Bagian I
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, menarik garis antara apa yang itu hukum dan apa itu yang melawan hukum. Hukum dapat berupa suatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasinya sebagai melawan hukum. Yang diperhatikan dan digarap oleh hukum itulah perbuatan melawan hukum baik sungguh-sungguh terjadi (on recht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (on recht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakkan hukum.
Kejadian kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini sudah sangat begitu menyedihkan, hukum bukan lagi kumpulan kaidah yang mesti ditaati, tetapi sekedar huruf-huruf yang tidak mempunyai arti apa-apa. Rentetan peristiwa kekerasan massa yang paripurna menggambarkan pudarnya kekuatan hukum saat ini.
Menjelang akhir abad ke-20, kita dengan sedih menyaksikan banyak kasus kriminal massal terjadi di Indonesia. Konflik horisontal maupun vertikal, tampaknya akan selalu mewarnai kehidupan hukum di Indonesia saat ini. Apabila kita lihat hukum sebagaimana gambaran di atas, maka orang tentunya tidak akan melakukan pelanggaran hukum apalagi dengan model terbaru saat ini “amuk massa”.
Masyarakat sudah lelah menantikan penegakkan hukum yang tidak pasti dan sekedar menjadi panggung sandiwara sinetron politik saja. Bukan hanya untuk kasus-kasus yang berskala nasional yang sangat menyengsakan rakyat kecil, akantetapi juga untuk kasus-kasus yang setiap hari terjadi di tengah masyarakat. Selain polisi, jaksa dan hakim tentu saja berbagai kesulitan yang didera masyarakat juga menjadi pemicu bagaimana hukum itu tidak ditegakkan.
Oleh karena itu, rangkaian berbagai peristiwa kriminal massal saat ini patut dijadikan bahan kajian secara mendalam, fenomena apa yang membuat rakyat/masyarakat Indonesia yang dulu terkenal lembut, santun, kini justru mudah terpancing emosionalnya meskipun kadang hanya disebabkan oleh hal-hal yang tampak sederhana dan dengan kondisi yang demikian masyarakat sangat mudah melanggar hukum. Hukum di Indonesia tampaknya tidak mempunyai kharisma di mata masyarakat. Hukum adalah yang nampak dalam penyelesaiannya bukan melalui peradilan yang selalu membebaskan para pelaku kejahatan yang sudah terbukti melanggar hukum.
Adanya fenomena amuk massa mengandung faktor pemicu atau faktor korelatif kriminologen-nya dan diakibatkan adanya sesuatu yang keliru dalam mekanisme birokrasi dan penegakkan hukum di Indonesia selama ini.
Hal ini juga didukung oleh beberapa kalangan, seperti Dr. Mudji beliau menyatakan bahwa bahwa penyebab utama adanya pengadilan massa adalah bukan semata-mata karena sistem pendidikan kita yang gagal akantetapi ada sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi, seperti adanya proses pembodohan yang berlangsung lama melalui berbagai simbol dan kebijakan, politisasi dan penseragaman. Karena itulah kekerasan semakin menonjol, apalagi banyak elit politik di Indonesia yang lebih suka ber-talk show dalam melakukan aksi nyata. Akhirnya pengadilan massa semakin menonjol dan kekerasanpun selalu mewarnai kehidupan hukum kita saat ini.
Berbagai tindakan main hakim sendiri, mencerminkan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai institusi dan fungsinya. Dengan demikian jika aparat tidak mau menegakkan institusi dan fungsinya, maka akan muncul perlawanan yang didorong oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan serba rancu yang akhirnya menimbulkan gejolak sosial dan anarkhi.
Lemahnya tradisi hukum di Indonesia saat ini, pada dasarnya tergantung pada semua komponen yang terlibat dalam proses hukum. Bukan semata-mata tergantung pada pengadilan dan para hakim yang menegakkan hukum.
1. Manusia dan Kekerasan
Maksud pembahasan manusia dan kekerasan ini adalah untuk mengarahkan bagaimana fenomena hukum seharusnya dibuat.
Tindakan kekerasan selama ini sudah berjalan sangat lama sekali, menyadarkan kepada kita akan nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai memudar dan bahkan kurang diperhatikan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Fenomena disekitar kita saat ini menunjukkan bahwa adanya sebagian masyarakat yang menganggap kekerasan atau pola-pola agresitivitas sebagai hal yang biasa atau lumrah. Bahkan ada di antara mereka yang menjadikan sikap dan perilaku agresif itu sebagai sarana dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi saat itu juga.
