Senin, 09 Maret 2009

CERMIN BURAM PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA (Sebuah Analisis Tinjauan Sosiologi Hukum) Bagian 2 (selesai)

. Senin, 09 Maret 2009

3. Fenomena Penegakkan Hukum di Indonesia
Ruang lingkup penegakkan hukum sebenarnya sangat luas sekali, karena mencakup hal-hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun dalam bidang penegakkan hukum. Akan tetapi yang dimaksud dengan penegakkan hukum menurut penulis disini adalah penegakkan hukum yang tidak hanya mencakup “law enforcement”, juga meliputi “peace maintenance”. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah penegakkan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi, hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasayarakatan atau penjara.
Hukum bukan sekedar kumpulan peraturan tingkah laku belaka, tapi juga manifestasi konsep-konsep, ide-ide, dan cita-cita sosial mengenai pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat. Hal itu tercermin dalam konsep atau cita-cita tentang keadilan sosial, kesejahteraan hidup bersama, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta demokrasi.
Pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat dengan sarana hukum ini meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bidang sosial dan budaya maupun dalam bidang ekonomi dan politik. dalam konteks ini, hukum merupakan pedoman bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat.
Hukum merupakan kaidah tertinggi yang harus diikuti oleh masyarakat dalam melakukan interaksi sosial, dan oleh penguasa negara dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Perlu diketahui, bahwa hukum bukanlah merupakan kaidah yang bebas nilai, dimana manfaat dan mudaratnya tergantung kepada manusia pelaksananya atau orang yang menerapkannya. Tetapi hukum merupakan kaidah yang sarat nilai, menentukan identitasnya, harapan-harapannya, dan cita-citanya. Singkatnya, hukum memiliki logika sendiri, kehendak sendiri, dan tujuan sendiri.
Walaupun demikian, hukum tidak dapat merealisasikan sendiri kehendak-kehendaknya tersebut, karena ia hanya merupakan kaidah. Oleh karena itu dibutuhkan kehadiran manusia untuk mewujudkan (aparat penegak hukum). Dengan cara memandang hukum seperti itu, maka penegakkan hukum (law enforcement) tidak sekedar menegakkan mekanisme formal dari suatu aturan hukum, tapi juga mengupayakan perwujudan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam hukum tersebut.
Penegakkan hukum yang hanya mengandalkan prosedur formal, tanpa mengaitkan secara langsung dengan spirit yang melatarbelakangi lahirnya kaidah-kaidah hukum, membuat proses penegakkan hukum akan berlangsung dengan cara yang sangat mekanistik. Padahal tuntutan hukum bukan hanya pada pelembagaan prosedur dan mekanismenya, tapi juga pada penerapan nilai-nilai substantifnya.
Dalam proses perubahan sosial, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam masyarkat bukan hanya faktor internal dalam sistem hukum itu sendiri ((hukum, aparat, organisasi, dfasilitas), tapi juga faktor-faktor eksternal di luar sistem hukum, seperti sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Melihat kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa hukum sangat erat dengan kemasyarakatan, oleh karenanya hubungan antara hukum dan penegak hukum yang satu dengan yang lainnya sangat erat sekali. Hal ini sesuai dengan sebuah statemen yang menyatakan bahwa hukum secara sosiologis itu sangat penting, dan merupakan lembaga kemasyarakatan (sosial institution) yang merupakan kumpulan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Dalam kenyataanya ada tiga unsur pokok yang mempengaruhi terbentuk suatu hukum dan ditaatinya suatu hukum yaitu faktor penegak hukum itu sendiri, faktor masyarakatnya, dan faktor kebudayaannya.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi dan juga bisa rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban—kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan peranan atau role. Maka dengan demikian mereka mempunyai peranan untuk berbuat atau bertindak, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang menjadi bebannya.
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian, tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan penegak hukum itu menimbulkan konflik baik status maupun perannya.
Berbagai situasi sangat mungkin akan terjadi dan dihadapi oleh penegak hukum, dimana mereka harus melakukan diskresi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab lainnya suatu kriminal tersebut terjadi. Dan situasi-situasi tersebut dapat berupa penindakan langsung atau tidak adanya tindakan terhadap pelanggar. Dalam siatuasi ini apabila aparat penegak hukum lambat dalam melakukan aksi hukum terhadap pelaku kejahatan, maka mungkin hukum masyarakat akan terjadi. Karena masyarakat selama ini tidak dapat mencari keadilan sebagaimana yang dimaksud dalam negara hukum Indonesia.
Perlu dicermati bahwa penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selama ini pembodohan aparat penegak hukum kepada masyarakat sangat menyakitkan. Contoh beberapa kasus yang terjadi selama ini, di mana para koruptor dapat lepas begitu saja (kasus Edi Tansil, Suwondo, Bank Bali dan lain-lain).
