Dosen STAIN SAS BABEL & Mahasiwa Program S3 Hukum UII
Upaya untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu kekuasaan dan penindasan budaya barangkali dapat dipandang sebagai motor penggerak hukum dan demokrasi di Indonesia. Namun harus dipahami bahwa bentuk-bentuk budaya politik perlawanan masyarakat dalam upaya membebaskan masyarakat dari kungkungan sistem hukum yang menindas tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai dengan perkembangan sosial yang berlangsung.
Seperti persoalan yang mencuat saat ini, dengan adanya pelanggaran hukum oleh masyarakat merupakan pembangkangan terhadap penindasan hukum oleh penguasa kepada masyarakat. Pada masa perkembangan masyarakat yang masih diwarnai oleh sistem kerajaan dengan tatanan sosial-politik feodalisme, perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut dan cenderung menindas sudah sering terjadi. Sistem perlawanan yang muncul tetap dibalut oleh kultur politik monarkhi, yakni menggunakan bentuk opposition within system, sehingga diakomodasi dan tidaknya sebuah aspirasi atau tuntutan semuanya sangat tergantung pada kearifan sang raja sebagai penguasa sistem. Artinya, kalau raja dangan ing penggalih maka tentunya aspirasi masyarakat dipenuhi. Sebaliknya, kalau raja tidak setuju tidak tertutup kemungkinan para pemrotesnya akan dibasmi hingga tuntas. Salah satu contoh bentuk perlawanan rakyat atau diistilahkan sebagai pembangkangan sipil (civil disobediene) dengan cara berjemur di alun-alun kerajaan atau politik pepe, tidak mempercayai hukum sebagai konstitusi yang sah di Indonesia.
Sejarah perjalanan di dunia telah membuktikan bahwa iklim sosial yang demokratis pada dasarnya ditopang oleh dua pilar utama, yakni mekanisme politik dalam arti formal, dan yang bersifat substansial. Pilar politik pada level yang formal lebih mengacu pada sebuah sistem dan struktur kelembagaan demokrasi perwakilan rakyat atau parlementary. Pembentukan pemerintahan yang sah adalah melalui keterwakilan suara dan perwakilan rakyat, melalui bekerjanya sistem kepartaian, DPR-MPR, lembaga kepresidenan, peradilan, konstitusi dan lain-lain. Jikalau sebuah negara telah memiliki lembaga-lembaga politik seperti tersebut di atas, maka negara itu secara formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi.
Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi karena dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal terbentuk secara mapan akan berkorelasi positif yang otomatis menghadirkan demokrasi.
Sebaliknya pilar lain sebagai persyaratan normatif dan substansial yang penting adalah adanya civil liberation di berbagai bidang kehidupan. Artinya, setiap anggota masyarakat baik secara individual maupun kelompok memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan aspirasinya. Apalah artinya sebuah negara yang memiliki sistem parlementer yang mapan kalau tidak terjadi kebebasan riil, sehingga demokrasi akhirnya tidak lebih dari sekedar demokrasi formal. Demikian juga sebaliknya, jikalau terdapat kebebasan untuk mengungkapkan pendapat masyarakat yang ada, tetapi tidak ada institusi-institusi politik formal maka yang terjadi adalah kekacauan sosial. Jadi, sistem demokrasi dibangun atas dua pilar politik formal dan substansial yang tidak bisa salah satunya ditiadakan dan keberadaan dua-duanya harus saling berinteraksi komplementer.
Pemerintahan masa lalu juga melakukan klaim bahwa dirinya layak disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. meskipun dalam praktek lebih merupakan formalisme dalam berdemokrasi karena telah meniadakan salah satu pilarnya yaitu kebebasan masyarakat. Bahkan hegemoni dan dominasi politik yang dilakukan cenderung melahirkan monopoli makna atas gerakan-gerakan sosial yang mengarah pada protes. Perlawanan rakyat yang tidak puas dengan sistem yang ada dimaknai sebagai membangkang dan dihadapkan secara diametral dengan konstitusi sehingga mendapat cap mbalelo dan inkonstotusional. Padahal maksud dari pembangkangan tersebut dari sisi rakyat adalah meminta pada penguasa agar ruang gerak politik dapat diperluas untuk menuju tegaknya hukum dan demokrasi secara baik dan benar.