Berlangsungnya praktik seperti demikian, tentunya sangat mengkawatirkan akan kelangsungan bangsa Indonesia selanjutnya, karena perilaku seperti itu menjadikan manusia lebih rendah dari binatang. Kita ketahui bahwa binatang memiliki perilaku yang agresif yang dalam bentuk defensif, yaitu ketika kepentingan hayatinya mulai terancam, maka ia akan melakukan apa saja yang dapat membuat dirinya aman dan damai. Tujuannya adalah bukan untuk mengancurkan, melainkan sekedar untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Namun bagi sebagian manusia, destruktivitas dan kekejaman (seperti kekerasan saat ini), justru memberinya rasa puas yang amat sangat. Banyak manusia yang tiba-tiba dikuasai oleh nafsu haus darah untuk melakukan kekerasan dan merusak apa yang ada disekitarnya.
Terlepas dari motivasi dan alasan dasar melatarbelakanginya, agresitivitas dalam bentuk tindakan kekerasan atau perilaku yang mengarah kepada kebrutalan merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia sebagai makhluk yang bereksistensi karena hanya manusia yang menyadari keberadaannya sendiri dan dengan melihat hal itu, manusia dapat memahami antara manusia satu dengan manusia lainnya. Inilah yang dinamakan interaksi sosial.
Dengan demikian, dunia manusia dihayati sebagai dunia bersama, dengan demikian kelangsungan kehidupan hukum di Indonesia saat ini tergantung kepada manusianya, sejauhmana ia peduli terhadap kehidupan dan sesamanya dan sejauhmana ia mau menjauhi segala macam bentuk perilaku yang akan menghancurkan kehidupan, tanpa ada kesadaran manusianya tidak akan pernah bereksistensi dalam pengertian yang sebenarnya. Menurut penulis, hal ini juga merupakan anutan para penggagas dan pencinta sosiologi secara umum.
Sebagaimana bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, agresitivitas juga bertentangan dengan diametral dengan nilai-nilai universalitas agama. Sehingga kehidupan manusia juga selalu berkaitan dengan agama. Walaupun tindakan main hakim sendiri sangat ditentang oleh agama, akan tetapi bila tanpa adanya peran pemerintah dalam menegakkan hukum secara baik dan benar, penulis yakin sebuah hukum akan selalu menjadi mainan para pihak yang berkepentingan saja, kekerasan semakin menjadi tanpa ada yang dapat membendung arus perlawanan masyarakat terhdap hukum yang sah saat ini.
Kekerasan yang terjadi pada masyarakat Indonesia merupakan fenomena yang dilatarbelakangi berbagai dimensi.
2. Cermin Pembangkangan/Pelanggaran Hukum dan Demokrasi Sebagai Salah satu Bentuk Perlawanan Kebijakan Hukum di Indonesia
Perjuangan masyarakat Indonesia dalam rangka menegakkan hukum dan demokrasi merupakan proses yang telah mensejarah. Meskipun harus diakui bahwa sistem nilai dan perangkat inskonstitusional hukum dan demokrasi telah berlangsung beberapa saat.
Upaya untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu kekuasaan dan penindasan budaya barangkali dapat dipandang sebagi motor penggerak hukum dan demokrasi di Indonesia. Namun harus dipahami bahwa bentuk-bentuk budaya politik perlawanan masyarakat dalam upaya membebaskan masyarakat dari kungkungan sistem hukum yang menindas tersebut memiliki keragaman bentuk sesuai dengan perkembangan sosial yang berlangsung.
Seperti persoalan yang mencuat saat ini, dengan adanya pelanggaran hukum oleh masyarakat dengan fenomena amuk massa merupakan pembangkangan terhadap penindasan hukum oleh penguasa kepada masyarakat. Dan peristiwa yang demikian, menurut masyarakat bukan merupakan pelanggaran hukum, karena mereka tidak mempercayai Indonesia sebagai negara hukum. Peristiwa seperti ini, tidak memerlukan pembuktian karena banyaknya saksi di sekitar tempat kejadian perkara.
