seharusnya menjadi panutan rakyatnya saja sudah tidak mementingkan rakyat dan bahkan turut menyengsarakan rakyat seperti yang terjadi di Propinsi Sumatera Barat dimana para wakil rakyatnya secara kompak melakukan korupsi uang rakyat, untuk apa gunanya wakil rakyat.<br />Untuk itu, perlu adanya perubahan atau aturan baru untuk membersihkan wakil rakyat dari virus korupsi, kolusi dan nepotisme secara tertulis dan aturan dimaksud tentunya untuk diterapkan sebagaimana mestinya bukan hanya pandai membuat aturan namun menegakkannya tidak bisa. Terlepas dari berbagai isu yang menerpa makna kontrak politik yang dilakukan para mahasiswa terhadap para wakil rakyat selama ini, namun kontrak politik ini juga dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan makna dan fungsi perilaku wakil rakyat sebenarnya. Selama ini perilaku para wakil rakyat sudah sangat jauh menyimpang dari arti dan maknanya. Sebagai contoh kita melihat perilaku para wakil rakyat yang telah melakukan kolusi dan korupsi, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban akibat perilaku mereka.<br />Oleh karena itu, kiranya harapan untuk mengembalikan arti dan makna wakil rakyat ini ini tentunya tidak hanya oleh mahasiswa namun juga seluruh rakyat Indonesia, rakyat telah banyak menjadi korban akibat perilaku wakil rakyat, rakyat yang kadang tidak memikirkan kembali siapa yang memimpin negeri ini, rakyat yang kadang hanya memikirkan bagaimana makan untuk hari ini dan esok hari. Rakyat yang menantikan nilai-nilai demokrasi dapat ditegakkan.<br />Demikian juga dengan adanya perilaku para mahasiswa dengan “kontrak politik” saat ini kiranya menjadi patokan para wakil rakyat untuk tidak lagi berperilaku seperti rekan-rekan mereka yang terdahulu. Harapan ini tentunya tidak hanya untuk saat ini saja namun juga untuk para wakil rakyat dimasa yang akan datang. semoga dipikirkan...<br /> </div>MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1437239925536623183.post-74690623105647739902009-02-01T22:24:00.001-08:002009-02-01T22:24:59.656-08:00POSISI BUNGA BANK DAN BAGI HASIL<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="footnote text"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="footnote reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Body Text Indent"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} p.MsoFootnoteText, li.MsoFootnoteText, div.MsoFootnoteText {mso-style-noshow:yes; mso-style-unhide:no; mso-style-link:"Footnote Text Char"; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; layout-grid-mode:line;} span.MsoFootnoteReference {mso-style-noshow:yes; mso-style-unhide:no; vertical-align:super;} p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent {mso-style-noshow:yes; mso-style-unhide:no; mso-style-link:"Body Text Indent Char"; margin-top:0in; margin-right:-.05pt; margin-bottom:0in; margin-left:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; text-indent:56.7pt; line-height:150%; mso-pagination:widow-orphan; tab-stops:354.4pt 396.85pt; font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-GB; layout-grid-mode:line;} span.BodyTextIndentChar {mso-style-name:"Body Text Indent Char"; mso-style-noshow:yes; mso-style-unhide:no; mso-style-locked:yes; mso-style-link:"Body Text Indent"; mso-ansi-font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-GB; layout-grid-mode:line;} span.FootnoteTextChar {mso-style-name:"Footnote Text Char"; mso-style-noshow:yes; mso-style-unhide:no; mso-style-locked:yes; mso-style-link:"Footnote Text"; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; layout-grid-mode:line;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/user/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/user/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/user/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/user/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:414936565; mso-list-type:simple; mso-list-template-ids:1358169394;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:32.2pt; mso-level-number-position:left; margin-left:32.2pt; text-indent:-.25in; font-family:"Times New Roman","serif";} ol {margin-bottom:0in;} ul {margin-bottom:0in;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} </style> <![endif]--> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-align: center; text-indent: -14.2pt; line-height: normal;" align="center"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">MEMPOSISIKAN BUNGA BANK<span style=""> </span>DAN BAGI HASIL<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-align: center; text-indent: -14.2pt; line-height: