Memasuki tahun 2009, dunia pendidikan tinggi kembali terhempas paa titik nadir dengan adaya dugaan peredaran 1.500 ijazah dari perguruan tinggi swasta di Daerah Istimewa Jogjakarta yang beredar diduga palsu. dan para pemegang ijazah tersebut menyebar diseluruh Indonesia. Beberapa bulan yang lalu masyarakat masih sulit untuk menentukan PTS mana yang telah mengeluarkan ijazah tersebut karena terkait belum adanya kejelasan dari pihak yang berwenang.
Namun berdasarkan hasil data dari Koordinator Kopertis Wilayah V Prof Dr Budi Santoso Wignyosukarto, bahwa PTS yang telah melakukan hal tersebut adalah STKIP Catur Sakti dengan Program Studi Bimbingan Konseling (BK). Namun jumlah ijazah yang terlanjur beredar begitu besar membuat para pemegang ijazah dari lulusan STIKP Catur Sakti mulai menaruh keresahan, manakah ijazah yang palsu dan mana saja ijazah yang asli. Terungkapnya peredaran ijazah palsu tersebut dikarenakan STKIP Catur Sakti tidak membelajarkan para mahasiswanya sebagaimana ketentuan pemerintah, karena banyak para mahasiswa tidak kuliah namun sudah terdaftar di semester akhir yang posisinya akan menyelesaikan studinya, peredaran ijazah tersebut dimulai sejak tahun 2002 – 2008.
Jauh sebelum Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen disahkan, kenyataannya bahwa ijazah telah beredar, artinya masih dalam lingkup disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebuah antisipasi untuk memenuhi kualifikasi. Adakah korelasi antara rancangan undang-undang yang dibuat pada saat itu dengan tuntutan kualifikasi yang diharapkan bagi para guru? Mungkin saja, karena terkadang RUU sudah disiapkan dengan matang dan disahkan sewaktu pemimpin yang cocok berkuasa. Mungkin saja tidak, karena bisa saja karena “gengsi”, meningkatkan status sosial dengan memiliki gelar akademik atau apa saja namanya, melihat teman-teman seprofesi telah memegang ijazah semua. Apalagi terkadang muncul perselingkuhan kata di dunia pendidikan yaitu “ jeruk kok minum jeruk” atau “hari gini guru ngajar SD, SMP, SMA belum sarjana?”, sehingga upaya jalan pintas pun bisa saja dilakukan.
Atau bisa saja, ijazah aspal tidak hanya dari program studi pendidikan, menjelang pemilu seperti sekarang ini, biasanya marak jual beli ijazah, mungkin karena “gengsi” atau untuk gagahan kalau menjadi caleg sarjana lebih dapat meyakinkan masyarakat, jika memang itu terjadi betapa pembohongan public sudah dimulai, pemilu tahun 2004 lalu dapat kita lihat beberapa anggota dewan ditangkap terkait dengan ijazah palsu, artinya peredaran tersebut disinyalir hingga sekarang. sanksi hukum tetap akan berlaku bagi pemegang ijazah palsu, karena undang-undang sudah jelas megatur kesemuanya itu.
Hati-hati mencari PTS
Apa yang terjadi sebagaimana uraian diatas, mestinya tidak perlu ada apabila semua komponen memahami tugas dan fungsinya masing-masing, tetap pada koridor aturan yang berlaku, namun karena adanya suplay and demand yang diakumulasikan dengan kesempatan menyebabkan orang bisa berbuat apa saja. Namun sangat disayangkan apabila yang memiliki ijazah tersebut adalah berprofesi sebagai guru, apa yang mesti diajarkannya kepada anak didiknya sedangkan dirinya pemegang ijazah aspal, belum lagi dengan ilmu yang akan diajarkan, sangat disayangkan sekali. tanggungjawab akademik pemegang ijazah mengajarkan ilmunya dengan baik tercoreng dengan kepemilikian ijazah aspal.
Namun sisi lain, juga ada yang memang benar-benar kuliah sesuai dengan peraturan namun tergabung kelasnya dengan kelas aspal, maka tentunya akan berimbas terhadap pemegang ijazah. Oleh karena itu, memasuki penerimaan mahasiswa baru (PMB) tahun 2009 ini, perlu kehati-hatian mencari PTS yang dituju, apalagi saat ini telah beredar dalam bentuk spanduk, baliho, leaflet yang menawarkan berbagai kemudahan dalam perkuliahan maupun biaya murah atau akan disalurkan jika sudah lulus nanti. Itulah sebuah marketing, sangat meyakinkan, namun terkadang kecewa setelah orang kuliah ditempatnya, calon mahasiswa harus cerdas demikian juga orangtua harus jeli, tidak hanya mengantarkan namun juga patut bertanya agar tidak terjadi dengan hal-hal yang kurang baik dikemudian hari. Pertanyaan sederhana tentunya berkaitan dengan izin penyelengaraan dan akreditasi kampus.