Pada masa perkembangan masyarakat yang masih diwarnai oleh sistem kerajaan dengan tatanan sosial-politik feodalisme, perlawanan terhadap kekuasaan raja yang absolut dan cenderung menindas sudah sering terjadi. Sistem perlwanan yang muncul tetap dibalut oleh kultur politik monarkhi, yakni menggunakan bentuk opposition within system, sehingga diakomodasi dan tidaknya sebuah aspirasi atau tuntutan semuanya sangat tergantung pada kearifan sang raja sebagai penguasa sistem. Artinya, kalau raja dangan ing penggalih maka tentunya aspirasi masyarakat dipenuhi. Sebaliknya, kalau raja tidak setuju tidak tertutup kemungkinan para pemrotesnya akan dibasmi hingga tuntas. Salah satu contoh bentuk perlawanan rakyat atau disitilahkan sebagai pembangkangan sipil (civil disobediene) dengan cara berjemur di alun-alun kerajaan atau politik pepe, tidak mempercayai hukum sebagai konstitusi yang sah di Indonesia.
Sejarah perjalanan di dunia telah mebuktikan bahwa iklim sosial yang demokratis pada dasarnya ditopang oleh dua pilar utama, yakni mekanisme politik dalam arti formal, dan yang bersifat substansial. Pilar politik pada level yang formal lebih mengacu pada sebuah sistem dan struktur kelembagaan demokrasi perwakilan rakyat atau parlementary. Pembentukan pemerintahan yang sah adalah melalui keterwakilan suara dan perwakilan rakyat, melalui bekerjanya sistem kepartaian, DPR-MPR, lembaga kepresidenan, peradilan, konstitusi dan lain-lain. Jikalau sebuah negara telah memiliki lembaga-lembaga politik seperti tersebut di atas, maka negara itu secara formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi.
Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal berhak menyebut dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Namun demikian, dalam prakteknya tidak secara otomatis struktur politik formal terbentuk secara mapan akan berkorelasi positif yang otomatis menghadirkan demokrasi.
Sebaliknya pilar lain sebagai persyaratan normatif dan substansial yang penting adalah adanya civil liberation di berbagai bidang kehidupan. Artinya, setiap anggota masyarakat baik secara individual maupun kelompok memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan aspirasinya. Apalah artinya sebuah negara yang memiliki sistem parlementer yang mapan kalau tidak terjadi kebebasan riil, sehingga demokrasi yang tidak lebih dari sekedar demokrasi formal. Demkian juga sebaliknya, jikalau terdapat kebebasan untuk mengungkapkan pendapat masyarakat ada, tetapi tidak ada institusi-institusi politik formal maka yang terjadi adalah kekacaun sosial. Jadi, sistem demokrasi dibangun atas dua pilar politik formal dan substansial yang tidak bisa salah satunya ditiadakan dan keberadaan dua-duanya harus saling berinteraksi komplementer.
Pemerintahan Orde Baru juga melakukan klaim bahwa dirinya layak disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. meskipun dalam praktek lebih merupakan formalisme dalam berdemokrasi karena telah meniadakan salah satu pilarnya yaitu kebebasan masyarakat. Bahkan hegemoni dan dominasi politik yang dilakukan cenderung melahirkan monopoli makna atas gerakan-gerakan sosial yang mengarah pada protes. Perlawanan rakyat yang tidak puas dengan sistem yang ada dimaknai sebagai membangkang dan dihadapkan secara diametral dengan konstitusi sehingga mendapat cap mbalelo dan inkonstotusional. Padahal maksud dari pembangkangan tersebut dari sisi rakyat adalah meminta pada penguasa agar ruang gerak politik dapat diperluas untuk menuju tegaknya hukum dan demokrasi secara baik dan benar.
Bentuk-bentuk pembangkangan rakyat yang lahir pada masa Orde Baru hinga kini dapat dikategorikan sebagai perlawanan politik yang menjelma dalam masing-masing bidang kehidupan manusia. Hal ini dapat meliputi pembangkangan bidang politik, sosial, sastra, budaya dan filsafat. Beberapa contoh yang dapat diungkapkan disini misalnya, demontrasi turun ke jalan, mimbar bebas, sidang rakyat-mahasiswa, amuk massa, maraknya penggunaan bahasa plesetan, bentuk-bentuk ketoprak humor, dekonsruksi wayang kulit (dalang Sujiwo Sutejo), teater kritik (Butet Kartarejasa), puisi-pantomim kritik (Jemek Supardi, Wiji Tukul), dan lain-lain. Kalau kita amati secara cermat maka munculnya berbagai varian pembangkangan tersebut sebagai reaksi politis atas praktek kekuasaan Orde Baru yang mengarah pada kemunafikan. Itulah Orde Baru, di satu sisi mengklaim dirinya demokratis tapi pada sisi lain menindas hukum dan masyarakat.