normal;" align="center"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Oleh Iskandar,M.Hum<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-align: center; text-indent: -14.2pt; line-height: normal;" align="center"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Dalam literatur perbankan Islam di Indonesia, istilah lain yang diperlukan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syariah. Secara akademis, istilah Islam dengan syariah memang mempunyai pengertian lain. Namun secara teknis di Indonesia menyebutkan Bank Islam dan Bank Syariah mempunyai pengertian yang sama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Menurut Ensiklopedi Islam, <i style="">Bank Islam ialah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam</i>.</span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya di dasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis, sedangkan pengertian muamalat sendiri ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat. Muamalah ini meliputi bidang kegiatan jual-beli (<i style="">bai’</i>), bunga (<i style="">riba</i>), piutang (<i style="">qard</i>), gadai (<i style="">rahan</i>), memindahkan utang (<i style="">hawalah</i>), bagi untung dalam perdagangan</span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"> </span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">(<i style="">qirad</i>), jaminan (<i style="">dhamanah</i>), persekutuan (<i style="">syirkah</i>), persewaan dan perburuhan (<i style="">ijarah</i>).</span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau berpedoman pada praktik-praktik usaha yang dilakukan di jaman Rasulullah s.a.w, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah, atau bentuk usaha baru sebagai hasil <i style="">ijtihad</i> para ulama/cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Bentuk-bentuk perdagangan sejak pra-Islam yang sampai sekarang dikembangkan dalam dunia bisnis modern antara lain : <i style="">al musyarakah</i> (<i style="">joint venture</i>), <i style="">al Bai’at-Takjiri</i> (<i style="">venture capital</i>), <i style="">al Ijarah</i> (<i style="">leasing</i>), <i style="">at takaful</i> (<i style="">insurance</i>), <i style="">al Bil’u Bithaman Ajil</i> (<i style="">instalment-sale</i>), kredit pemilikan barang (<i style="">al Murabahah</i>), pinjaman dengan tambahan bunga (<i style="">riba</i>).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Pada masa Rasulullah saw. yang membawa risalah Islam sebagai petujuk bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang boleh dilakukan dan dikembangkan serta yang dilarang karena tidak sejalan dengan ajaran Islam. Salah satu bentuk yang dilarang ialah perdagangan yang mengandung unsur <i style="">riba</i>. Ayat tentang larangan <i style="">riba</i> ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat, yaitu pada usia 60 tahun. Sehingga beliau belum sampai memberikan penjelasan secara rinci tentang <i style="">riba</i>. Oleh karena itu maka peranan <i style="">ijtihad</i> dari para ulama atau cendekiawan muslim yang bisa diharapkan sebagai penggali konsep-konsep dasar tentang bentuk-bentuk perdagangan yang mengandung unsur <i style="">riba</i>. Dengan demikian akan diperoleh konsep perdagangan tanpa <i style="">riba</i> yang salah satu bentuk kelembagaan berupa bank Islam, bank syariah atau bank tanpa bunga <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Pengertian bank tanpa bunga di sini hendaknya tidak diartikan bahwa bank yang pada operasinya mengganti imbalan bunga dengan bagi hasil. Lebih lanjut hendaknya pengertian bagi hasil tidak disama-artikan dengan pembagian laba pada perseroan. Pengertian bagi hasil di sini tidak ada keterkaitan dengan tanda bukti pemilikan saham atau sejenisnya. Oleh karena itu, bank tanpa bunga mensyaratkan adanya kebersamaan, keterbukaan, kejujuran antara bank dengan nasabahnya sehingga kedua belah pihak dapat merasakan adanya keadilan.</span><a style="" href="#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Bank Islam sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prisip syariah memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri tersebut adalah : <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu <i style="">akad</i> perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak <i style="">rigid</i> dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Untuk sisa utang setelah masa kontrak berahkir dilakukan kontrak baru untuk menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an surat Al Baqarah, ayat : 280.