Senin, 23 Februari 2009

MENANGANI KEKERASAN PADA PEREMPUAN…?

. Senin, 23 Februari 2009



Allah menciptakan manusia itu secara berpasang-pasangan. Secara kodrati setiap manusia memiliki kecenderungan untuk lawan jenisnya. Islam memberikan kecenderungan legitimasi terhadap hasrat seksual tersebut melalui sebuah lembaga yang bernama perkawinan, guna membentuk rumah tangga yang bahagia sebagaimana firman Allah (Q. S. Ar – Rum (30) ; 21)
Namun tidak selamanya suatu rumah tangga mampu memberikan suasana harmonis bagi penghuninya. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa bila salah seorang diantara anggota rumah tangga tidak memahami apalagi tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam, maka akan timbul faktor-faktor yang mengganggu kerukunan rumah tangga. Dan penanggulangannya tergantung pada penyebab penyimpangan dari petunjuk Islam dalam mencapai rumah tangga yang dikehendaki oleh Allah SWT. Setiap rumah tangga dibentuk oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak saja sudah lain jenisnya, juga berlainan sifat dan tingkah laku, maka faktor-faktor yang sederhana ini sudah merupakan faktor yang dapat mengganggu kerukunan rumah tangga.
Dalam suatu rumah tangga pertengkaran atau perselisihan antara suami dan istri adalah hal biasa dan wajar, pertengkaran kadangkala dinilai sebagai asam garamnya hidup berumah tangga. tetapi petengkaran yang terus menerus tidaklah wajar, ketidak wajaran pertengkaran juga terjadi jika diwarnai tindak kekerasan, seperti menganiaya pasangannya, menampar, memukul dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan rumah tangga antara lain adalah :
1. Tidak mengetahui dan mempelajari aturan agama Islam.
2. Kecewa, karena apa yang diharapkan sebelum perkawinan tidak tercapai, contoh ; seorang
suami mengharapkan istrinya yang taat beragama, ternyata ia adalah perempuan yang
pemalas.
3. Belum matang untuk berfungsi sebagai suami atau istri, yang pada akhirnya rumah tangga jadi berantakan.
4. Masalah ekonomi, yang banyak sekali merupakan faktor yang utama dalam perceraian di Indonesia.
5. Suami yang mudah terayu oleh perempuan lain, sehingga si istri menjadi cemburu dan sebagainya.