Selama ini penegak hukum tidak mampu berkomunikasi dengan masyarakat, maka akhirnya masyarakat lebih mempercayai hukum itu sendiri dengan tindakan nyata tanpa adanya proses pengadilan yang sebenarnya. Apalagi dengan adanya beberapa oknum penegak hukum yang nyata-nyata telah melanggar hukum tetap dilindungi. Maka bukanlah aparat sebagai panutan oleh masyarakat tetapi hukum masyarakat menjadi panutan aparat penegak hukum. Inilah yang harus dicermati bahwa apabila dalam penegakkan hukum tersebut tidak melihat realitas hukum di masyarakat maka kehancuran akan mulai menggerogoti kehidupan hukum di Indonesia pada masa yang akan datang.
Beberapa kasus saat ini merupakan pelajaran yang baik bagaimana pembentukkan hukum yang ada di Indonesia saat ini sebaiknya dilakukan. Karena tanpa mengikutsertakan masyarakat, maka penegakkan hukum tersebut tidak akan dapat dilaksanakan, contoh konkrit aktual yaitu adanya Undang-Undang PKB, dalam peraturan tersebut, masyarakat sangat dirugikan dan hukum tersebut dibuat hanya menguntungkan kalangan militer , namun demikian, akhirnya kita dapat lihat bagaimana peristiwa berakhirnya hukum tersebut di masyarakat.
Sesungguhnya, tujuan penegakkan hukum berasal dari masyarakat dimaksudkan untuk mencapai kedamaian dan keadilan di dalam masyarakat itu sendir, karena mengalami hukum tersebut setiap hari. Oleh karenanya, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum tersebut.
Selanjutnya, kondisi sosial masyarakat Indonesia selalu berbeda pendapat terhadap persoalan hukum. Pengertian hukum menjadi luas menurut masyarakat. Namun demikian, pengertian hukum tersebut mempunyai kecenderungan yang besar dan bahkan mengidentifikasikannya degan petugas. Sebagai akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum tersebut selalu dikaitkan dengan penegak hukum, yang menurut masyarakat merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses daripada hukum itu sendiri.
Kaitannya dengan hal tersebut, maka pelanggaran hukum oleh masyarakat dengan model terbaru amuk massa juga banyak dilatar belakangi oleh adanya suatu kegiatan dari penegak hukum itu sendiri yang sedianya untuk bertujuan agar masyarakat mentaati hukum akantetapi malah membuat masyarakat untuk melanggar hukum. Contoh kongkrit, kalau ketaatan terhadap hukum diketengahkan atau dibahas mengenai sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum dilanggar, maka mungkin masyarakat malah hanya taat pada saat ada petugas. Dan mungkin juga jika mempunyai massa yang banyak malah petugas sendiri yang dihakimi massa tanpa ada yang dapat menghalangi hukum yang dilakukan oleh massa itu sendiri.
Oleh karena itu, hendaknya sebuah hukum tidak menempuh suatu cara bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang sangat menakutkan, tapi dengan menggunakan cara persuasif lebih tepat. Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan kebudayaan-kebudayaan khususnya. Maka akhirnya diketahui bahwa penegakkan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang hanya berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik antara masyarakat dan hukum, begitu juga sebaliknya.
Melihat kondisi Indonesia saat ini yang bermacam perilaku baik secara tradisional maupun modern, maka cara yang efektif dalam penegakkan hukum itu sendiri adalah bagaimana caranya mengenal lingkungan sosial dari masyarakat terhadap hukum dengan sebaik mungkin.
Akhirnya, eeorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi penegak hukum atau pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial selalu ada dasar-dasarnya.
Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kekuasaan dan wewenang serta penerapan hukum yang akan dilakukan dalam kondisi masyarakat yang demikian.
Sebagai hasil akhir, maka dengan memahami dan mengetahui stratifikasi dalam masyarakat maka terbukalah jalan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dilingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terhadap nilai-nilai atau norma-norma serta kaidah-kaidah sangat penting di dalam pekerjaan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi (ataupun yang bersifat potensial).
Disamping itu, juga akan diketahui bahwa hukum tertulis yang ada saat ini mempunyai berbagai kelemahan yang harus diatasi dengan keputusan-keputusan yang cepat dan tepat. Penyebab utama dari kelemahan terhadap hukum tertulis Indonesia saat ini adalah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa adanya pendidikan hukum masa pemerintahan Indonesia selama ini yang mengabaikan supremasi hukum dan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan hukum itu sendiri. Sehingga demokrasi yang hendak diterapkan keluar dari jalur dan hanya mengenai beberapa orang pemerintahan saja, sedangkan masyarakat menjadi tertindas dengan adanya hukum tersebut.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hukum di masa yang akan datang, hendaknya ikutserta dan peran masyarakat harus dominan dalam pembuatan hukum itu.