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir. Sistem persentase memungkinkan beban bunga semakin menjadi berlipat ganda. Lebih-lebih apabila nasabah tidak mampu mengembalikan pinjaman itu karena suatu hal, maka pada akhirnya bisa terjadi jumlah bunga menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan jumlah pokok pinjaman. Penerapan sistem ini sama dengan bunga-berbunga yang mana hal ini sangat menjerat terutama peminjam yang pada umumnya berposisi lemah kemampuan ekonominya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (<i style="">fixed return</i>) yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui untung-ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanya Allah swt. Artinya bank maupun orang yang bersangkutan sendiri belum tahu pasti, karena sifatnya masih berusaha. Bank Islam menerapkan sistem yang didasarkan atas penyertaan modal untuk jenis kontrak <i style="">al-mudharabah</i> dan <i style="">al-musyarakah</i> dengan sistem bagi hasil (<i style="">profit and loss sharing</i>) uang tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penerapan keuntungan di muka hanya diterapkan pada jenis kontrak jual-beli melalui kredit pemilikan barang/aktiva (<i style="">al-murabahah</i> dan <i style="">al-bai’u bithaman ajil</i>) sewa guna usaha (<i style="">ijarah</i>), karena kemungkinan rugi dan jenis-jenis tersebut relatif kecil.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito/tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (<i style="">al wadiah</i>) sedangkan bagi bank merupakan titipan yang diamati sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank tersebut untung, maka penyimpan akan memperoleh bagian keuntungan yang bisa jadi lebih besar dari tingkat bunga deposito atau tabungan yang berlaku pada bank konvensional. Bentuk lainnya yang berupa giro dianggap sebagai titipan murni karena sewaktu-waktu dapat ditarik kembali, dapat diberikan bonus ijin penggunaan simpanan itu dalam operasi bank dan dapat juga dikenakan biaya penitipan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Bank Islam tidak menerapkan jual-beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama, di mana dari transaksi itu dapat menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu dalam memberikan pinjaman pada umumnya tidak memberikan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk pembiayaan pengadaan barang. Dengan demikian tidak diperlukan jaminan kebendaan, karena selama kredit belum lunas barang tersebut masih menjadi milik bank. Kalaupun ada, hanyalah jaminan tambahan dan hanya diterapkan pada transaksi bisnis lintas negara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Adanya pos pendapatan berupa “Rekening Pendapatan Non Halal” sebagai hasil dari transaksi dengan bank konvensional yang tentunya menerapkan sistem bunga. Pos ini biasanya digunakan untuk menyantuni masyarakat miskin yang terkena musibah dan untuk kepentingan kaum muslimin yang bersifat sosial.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Ciri lain bank Islam adalah adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain manajer dan pimpinan bank Islam yang diangkat harus menguasai dasar-dasar muamalat Islam. Ciri ini yang diharapkan dapat menjamin bahwa operasional bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syariah Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Produk-produk Bank Islam selalu menggunakan sebutan-sebutan dengan istilah Arab, misalnya <i style="">al-mudharabah</i>, <i style="">al-murabahah</i>, <i style="">al-bai’- bithaman ajil</i>, <i style="">al-ijarah, bai’u takjiri</i>, <i style="">al-qardul-hasan</i> dan sebagainya di mana istilah-istilah tersebut telah dicantumkan dalam kitab-kitab Fiqih Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Adanya produk khusus yang tidak terdapat dalam bank konvensional, yakni kredit tanpa beban yang murni bersifat sosial. Produk ini diperuntukkan khusus untuk orang-orang miskin/sangat membutuhkan dan untuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang <i style="">urgent</i>. Sumber dana untuk fasilitas sosial ini berasal dari zakat, infaq, shadaqah dan pendapatan non halal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 32.2pt; text-indent: -0.25in; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="EN-GB"><span style="">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Fungsi kelembagaan Bank Islam selain menjebatani antara pihak pemilik modal/memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu tanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana tersebut ditarik kembali sesuai dengan perjanjian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Ciri-ciri Bank Islam tersebut di atas bersifat universal dan