Apabila ada perselisihan atau kegoncangan dalam keluarga, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menempuh secara damai, mengendalikan diri dan tidak mengikuti hawa nafsunya. Perselisihan atau konflik yang terjadi antara suami istri adalah sesuatu yang wajar, tetapi penyelesaian konflik dengan kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Selama ini kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya lebih dimaksudkan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Adapun yang disebut sebagai kekerasan terhadap istri adalah segala perilaku yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yang sifatnya menyakiti baik secara fisik, emosi atau psikologis dan seksual sehingga menyebabkan si istri hidup dalam situasi keseharian yang menyakitkan.
Membicarakan masalah kekerasan terhadap istri mengingatkan kita pada gambaran akan istri yang teraniaya atau istri yang terlantar karena tindakan suami yang semena-mena kepada mereka. Kekerasan terhadap istri pada prinsipnya merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga masalah ini tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap istri merupakan masalah sosial yang kurang mendapatkan tanggapan dari masyarakat, hal ini disebabkan karena. Pertama kekerasan terhadap istri memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacinya karena persoalannya terjadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap istri seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap istri terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan. Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh kesah istri yang mengalami persoalan kekerasan terhadap istri dalam perkawinannya. Akibatnya mereka pun memendam persoalan itu sendiri, tidak tahu bagaimana menyelesaikannya dan semakin yakin pada anggapan yang keliru bahwa suami memang berhak mengontrol istri.
Untuk memahami realitas kekerasan terhadap istri sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dilakukan telaah yang berprespektif perempuan. Sebab tanpa itu kita akan terus terjebak dalam berbagai mitos menggiring pada pelestarian budaya viktiminasi terhadap perempuan. Padahal, kekerasan terhadap istri adalah bahaya terbesar bagi kamum perempuan di banding bahaya perampokan dan pencurian, karena data statistik telah menunjukkan bahwa setiap sembilan menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25 % perempuan yang telah terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan laki-lakinya. Disebutkan juga bahwa antara 1,5 hingga 3 juta anak perempuan yang berumah tangga mengalami kekerasan dari suami.
Masyarakat di Indonesia lebih suka menyembunyikan dan bungkam menghadapi masalah terhadap istri, hal ini disebabkan selain faktor yang disebutkan diatas, juga disebabkan karena masih sangat kuatnya kultur menomer satukan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Hal ini tercermin dalam ilustrasi berikut : ketika seorang istri melaporkan kepada aparat tentang tindak kekerasan suami terhadap dirinya, maka aparat menyuruh si istri tersebut pulang dan membicarakan kembali urusan rumah tangganya itu secara baik-baik (kekeluargaan) dengan suami. Ketika kekerasan terhadap istri di bicarakan kepada mertua, saudara atau mungkin tetangga, maka mereka justru akan menanyakan apa kesalahan sang istri sampai membangkitkan kemarahan suami hingga memukulnya. Kemudian istri “dibekali” serangkaian pesan yang isinya antara lain agar ia lebih memahami jiwa laki-laki, agar bertahan apapun keadaannya demi keutuhan keluarga dan seterusnya.
Akibatnya banyak korban kekerasan terhadap istri yang menyerah pada keadaan, memendam masalahnya hingga penderitaan, meyakini bahwa bersabar dan berbesar hati atas prilaku suami adalah jalan yang terbaik. Tanpa di sadari solusi semacam ini sebetulnya telah menyebabkan dampak negatif yang berlapis-lapis, baik bagi perempuan, anak-anak dan keluarga.
Kekerasan terhadap istri pada dasarnya merupakan indikasi dari adanya ketidak setaraan sistem struktur sosial atas pola relasi laki-laki dan perempuan. Toleransi masyarakat yang demikian longgar atas masalah ini di dasari pada anggapan yang sangat diyakini atas peran superior laki-laki terhadap perempuan (istri mereka). Kekerasan dalam rumah tangga jarang di laporkan, biasanya perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suaminya adalah kekhilafan sesaat. Apalagi setelah melakukan kekerasan, si suami kemudian minta maaf, atau seorang istri merasa malu atau enggan dimana ia menganggap bahwa peristiwa yang dialaminya adalah biasa, bukan merupakan sesuatu yang harus di hentikan. Namun tidak sedikit juga seorang istri memilih melaporkan suaminya pada kepolisian atau mengadu permasalahannya itu kepada biro konsultasi.
Di Indonesia banyak terdapat lembaga swadaya masyarakat dan bantuan hukum yang siap membantu kaum perempun dari tindak kekerasan, lembaga tersebut adalah salah satu lembaga yang sangat peduli pada masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang peduli masalah kekerasan terhadap perempuan (baca : istri) kepedulian tersebut diwujudkan dengan melakukan upaya pemberdayaan perempuan, dengan menggunakan beberapa metode untuk mencapai tujuannya tersebut.
Mengamati metode penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang diterapkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam kacamata Islam, adalah dimaksudkan sebagai pencarian relevansi hubungan antara keduanya dalam mendekati masalah penanganan tindak kekerasan tersebut.
Islam sebagai suatu agama yang banyak memberikan dasar-dasar normatif dalam setiap bidang kehidupan manusia, telah mengajarkan kepada ummatnya untuk selalu mengendalikan hawa nafsu dan mengutamakan perdamaian diatas segalanya.
Dengan demikian dalam menghadapi masalah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, hukum Islam lebih menitik beratkan pada upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan tersebut dengan jalan mengadakan perdamaian antara kedua pihak yang berselisih.
Islam disamping mengajarkan tentang perdamaian juga menganjurkan umatnya untuk berperang melawan segala bentuk kekerasan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Pada dasarnya Islam sangat tidak mentolelir terjadinya kekerasan di dalam bidang apapun dan dalam bentuk apapun. Untuk itulah keberadaan Lembaga-lembaga perempuan sebagai suatu lembaga yang konsen terhadap masalah-masalah kekerasan, khususnya tindak kekerasan dalam rumah tangga amat menarik untuk dikembangkan di daerah ini. Semoga mencerahkan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nice blog...:)
sudahkah anda bergabung dikomunitas "Negeri Serumpun Sebalai"? yg belum, segera daftar di Facebook. Situs jaringan sosial (social networking)yg lagi ngetren. bisa cari temen & mempromosikan blog anda. lihat di
http://irur07.blogspot.com

keanggotaannya dinantikan...:)

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Feed Ruri Andari

KOMPAS.com - Nasional

Mengenai Saya

Foto saya
Candidat Doktor,Dosen di Babel, Konsultan Pendidikan, Widiaishwara Badan Diklat Babel,tinggal di Pangkalpinang babel lahir di Pangkalbuluh Kecamatan Payung Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Istri : Maria Susanti, S.Ag, anak 3 orang : Afdila Ilham Isma (lahir di Pekan Baru/Riau), Asyiqo Kalif Isma (lahir di Pangkalpinang, Alziro Qaysa Isma (lahir di Pangkalpinang)
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com