Bentuk-bentuk pembangkangan rakyat yang lahir pada masa lalu hingga kini dapat dikategorikan sebagai perlawanan politik yang menjelma dalam masing-masing bidang kehidupan manusia. Hal ini dapat meliputi pembangkangan bidang politik, sosial, sastra, budaya dan filsafat. Beberapa contoh yang dapat diungkapkan disini misalnya, demontrasi turun ke jalan, mimbar bebas, sidang rakyat-mahasiswa, amuk massa, maraknya penggunaan bahasa plesetan, bentuk-bentuk ketoprak humor, dekonsruksi wayang kulit (dalang Sujiwo Sutejo), teater kritik (Butet Kartarejasa), Parodi Republik Mimpi, puisi-pantomim kritik (Jemek Supardi, Wiji Tukul), dan lain-lain. Kalau kita amati secara cermat maka munculnya berbagai varian pembangkangan tersebut sebagai reaksi politis atas praktek kekuasaan para pemimpin negara. Karena terkadang seorang pemimpin merasa mengklaim dirinya demokratis tapi pada sisi lain menindas hukum dan masyarakat.
Pada masa lalu rezim mengalami konfidensi berlebih sebagai akibat dari arogansi kekuasaan elitnya sehingga tidak mampu membaca tanda-tanda kritik politik melalui maraknya berbagai bentuk pembangkangan/pelanggaran hukum tersebut. Maka jatuhlah kekuasaan ketika masyarakat memaksa dirinya harus turun dari tahta tanpa ia mampu mewariskan institusi politik yang demokratis pada masyarakat dalam pengertian “skill berdemokrasi” dari lapisan atas hingga bawah. Hal ini berakibat pada munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan, kerusuhan dan ancaman disintegrasi sosial yang dapat kita rasakan dampaknya hingga sekarang. Apalagi saat ini dengan adanya Peradilan HAM yang tidak berkesudahan makin menambah daftar suramnya hukum di Indonesia.
Ketika era reformasi tiba, pembangkangan kian marak. Harus diakui bahwa tindak protes memiliki dimesi majemuk. Apa yang berlangsung dengan eskalasi tindakan atau perilaku kekerasan tidak lain karena sosialisasi politik masa lalu yang didominasi oleh repressi dan cara-cara penindasan. Para petani yang pada masa lalu mengalami marginalisasi kerena tergusur tanahnya untuk “pembangunan” melakukan tuntutan kembali atas haknya melalui “penjarahan kembali”. Bahkan lapisan bawah yang selama ini tertindas disinyalir melampiaskan kekecewaannya dengan cara mengamuk dan merusak apa saja yang menjadi simbol-simbol kekuasaan negara yang absolut.
Ini semua merupakan bukti bahwa kesadaran yang telah merebak di kalangan masyarakat akan ketertindasan masa lalu sudah cukup untuk membentuk politik hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini. Ketiadaan pendidikan sipil (civil education) pada masa pemerintahan lalu dan absennya perilaku demokratis telah membawa bangsa Indonesia pada era reformasi ini dalam situasi kurang menguntungkan.
Adalah langkanya skill berdemokrasi yang internalized dalam setiap benak dan perilaku individu-individu anggota masyarakat. Masih jauh dari harapan bahwa gerakan-gerakan pembangkangan/pelanggaran terhadap hukum dan demokrasi yang terjadi, berubah menjadi protes konstruktif, melahirkan opini publik. Menjadi perdebatan dalam politik resmi (parlemen dan pemerintah), dan melahirkan sebuah kebijakan publik. Untuk sementara ini, makna sosial pembangkangan/pelanggaran hukum masih belum berubah, yaitu melawan pada rezim dan sebagai tindakan salah.
0 komentar:
Posting Komentar