kumulatif. Artinya, Bank Islam yang beroperasi di mana saja harus memiliki kesemua ciri tersebut, apabila tidak maka hilanglah identitasnya sebagai Bank Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Menurut Marulak Pardede, bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat, harus dapat menjaga kesehatannya,<span style=""> </span>karena kesehatan bank merupakan kepentingan dari semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat sebagai pengguna jasa bank maupun Bank Sentral selaku pembina dan pengawas bank. Dengan demikian, pembinaan dan pengawasan bank merupakan salah satu upaya yang besar peranannya dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada gilirannya akan menciptakan terpeliharanya kepentingan masyarakat sebagai penyimpan dana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menunjuk Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Dalam Undang-undang yang sama, pasal 24-35, Bank Indonesia ditunjuk pula untuk melakukan tugas mengatur dan mengawasi terhadap segala kegiatan perbankan di Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Bank Sentral merupakan penasihat dalam semua bidang termasuk keuangan, urusan bank dan pengurusan utang pemerintah yang sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi secara keseluruhan, maka dibutuhkan pengawasan yang sangat teliti. Berbeda dengan bank pada umumnya, tujuan utama Bank Sentral tidak mencari keuntungan atau menjaga kemampuannya sebagai roda pemutar kredit, tetapi lebih dimaksudkan untuk menjaga kemampuan sistem perbankan secara keseluruhan, dengan tanggung jawab sebagai pemberi pinjaman yang terakhir. Untuk alasan inilah Bank Sentral tidak dibenarkan mengambil bunga atas deposito dan menghindarkan diri untuk berurusan dengan masyarakat luas guna menghilangkan terjadinya persaingan dengan bank umum.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Perbankan Indonesia secara umum menampakkan corak sama dengan yang berlaku di belahan dunia manapun. Namun secara khusus mempunyai karakteristik yang mungkin sedikit berbeda dengan corak perbankan yang ladzim di negara lain. Salah satu kekhasan dalam perbankan Indonesia yaitu dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prisip kehati-hatian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Berkaitan dengan penggunaan prisip kehati-hatian, dalam memberikan kredit, pasal 25 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo pasal 4 Peraturan Pemerintah tentang Bank Bagi Hasil, mensyaratkan Bank Syariah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan. Lebih lanjut dalam penjelasannya diingatkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank tersebut </span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">menggunakan</span><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"> risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Keharusan memperhatikan penggunaan prinsip kehati-hatian dalam proses pemberian kredit ini agar kredit-kredit yang dikeluarkan tidak mudah menjadi kredit macet. Hal ini sangat vital bagi setiap bank, karena kemampuan bank untuk membayar kembali simpanan dana masyarakat banyak bergantung pada kemampuan bank untuk memperoleh pembayaran kembali kredit-kredit yang diberikan kepada para nasabah debiturnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 28.35pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><span style=""> </span>Apabila dikomparasikan dengan Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, muatan pasal yang berkaitan dengan lembaga jaminan dalam proses pemberian kredit, maka pengaturan lembaga jaminan yang terakhir ini lebih <i style="">fleksible</i>. Dalam pasal 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sedangkan pada pasal 11 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, titik beratnya bukan pada ada atau tidaknya batas pemberian kredit maksimum tersebut, melainkan lebih memfokuskan pada wajibnya dijamin oleh bank penerima dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit tau pembiayaan yang diterima. Hal ini menunjukkan penilaian kesanggupan dan kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya yang pada akhirnya mampu menumbuhkan keyakinan bagi pihak bank.