4. Pembentukan Hukum yang Ideal berdasarkan Sosiologi Hukum
Sebagaimana dalam pembahasan diatas, maka dapat diketahui bagaimana kondisi baik segi demokrasi, politik, dan penegak hukum di Indonesia selama ini sudah berjalan. Dalam analisis ini akan dibahas tentang upaya mengatasi anarkisme massa dan pembentukan hukum yang ideal dalam konteks sosiologi hukum.
Pemerintah ataupun aparat kepolisian perlu merumuskan kembali strategi baru untuk segera mengatasi merebaknya fenomena main hakim sendiri yang menisbikan perikemanusiaan dan kaidah-kaidah hukum. Gejala main hakim sendiri kini sudah ber-eskalasi cukup jauh sehingga cenderung anarkhis, merontokkan pilar-pilar wibawa hukum. Jajaran kepolisian harus menghentikan aksi ini serta bertanggung jawab mengusut berbagai kejadian “pengadilan massa”.
Jika kita lihat melalui kaca mata sosiologi hukum, jelas bahwa fenomena pengadilan massa merupakan ketidakberdayaan sistem hukum yang dibuat selama ini dan pengaruh aparat penegak hukum dan akhirnya jika tetap dibiarkan pengadilan massa itu, maka menjadi sebuah fenomena anarkisme yang berbahaya, baik itu terhadap hukum, aparat bahkan akan menjadi suatu kudeta terhadap pemerintah. Karena apabila pengerahan massa yang tidak terkendali dapat kita lihat bagaimana negara ini hancur tanpa ada hukum yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, fenomena saat ini juga jangan sepenuhnya dianggap sebagai kesalahan masyarakat secara mutlak, tetapi harus dilihat juga apakah tidak mungkin tindakan tersebut merupakan kepedulian masyarakat dalam memerangi para penjahat hukum dengan tindakan nyata. Dengan demikian, pekerjaan yang paling utama yang harus dilakukan para penegak hukum adalah bagaimana mengupayakan agar tindakan masyarakat (pengadilan massa) tidak menjurus menjadi kasar, sampai membakar pelaku kejahatan, tetapi bagaimana caranya agar masyarakat dan aparat keamanan saling membutuhkan dan menjadikannya mitra dalam menghadapi setiap bentuk kejahatan.
Pengadilan massa, sesungguhnya merupakan kesalahan dalam memproduk hukum yang selama ini tidak mengindahkan pendapat para pemikir sosiologi hukum dalam membentuk suatu hukum. Dapat kita lihat bagaimana hukum saat ini dibuat, penulis belum melihat i’tikad para penguasa mengikutsertakan masyarakat dalam membentuk hukum tersebut.
Kondisi penegakkan hukum dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut. Namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung konteks sosial dan tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum dapat dibedakan dalam dua hal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor yang terdapat di luar hukum. Adapun faktor-faktor yang dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), faktor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana. Sedangkan faktor-faktor di luat sistem hukum yang memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor penguasa negara.
Realitas penegakkan hukum dalam masyarakat kita yang sedang mengalami proses modernisasi juga mempengaruhi faktor-faktor majemuk tersebut. Dengan demikian kondisi penegakkan hukum yang masih buruk dalam masyarakat kita dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa faktor yang berdiri di belakang kelembekkan suatu negara atau ketidakdisipilnan sosial yang meluas, yaitu perundang-undangan yang terburu-buru (sweeping legislation). Perundangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasi masyarakat dengan segera, berhadapan dengan masyarakat yang umumnya diwarsisi, yaitu otorianisme, paternalisme, partikularisme, dan banyak ketidak aturan lainnya.
Tapi menurut penulis, bahwa hal tersebut tampaknya tidak terjadi di Indonesia, karena proses pembentukan suatu undang-undang sangat lamban dan dalam memperbaharui satu hukum saja memerlukan waktu yang sangat lama.
Sebagaimana uraian sebelumnya, faktor suatu undang-undang tetap mempunyai pengaruh terhadap kondisi buruk dalam penegakkan hukum di Indonesia saat ini. Ini terjadi karena masih tetap dipertahankannya beberapa undang-undang atau ketentuan undang-undang yang kurang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. hal ini tentunya memicu massa atau masyarakat lebih tidak mempercayai hukum yanga ada di Indonesia saat ini secara keseluruhan.
Faktor lain yang paling berpengaruh dalam penegakkan hukum di Indonesia adalah kualitas sumber daya aparat penegak hukum. Bukan rahasia lagi bila aparat penegak hukum, kepolisian, kejakasaan, kehakiman, dan kepengacaraan saling lempar-lemparan di depan pengadilan tapi saling telpon-telponan ketika berada di luar sidang pengadilan.
