Selasa, 27 Januari 2009

. Selasa, 27 Januari 2009

MENEGAKKAN WIBAWA HUKUM

Oleh Iskandar,M.Hum

Peringatan HAM (Hak Asasi Manusia) 10 Desember 2008 lalu dan tahun baru 2009 harus selalu dijadikan sebagai momentum terbaik untuk merefleksikan betapa pentingnya perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini mengingat masih sangat banyak ditemui kegagalan lembaga peradilan dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum.

Kasus tragis yang masih segar dalam ingatan kita adalah salah tangkap dan vonis oleh PN Jombang terhadap Kemat dan Devid yang jelas-jelas mencoreng wajah hukum. Kasus tersebut bagaimana pun harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang di masa mendatang.

Wibawa Hukum

Kewibawaan hukum sebetulnya merupakan agenda ”mutlak” saat ini mengiringi gerak langkah reformasi 1998. Sayangnya, kasus yang terjadi di berbagai lembaga hukum sendiri telah memudarkan simbol-simbol keadilan yang dengan sendirinya meruntuhkan kewibawaan hukum. Kasus salah tangkap dan salah vonis Kemat dan Devid merupakan cermin betapa telah terjadi degradasi kewibawaan aparat dan institusi yang menjadi tumpuan harapan penegakan hukum di negeri ini. Belum lagi jika ditarik sedikit ke belakang banyaknya keterlibatan jaksa, hakim, dan kepolisian dalam tindak kejahatan itu sendiri.

Sebenarnya indikasi kemerosotan wibawa hukum telah terjadi secara ”muncul dan tenggelam.” Di saat pemerintah gencar melakukan pemberantasan korupsi, justru sejumlah pejabat BI dan para anggota DPR yang menjadi para pesakitannya. Belum lagi sejumlah pejabat di berbagai departemen dan kepala daerah yang seperti antri menunggu vonis akibat terlibat korupsi.

Tiga Penyebab

Yang menjadi pertanyaan pokok tulisan ini, mengapa lembaga peradilan sebagai tumpuan harapan penegakan hukum justru seperti mengalami stagnasi kewibawaan, dan pada akhirnya terjebak pada ketidakberdayaan ?

Pertama, secara makro lembaga yudikatif masih terlihat seperti menjadi tersubordinasi oleh lembaga eksekutif serta perangkat-perangkat kekuasaannya. De facto, kekuasaan lembaga eksekutif telah demikian jauh menerobos ke wilayah kekuasaan peradilan. Dalam iklim paternalistik yang masih kental, kekuasaan yang saling tumpang tindih dan berebut pengaruh ini jelas sangat merugikan terutama dalam konteks kewibawaan hukum (negara hukum). Contoh konkret dalam kaitan ini adalah ketika terjadi tindakan kekerasan oleh teman artis Marcella Zalianty yang memancing sejumlah pengacara dan KONTRAS ramai-ramai membela korban (Agung Setiawan). Para pengacara dan KONTRAS khawatir bila tidak ada sikap ”membela” si korban kasus ini akan hilang begitu saja mengingat orangtua salah satu pelaku AM yaitu Tinton Soeprapto adalah mantan pembalap nasional, pengusaha terkenal yang dikenal dekat dengan berbagai pejabat tinggi negara. Dalam asumsi para pengacara ini, bukan tidak mungkin para pejabat itu akan dimintai tolong untuk ”membebaskan” pelaku. Untungnya dalam hal ini Polri bersikap tegas sehingga kewibawaan institusinya terjaga dengan baik.

Kedua, ada kesan kuat bahwa bottleneck ada ditangan lembaga penyidik. Praktik penganiayaan dalam proses penyidikan seolah-olah telah menjadi sesuatu yang biasa. Para penyidik merasa mendapat previlege untuk berbuat apa saja demi pengakuan tersangka. Hal ini pula yang membuat Kemat dan Devid ”terpaksa” mengaku. Tentu saja ini pemahaman yang keliru, sebab dalam pengadilan, pengakuan tersangka memiliki bobot yang lebih ringan dibandingkan dengan adanya bukti dan saksi. Artinya, walaupun tersangka tidak mengaku, ia tetap bisa dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara seandainya bukti-bukti dan saksi dapat membuktikan kesalahannya.

Jika dilacak lebih dalam cara-cara pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan penyidik lebih menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi, sehingga yang diutamakan sekadar tanda tangan dan pengakuan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Padahal sekali lagi bobot pengakuan tersangka itu jauh lebih ringan daripada bukti-bukti dan saksi-saksi.

Ketiga, penurunan kewibawaan hukum turut pula disumbang oleh banyaknya kasus pelanggaran hukum justru oleh para aparat penegak hukum sendiri. Kasus keterlibatan jaksa Uri Tri Gunawan dan kasus salah tangkap dan vonis di Jombang jelas menambah carut-marut wajah hukum kita.

Penegakan Hukum

Mengembalikan hukum sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan merupakan refleksi penting bersamaan dengan peringatan hari Hak Asasi Manusia 2008 dan memasuki tahun baru 2009 kali ini. Untuk itu diperlukan kerja keras dan kerja cerdas dari para penegak hukum agar kewibawaan dan penegakan hukum mencapai seperti yang diharapkan. Genderang perang di intern Polri terhadap premanisme, perjudian dan kejahatan lain seperti telah ditabuh Kapolri baru layak disambut dengan baik. Gerakan ini tentu akan sinergis dan efektif bila linier dengan langkah-langkah yang telah ditempuh oleh KPK dan kejaksaan. Persoalannya sekarang tinggal bagaimana semuanya dapat berjalan sesuai dengan harapan sehingga keadilan yang diidam-idamkan itu dapat mendekati kenyataan.

akhirnya, semoga saja kewibawaan hukum guna mencapai keadilan itu semakin mendekati kenyataan terutama bagi rakyat di tahun-tahun mendatang. semoga

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Feed Ruri Andari

KOMPAS.com - Nasional

Mengenai Saya

Foto saya
Candidat Doktor,Dosen di Babel, Konsultan Pendidikan, Widiaishwara Badan Diklat Babel,tinggal di Pangkalpinang babel lahir di Pangkalbuluh Kecamatan Payung Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Istri : Maria Susanti, S.Ag, anak 3 orang : Afdila Ilham Isma (lahir di Pekan Baru/Riau), Asyiqo Kalif Isma (lahir di Pangkalpinang, Alziro Qaysa Isma (lahir di Pangkalpinang)
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com