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Munculnya Bank dengan prinsip syariah sebagai alternatif sistem perbankan di Indonesia, akan menjangkau lapisan masyarakat luas yang selama ini tidak mau berurusan dengan bank, karena tidak bisa menerima pranata bunga. Fenomena ini sebagai salah satu sistem perbankan alternatif, telah berlaku secara internasional, baik dalam negara yang menggunakan konstitusi syariah Islam maupun di negara-negara yang berpemerintahan non-Islam. Oleh karenanya keberadaan bank dengan prinsip syariah ini tidak tepat kalau dikatakan sebagai issue agama, melainkan issue sistem. Pada perkembangan berikutnya, lembaga perbankan Islam ini merambah keseluruh penjuru dunia. Dengan demikian, perbankan Islam yang menerapkan prinsip syariah ini bisa dikatakan telah diakui sebagai salah satu sistem perbankan dunia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Dibukanya peluang berdirinya bank tanpa bunga di Indonesia antara lain karena selama Repelita V diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar Rp. 236,1 Trilyun (26,4 % dari Produksi Nasional). Dari jumlah tersebut diharapkan akan dapat disediakan dari tabungan dalam negeri sebesar Rp. 14,3 Trilyun. Tabungan dalam negeri diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah sebesar Rp. 88,6 Trilyun dan tabungan masyarakat sebesar Rp. 135,9 Trilyun (15 % dari Produksi Nasional). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Mengingat demikian besarnya peranan yang yang diharapkan dari tabungan masyarakat, maka perlu dicarikan berbagai jalan untuk mengerahkan dana dari masyarakat, khususnya yang belum tertampung dalam lembaga perbankan yang sudah ada. Oleh karena itu, beroperasinya bank tanpa bunga dengan prinsip syariah diharapkan mampu berperan untuk memobilisasi seluruh potensi dana masyarakat termasuk masyarakat muslim di Indonesia yang berjumlah lebih kurang 87 % dari seluruh penduduk Indonesia. Dalam hubungan inilah pemerintah memandang perlu untuk melengkapi sistem perbankan Indonesia dengan sistem yang berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Halal dan haramnya bunga bank telah banyak dibicarakan oleh kalangan ulama. Namun demikian, sampai saat ini belum ada kesamaan pendapat. Masalah pokok yang menjadi pangkal perbedaan tersebut pada ada-tidaknya unsur <i style="">riba</i> dalam sistem bunga. Sebagian ulama tidak bisa menerima pranata bunga yang dipakai oleh bank-bank konvensional, karena meyakini bahwa pada pranata bunga mengandung unsur <i style="">riba</i>. Dalam salah satu bukunya, Taqyuddin An-Nabhani secara gamblang menegaskan bahwa syariah atau Hukum Islam telah melarang <i style="">riba</i> dengan larangan yang jelas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Dalam hal tersebut Bank Syariah mengikuti pendapat ini, sehingga memilih mengoperasikan bank dengan sistem tanpa bunga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Suroso Imam Zadjuli mengemukakan beberapa perbedaan yang terlihat antara lain pada: dasar hukum operasionalnya; asal hasil usahanya; landasan teori ekonomi operasionalnya; risiko kerugian; dimensi waktu; beda harga; motivasi operasional; pinjaman bagi keperluan konsumsi; kewajiban terhadap pemerintah dan masyarakat; batasan operasional; serta tugas pokok konsultannya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, bagaimanapun juga merupakan garapan baru bagi pemerintah dalam dunia perbankan, sedangkan Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang diberi kewajiban untuk menyelenggarakan pengawasan perbankan perlu mengadakan pendekatan-pendekatan baru.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Dalam menjalankan aktivitas penyaluran dananya kepada masyarakat, secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga macam, sesuai dengan prinsip utama yang diterapkan. <i style="">Pertama</i>, pembiayaan berdasarkan prisip bagi hasil; <i style="">kedua</i>, berdasarkan model jual beli dengan pengambilan keuntungan; <i style="">ketiga</i>, berdasarkan prinsip sewa. Masing-masing prinsip tersebut masih dijabarkan ke dalam beberapa jenis usaha yang sesuai dengan Hukum Islam, dalam hal ini Hukum Muamalat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Meskipun sebagai produk yang relatif masih baru dalam industri perbankan, namun Bank Syariah memiliki keistimewaan yang dapat diunggulkan, sehingga pemerintah meletakkan harapan besar kepadanya untuk menggali potensi masyarakat guna menunjang pembangunan nasional. Salah satu kelebihan Bank Syariah adalah dalam hal penyaluran dana, yaitu adanya produk dengan nama <i style="">Al-Qard Al-Hasan</i>. Produk ini merupakan suatu bentuk pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, di mana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali pokok pinjaman. Adapun sumber dana untuk pembiayaan ini berasal dari zakat, infak serta shadaqah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Dengan demikian, meskipun ada produk yang semata-mata untuk kepentingan sosial, namun keliru jika menganggap Bank Syariah adalah