Perlu diingat bawah PTN maupun PTS di Indonesia bukanlah lembaga pendidikan yang mendidik peserta didik untuk bekerja, namun lebih pada agar peserta didik bisa membuka lapangan kerja manakala yang bersangkutan telah memegang ijazah. Para lulusan diharapkan dapat merubah paradigma, namun sayang hingga kini masih banyak beranggapan bahwa lulus dari PT harus kerja, kalau bisa PNS, akhirnya jika tidak bekerja, maka pemegang ijazah merasa malu dan kreatifitasnya hilang.
Peredaran ijazah palsu selama ini sulit dilacak karena kurangnya kepedulian masyarakat, namun dengan terbongkarnya kasus di DIY saat ini, mestinya pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten dan Kota melacak akan keberadaan ijasah tersebut yang kebetulan para gurunya sempat mengenyam pendidika disana, memang bukan hal yang mudah, namun saat ini kepolisian Jogjakarta telah membentuk tim untuk melacak ijasah yang dimaksud. Beberapa Bupati di DIY telah memutuskan para gurunya yang sedang menyelesaikan studinya di STKIP Catur Sakti untuk dihentikan, dan melacak semua guru yang menggunakan ijasah dari PTS tersebut untuk diteliti keabsahannya, apakah termasuk kelompok ijasah aspal. Apabila ditemukan ijasah aspal, maka konsekuensinya kenaikan pangkat serta jabatan dan dana yang telah diterima selama memegang jabatan harus dikembalikan ke Negara, sungguh ironis sekali….?namun hukum harus ditegakkan dan wibawa hukum harus terlaksana dengan baik agar memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat.
Apa yang menjadi fenomena ijasah aspal diatas, bila dikaji lebih jauh, betapa masyarakat negeri ini selalu mencari yang instan untuk mendapatkan keuntungan, tanpa memikirkan akan akibat yang akan menimpanya dikemudian hari. Namun tidak bisa dipungkiri tuntutan akan undang-undang tentu sangat berpengaruh pada prilaku sebagian pendidik yang belum sempat memiliki ijasah PT, apalagi saat ini banyak dari para pendidik di negeri ini belum memenuhi kuaifikasi kesarjanaan sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang. Usia yang terkadang sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan juga sebagai pemicu untuk mencari jalan pintas, atau jabatan yang dipegang saat ini tidak mau ditinggalkan karena nanti kalau ditinggalkan kuliah belum tentu dapat lagi, itulah sebagian alasan untuk mendapatkan ijasah dengan cepat namun tidak perlu repot-repot. Sehingga jabatan tetap ada dan status sosialnya juga dapat diperoleh dengan kesarjanaan tersebut. namun mestinya diingat bahwa jabatan adalah sifatnya sementara, namun ilmu yang diperoleh pada saat kuliah bisa dipergunakan hingga akhir hayat dan bermanfaat bagi orang lain, dinegeri ini, kita belum terbiasa menolak jabatan yang diberikan dengan alasan tidak memiliki kemampuan, namun lebih banyak menerima jabatan dengan memaksakan diri yang tidak memiliki kemampuan untuk jabatan tersebut. padahal seorang akademisi pemilik ijazah telah memperoleh ilmu tersebut dibangku kuliah, tapi banyak yang tidak melaksanakannya, itulah yang mesti dipahami pemilik ijasah sebagai "tanggungjawab akademik".
Dengan memperoleh ijasah secara instan, kualitas pengetahuan pun tidak dianggap penting, karena simbol-simbol pengetahuan telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Hidup menjadi dangkal saja, kosong nilai, dan hanya bergerak di lapisan periferal. Pada posisi itu, jabatan publik dan kekuasaan dengan mudah tergelincir menjadi kesempatan memperkaya diri. Kepentingan umum dan pengabdian rakyat tetaplah impian yang kosong.