Kurangnya profesionalisme ini terlihat dari lemahnya wawasan dan minimnya ketrampilan untuk bekerja, rendahnya motivasi kerja, dan rusaknya moralitas personal aparat penegak hukum.
Faktor-faktor di luar sistem hukum yang berpengaruh terhadap proses penegakkan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Perubahan sosial dan politik penguasa. Kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah, baik dikalangan masyarakat terdidik maupun di seputar masyarakat kurang berpendidikan, bahkan juga di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri.
Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi sekarang ini, dengan adanya pengadilan massa terhadap pelaku kejahatan. Tanpa mengenal siapa yang melakukan kejahatan, semuanya harus dihukum sesuai dengan hukum rakyat.
Pengaruh perubahan sosial terhadap proses penegakkan hukum di Indonesia tergambar dalam perubahan tata nilai dalam masyarakat Indonesia sendiri. Perubahan tata nilai merupakan perubahan tata kelakuan dalam pola interaksi sosial di antara sesama warga masyarakat. Nilai-nilai lama sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai baru belum terlembagakan, yang akhirnya mengakibatkan perbenturan nilai-nilai atau terjadinya dualisme nilai dalam masyarakat.
Nilai-nilai dualistik tersebut misalnya nilai kemafaatan sosial dan keadilan, nilai-nilai tradisional dan modern, kekeluargaan dan individualisme, pertumbuhan dan pemerataan, materialisme dan spiritualisme dan sebagainya. Ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan tersebut menimbulkan kerancuan nilai dan ketidakpastian hukum sehingga merangsang aparat penegak hukum melakukan tindakan yang bersifat patologis. Maka pada akhirnya masyarakat memilih nilai sendiri dalam melakukan penegakkan hukum yang ada di wilayahnya masing-masing sesuai dengan tuntutan dari masyarakat wilayah tersebut.
Untuk menghentikan segala aksi dan protes masyarakat terhadap para penegak hukum melalui berbagai pengadilan massa yang sedang marak saat ini diperlukan sebuah startegi yang besar dalam sejarah penegakkan hukum di Indonesia. Staretgi tersebut berasal dari bagaimana proses membuat hukum yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat dan sesuai dengan keadaan sosial dan kebudayaan masyarakat di Indonesia.
Kesalahan yang paling besar selama ini adalah bahwa hukum di Indonesia yang berlaku dari dulu hingga zaman reformasi saat ini merupakan adopsi hukum yang berasal dari negara lain (contoh hukum pidana), padahal hukum yang telah disepakati oleh pemerintah berlaku di Indonesia belum tentu sesuai dengan budaya dan keadan sosial daerahnya.
Seperti halnya persoalan pengadilan massa, hukum pidana Indonesia tidak cukup mengatur kejahatan yang dilakukan massa (tindakan pidana kelompok), kecuali pasal 55 – 56 KUHP yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan, jadi suatu yang tidak mudah untuk menyelidiki perkara ini. Tentunya hal ini kembali kepada bagaimana efektivitas pembuatan hukum yang bersendikan masyarakat dan budaya Indonesia.
Oleh karena itu, hukum yang hendak diciptakan di negara Indonesia saat ini harus mengikutsertakan masyarakat sebagai komunitas yang menjalani kehidupan dalam bernegara. Tentunya hukum yang dibuat atas dasar peranserta masyarakat, penegakkan hukumnya akan berbeda dengan pembuatan hukum tanpa mengitusertakan masyarakat.Hal tersebut akan terjadi karena masyarakat mengetahui dan memahami hukum tersebut sesuai dengan apa yang menjadi realitas keadilan dan kedamaian bagi kehidupan komunitas mayarakat itu sendiri. Sedangkan hukum tanpa mengikutsertakan masyarakat, maka mereka tidak pernah dapat memahami akan fungsi ketaatan mereka kepada hukum.semoga bermanfaat

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan
demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska
justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal
di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi
melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak
'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Sayangnya moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh terpuruk sesat dalam kebejatan. Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Feed Ruri Andari

KOMPAS.com - Nasional

Mengenai Saya

Foto saya
Candidat Doktor,Dosen di Babel, Konsultan Pendidikan, Widiaishwara Badan Diklat Babel,tinggal di Pangkalpinang babel lahir di Pangkalbuluh Kecamatan Payung Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Istri : Maria Susanti, S.Ag, anak 3 orang : Afdila Ilham Isma (lahir di Pekan Baru/Riau), Asyiqo Kalif Isma (lahir di Pangkalpinang, Alziro Qaysa Isma (lahir di Pangkalpinang)
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com