bank sosial, apalagi lembaga sosial. Karena dalam aktivitas usahanya, Bank Syariah merupakan bank komersial yang mendasarkan diri pada profesionalisme perbankan untuk memaksimalkan keuntungan. Namun demikian di sisi lain, pada kenyataannya kehadiran Bank Syariah sebagai lembaga berusia “balita”, masih disertai dengan beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 5 (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Bank Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah ini mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh bank yang bersangkutan berdasarkan konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para Ulama Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: normal;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB">Adanya dua lembaga pengawas bagi Bank Syariah ini, meskipun secara sepintas bidang tugasnya berlainan, namun tetap saja ada kemungkinan akan terjadinya benturan antara ketentuan pengawasan yang satu dengan yang lainnya.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 14.2pt; text-indent: 42.5pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">_______________<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Bahan Bacaan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1994.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Warkum Sumitro, <i style="">Asas-asas Perbankan Islam Dan Lembaga-lembaga Terkait Di Indonesia</i>, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Chalid Hasibuan, <i style="">Proposal Bank Syariah Islam di Indonesia</i>, Maret 1991<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Karnaen Perwataatmadja, <i style="">Hukum Ekonomi Islam : Analisa Tentang Bank Syariah Dan Asuransi Takaful</i>, Makalah Penataran Staf Pengajar Hukum Islam Tk. Nasional, FH. UI, Depok, 10-14 Juli 1995.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Marulak Pardede, <i style="">Tinjauan Terhadap Metode Bank Indonesia Dalam Menciptakan Perbankan Yang Profesional Dan Sehat</i>, News Letter No. 19 Desember 1994.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Muhammad Muslehuddin, <i style="">Sistem Perbankan Dalam Islam</i>, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Muhammad Djumhana, <i style="">Hukum Perbankan di Indonesia</i>, Citra Aditya Bakti, Bandung.1999.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Sutan Remi Sjahdeini, <i style="">Sudah memadaikah Perlindungan Yang Diberikan Oleh Hukum Kepada Nasabah Penyimpan Dana</i>, Orasi Ilmiah Dies Natalis XL/Lustrum VIII UNAIR, Surabaya, 1994.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Zainulbahar Noor, <i style="">Membangun Citra Lewat Pengamalan Syariah</i>, Grasindo, Jakarta, 1993.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Muhammad Said Hisyam, <i style="">Pemanfaatan Produk Bank Islam/Kredit Untuk mEndukung Lingkaran Bisnis Amanah</i>, Makalah Seminar Nasional Bank Umum Tanpa Bunga, FE UNPAD, Bandung 1991.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-align: justify; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Muhammad Syafi’i Antonio, <i style="">Perkembangan Lembaga Keuangan Islam</i>, dalam buku Arbitrase Islam Di Indonesia, BMI-BAMUI, 1994.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Bambang Tri Cahyono, <i style="">Analisis Bank Syariah</i>, BP-IPWI, Jakarta, 1996.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">ICMI-PKSP, <i style="">Tinjauan Hukum Islam Terhadap Operasi Bank</i>, Modul Pelatihan Katalis BPRS, Jakarta, 1993.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Taqyuddin An-Nabhani, <i style="">Membangun Sistem Ekonomi Alternatif</i>, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Suroso Imam Zadjuli, <i style="">Peran Perbankan Syariah Dalam Investasi Pembangunan</i>, Makalah Seminar Ekonomi Islam Mendobrak Era Globalisasi, Surabaya, 1995.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 27pt; text-indent: -27pt;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Faisal Afif dkk., <i style="">Strategi dan Operasional Bank</i>, Eresco, Bandung, 1996.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <div style=""><!--[if !supportFootnotes]-->
<br /> <hr align="left" size="1" width="33%"> <!--[endif]--> <div style="" id="ftn1"> <p class="MsoFootnoteText"><a style="" href="#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%; font-family: "Times New Roman","serif";">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Chalid Hasibuan, <i style="">Proposal Bank Syariah Islam di Indonesia</i>, Maret 1991</p> </div> </div> MY FOTOhttp://www.blogger.com/profile/06099766474223774629noreply@blogger.com17