Dengan demikian, fenomena ijazah palsu hanyalah sepenggal kisah tentang absurditas, pendangkalan makna hidup, dan kekosongan nilai. Sadar atau tidak, kita sementara ini dikemudikan oleh kultur zaman dengan kecenderungan pendangkalan tersebut. Dalam konteks Indonesia, pendangkalan hidup itu bisa berarti ijazah dikejar dengan menghalalkan cara apapun, demi tuntutan formalitas dan gengsi sosial. Perburuan ijazah aspal dapat dilakukan siapa saja, mulai dari pejabat Negara, wakil rakyat hingga pengusaha bakso dan mie ayam, tukang parkir atau siapa saja yang mampu untuk membelinya atau jangan-jangan juga para pemulung ikut ambil bagian, karena siaa tahu ijasah yang diduga palsu sebelum tertangkap dibuang ke sampah dan dipungut oleh para pemulung. Konon dibeberapa daerah cukup dengan uang antara 10 juta hingga 15 juta dapat memperoleh ijazah yang dikehendaki, lengkap dengan register dan nomor ijazahnya, tanda tangan rektor dan kopertis lengkap bersama legalisirnya. Oleh karena adanya suplai and demand inilah yang menyebabkan pekerjaan gila ini dapat terjadi.
Kasus STKIP Catur Sakti di Jogjakarta hanya sebagian dari kasus pada PT yang telah mengeluarkan ijasah palsu sebagaimana telah diungkapkan oleh Koordinator Kopertis Wilayah V, ijasah palsu bisa saja dikeluarkan oleh PT yang memiliki izin dan terakreditasi, karena polanya bisa bermain pada ranah pendidikan dan pembelajaran serta tentunya ranah “uang” sebagai pelicin. Seseorang tidak perlu kuliah dengan full, yang bersangkutan bisa sudah diterima pada semester tertentu dengan cara menggunakan surat perpindahan dari PT lain, karena terkadang PT jarang melakukan cross cek kepada PT asal ketika terjadi perpindahan, apakah benar yang bersangkutan pernah kuliah disana, hal ini bisa saja terjadi di daerah Bangka Belitung, bisa juga tidak….masyarakat harus ekstra hati-hati saat ini untuk mendapatkan ijasah kesarjanaan agar tidak rugi dikemudian hari, karena bukannya mendapatkan untung namun malah “buntung”. oleh karena itu, peredaran ijazah palsu bisa saja hingga sekarang masih berlangsung di Indonesia, apalagi daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian lebih dari Koordinator Kopertisnya masing-masing atau peran masyarakatnya yang belum apresiatif. sehingga praktik semacam ini masih bisa melenggang dengan mudah.Semoga bermanfaat.
Namun berdasarkan hasil data dari Koordinator Kopertis Wilayah V Prof Dr Budi Santoso Wignyosukarto, bahwa PTS yang telah melakukan hal tersebut adalah STKIP Catur Sakti dengan Program Studi Bimbingan Konseling (BK). Namun jumlah ijazah yang terlanjur beredar begitu besar membuat para pemegang ijazah dari lulusan STIKP Catur Sakti mulai menaruh keresahan, manakah ijazah yang palsu dan mana saja ijazah yang asli. Terungkapnya peredaran ijazah palsu tersebut dikarenakan STKIP Catur Sakti tidak membelajarkan para mahasiswanya sebagaimana ketentuan pemerintah, karena banyak para mahasiswa tidak kuliah namun sudah terdaftar di semester akhir yang posisinya akan menyelesaikan studinya, peredaran ijazah tersebut dimulai sejak tahun 2002 – 2008.
Jauh sebelum Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen disahkan, kenyataannya bahwa ijazah telah beredar, artinya masih dalam lingkup disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebuah antisipasi untuk memenuhi kualifikasi. Adakah korelasi antara rancangan undang-undang yang dibuat pada saat itu dengan tuntutan kualifikasi yang diharapkan bagi para guru? Mungkin saja, karena terkadang RUU sudah disiapkan dengan matang dan disahkan sewaktu pemimpin yang cocok berkuasa. Mungkin saja tidak, karena bisa saja karena “gengsi”, meningkatkan status sosial dengan memiliki gelar akademik atau apa saja namanya, melihat teman-teman seprofesi telah memegang ijazah semua. Apalagi terkadang muncul perselingkuhan kata di dunia pendidikan yaitu “ jeruk kok minum jeruk” atau “hari gini guru ngajar SD, SMP, SMA belum sarjana?”, sehingga upaya jalan pintas pun bisa saja dilakukan.