Sayang rezim ini mengalami konfidensi berlebih sebagai akibat dari arogansi kekuasaan elitnya sehingga tidak mampu membaca tanda-tanda kritik politik melalui maraknya berbagai bentuk pembangkangan/pelanggaran hukum tersebut. Maka jatuhlah kekuasaan Soeharto ketika masyarakat memaksa dirinya harus turun dari tahta tanpa ia mampu mewariskan institusi politik yang demokratis pada masyarakat dalam pengertian “skill berdemokrasi” dari lapisan atas hingga bawah. Hal ini berakibat pada munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan, kerusuhan dan ancaman disintegrasi sosial yang dapat kita rasakan dampaknya hingga sekarang. Apalagi saat ini dengan adanya fenomena peradilan massa makin menambah daftar pelanggaran hukum secara kolektif di Indonesia.
Ketika era reformasi tiba, pembangkangan kian marak. Harus diakui bahwa tindak protes memiliki dimesi majemuk. Apa yang berlangsung dengan eskalasi tindakan atau perilaku kekerasan tidak lain karena sosialisasi politik masa lalu yang didominasi oleh repressi dan cara-cara penindasan. Para petani yang pada rezim Soeharto mengalami marginalisasi kerena tergusur tanahnya untuk “pembangunan” melakukan tuntutan kembali atas haknya melalui “penjarahan kembali”. Bahkan lapisan bawah yang selama ini tertindas disinyalir melampiaskan kekecewaannya dengan cara mengamuk dan merusak apa saja yang menjadi simbol-simbol kekuasaan negara yang absolut. Kendatipun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya amuk massa yang menelan korban besar, baik material maupun nyawa tersebut juga merupakan akibat kreasi provokator-provokator yang tidak menginginkan perubahan politik.
Ini semua merupakan bukti bahwa kesadaran yang telah merebak di kalangan masyarakat akan ketertindasan masa lalu sudah cukup untuk membentuk politik hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini. Ketiadaan pendidikan sipil (civil education) pada masa pemerintahan Soeharto dan absennya perilaku demokratis telah membawa bangsa Indonesia pada era reformasi ini dalam situasi chaos. Adalah langkanya skill berdemokrasi yang internalized dalam setiap benak dan perilaku individu-individu anggota masyarakat. Masih jauh dari harapan bahwa gerakan-gerakan pembangkangan/pelanggaran terhadap hukum dan demokrasi yang terjadi, berubah menjadi protes konstruktif, melahirkan opini publik. Menjadi perdebatan dalam politik resmi (parlemen dan pemerintah), dan melahirkan sebuah kebijakan publik. Untuk sementara ini, makna sosial pembangkangan/pelanggaran hukum masih belum berubah, yaitu melawan pada rezim dan sebagai tindakan salah.
Kekecewaan baru termanifestasi sebatas pada perlawanan, belum mewujudkan dialong yang positif. Kekecewaan masih melahirkan “politik sikut-sikutan”, artinya masih ada kecenderungan bahwa upaya membela kebenaran diri dengan jalan “mematikan” pihak lain. Kalau hal ini yang terjadi secara terus menerus, maka masa depan Indonesia menghadapi perkembangan politik yang buran. Salah satu legitimasi untuk meredakan kekecewaan politis rakyat adalah dengan menyelenggarakan hukum dan demokrasi secara jujur dan tranparan tanpa melihat berbagai bentuk jabatan atau kekayaan pelanggar hukum. Tapi itu juga tidak merupakan jaminan, karena semua kembali pada perilaku politik formal saat ini, selain sosialisasi nilai berdemokrasi di tingkat masyarakat. Mampukah ia membawa kapal Indonesia pada masa depan politik yang lebih demokratis. (bersambung..)
0 komentar:
Posting Komentar