Atau bisa saja, ijazah aspal tidak hanya dari program studi pendidikan, menjelang pemilu seperti sekarang ini, biasanya marak jual beli ijazah, mungkin karena “gengsi” atau untuk gagahan kalau menjadi caleg sarjana lebih dapat meyakinkan masyarakat, jika memang itu terjadi betapa pembohongan public sudah dimulai, pemilu tahun 2004 lalu dapat kita lihat beberapa anggota dewan ditangkap terkait dengan ijazah palsu, artinya peredaran tersebut disinyalir hingga sekarang. sanksi hukum tetap akan berlaku bagi pemegang ijazah palsu, karena undang-undang sudah jelas megatur kesemuanya itu.
Hati-hati mencari PTS
Apa yang terjadi sebagaimana uraian diatas, mestinya tidak perlu ada apabila semua komponen memahami tugas dan fungsinya masing-masing, tetap pada koridor aturan yang berlaku, namun karena adanya suplay and demand yang diakumulasikan dengan kesempatan menyebabkan orang bisa berbuat apa saja. Namun sangat disayangkan apabila yang memiliki ijazah tersebut adalah berprofesi sebagai guru, apa yang mesti diajarkannya kepada anak didiknya sedangkan dirinya pemegang ijazah aspal, belum lagi dengan ilmu yang akan diajarkan, sangat disayangkan sekali. tanggungjawab akademik pemegang ijazah mengajarkan ilmunya dengan baik tercoreng dengan kepemilikian ijazah aspal.
Namun sisi lain, juga ada yang memang benar-benar kuliah sesuai dengan peraturan namun tergabung kelasnya dengan kelas aspal, maka tentunya akan berimbas terhadap pemegang ijazah. Oleh karena itu, memasuki penerimaan mahasiswa baru (PMB) tahun 2009 ini, perlu kehati-hatian mencari PTS yang dituju, apalagi saat ini telah beredar dalam bentuk spanduk, baliho, leaflet yang menawarkan berbagai kemudahan dalam perkuliahan maupun biaya murah atau akan disalurkan jika sudah lulus nanti. Itulah sebuah marketing, sangat meyakinkan, namun terkadang kecewa setelah orang kuliah ditempatnya, calon mahasiswa harus cerdas demikian juga orangtua harus jeli, tidak hanya mengantarkan namun juga patut bertanya agar tidak terjadi dengan hal-hal yang kurang baik dikemudian hari. Pertanyaan sederhana tentunya berkaitan dengan izin penyelengaraan dan akreditasi kampus.
Perlu diingat bawah PTN maupun PTS di Indonesia bukanlah lembaga pendidikan yang mendidik peserta didik untuk bekerja, namun lebih pada agar peserta didik bisa membuka lapangan kerja manakala yang bersangkutan telah memegang ijazah. Para lulusan diharapkan dapat merubah paradigma, namun sayang hingga kini masih banyak beranggapan bahwa lulus dari PT harus kerja, kalau bisa PNS, akhirnya jika tidak bekerja, maka pemegang ijazah merasa malu dan kreatifitasnya hilang.
Peredaran ijazah palsu selama ini sulit dilacak karena kurangnya kepedulian masyarakat, namun dengan terbongkarnya kasus di DIY saat ini, mestinya pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten dan Kota melacak akan keberadaan ijasah tersebut yang kebetulan para gurunya sempat mengenyam pendidika disana, memang bukan hal yang mudah, namun saat ini kepolisian Jogjakarta telah membentuk tim untuk melacak ijasah yang dimaksud. Beberapa Bupati di DIY telah memutuskan para gurunya yang sedang menyelesaikan studinya di STKIP Catur Sakti untuk dihentikan, dan melacak semua guru yang menggunakan ijasah dari PTS tersebut untuk diteliti keabsahannya, apakah termasuk kelompok ijasah aspal. Apabila ditemukan ijasah aspal, maka konsekuensinya kenaikan pangkat serta jabatan dan dana yang telah diterima selama memegang jabatan harus dikembalikan ke Negara, sungguh ironis sekali….?namun hukum harus ditegakkan dan wibawa hukum harus terlaksana dengan baik agar memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat.
Apa yang menjadi fenomena ijasah aspal diatas, bila dikaji lebih jauh, betapa masyarakat negeri ini selalu mencari yang instan untuk mendapatkan keuntungan, tanpa memikirkan akan akibat yang akan menimpanya dikemudian hari. Namun tidak bisa dipungkiri tuntutan akan undang-undang tentu sangat berpengaruh pada prilaku sebagian pendidik yang belum sempat memiliki ijasah PT, apalagi saat ini banyak dari para pendidik di negeri ini belum memenuhi kuaifikasi kesarjanaan sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang. Usia yang terkadang sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan juga sebagai pemicu untuk mencari jalan pintas, atau jabatan yang dipegang saat ini tidak mau ditinggalkan karena nanti kalau ditinggalkan kuliah belum tentu dapat lagi, itulah sebagian alasan untuk mendapatkan ijasah dengan cepat namun tidak perlu repot-repot. Sehingga jabatan tetap ada dan status sosialnya juga dapat diperoleh dengan kesarjanaan tersebut. namun mestinya diingat bahwa jabatan adalah sifatnya sementara, namun ilmu yang diperoleh pada saat kuliah bisa dipergunakan hingga akhir hayat dan bermanfaat bagi orang lain, dinegeri ini, kita belum terbiasa menolak jabatan yang diberikan dengan alasan tidak memiliki kemampuan, namun lebih banyak menerima jabatan dengan memaksakan diri yang tidak memiliki kemampuan untuk jabatan tersebut. padahal seorang akademisi pemilik ijazah telah memperoleh ilmu tersebut dibangku kuliah, tapi banyak yang tidak melaksanakannya, itulah yang mesti dipahami pemilik ijasah sebagai "tanggungjawab akademik".
Dengan memperoleh ijasah secara instan, kualitas pengetahuan pun tidak dianggap penting, karena simbol-simbol pengetahuan telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Hidup menjadi dangkal saja, kosong nilai, dan hanya bergerak di lapisan periferal. Pada posisi itu, jabatan publik dan kekuasaan dengan mudah tergelincir menjadi kesempatan memperkaya diri. Kepentingan umum dan pengabdian rakyat tetaplah impian yang kosong.
Dengan demikian, fenomena ijazah palsu hanyalah sepenggal kisah tentang absurditas, pendangkalan makna hidup, dan kekosongan nilai. Sadar atau tidak, kita sementara ini dikemudikan oleh kultur zaman dengan kecenderungan pendangkalan tersebut. Dalam konteks Indonesia, pendangkalan hidup itu bisa berarti ijazah dikejar dengan menghalalkan cara apapun, demi tuntutan formalitas dan gengsi sosial. Perburuan ijazah aspal dapat dilakukan siapa saja, mulai dari pejabat Negara, wakil rakyat hingga pengusaha bakso dan mie ayam, tukang parkir atau siapa saja yang mampu untuk membelinya atau jangan-jangan juga para pemulung ikut ambil bagian, karena siaa tahu ijasah yang diduga palsu sebelum tertangkap dibuang ke sampah dan dipungut oleh para pemulung. Konon dibeberapa daerah cukup dengan uang antara 10 juta hingga 15 juta dapat memperoleh ijazah yang dikehendaki, lengkap dengan register dan nomor ijazahnya, tanda tangan rektor dan kopertis lengkap bersama legalisirnya. Oleh karena adanya suplai and demand inilah yang menyebabkan pekerjaan gila ini dapat terjadi.
Kasus STKIP Catur Sakti di Jogjakarta hanya sebagian dari kasus pada PT yang telah mengeluarkan ijasah palsu sebagaimana telah diungkapkan oleh Koordinator Kopertis Wilayah V, ijasah palsu bisa saja dikeluarkan oleh PT yang memiliki izin dan terakreditasi, karena polanya bisa bermain pada ranah pendidikan dan pembelajaran serta tentunya ranah “uang” sebagai pelicin. Seseorang tidak perlu kuliah dengan full, yang bersangkutan bisa sudah diterima pada semester tertentu dengan cara menggunakan surat perpindahan dari PT lain, karena terkadang PT jarang melakukan cross cek kepada PT asal ketika terjadi perpindahan, apakah benar yang bersangkutan pernah kuliah disana, hal ini bisa saja terjadi di daerah Bangka Belitung, bisa juga tidak….masyarakat harus ekstra hati-hati saat ini untuk mendapatkan ijasah kesarjanaan agar tidak rugi dikemudian hari, karena bukannya mendapatkan untung namun malah “buntung”. oleh karena itu, peredaran ijazah palsu bisa saja hingga sekarang masih berlangsung di Indonesia, apalagi daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian lebih dari Koordinator Kopertisnya masing-masing atau peran masyarakatnya yang belum apresiatif. sehingga praktik semacam ini masih bisa melenggang dengan mudah.Semoga bermanfaat.
1 komentar:
gag berbobot sekali,udh kuliah 3 thun cm gak diakui,ap cuma buat ngraup uang saja,kasian nasib guru sdh buang waktu & biaya cm sia"..........
http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons7/14.gif
Posting Komentar