Pemilu 2009 menyisakan waktu tidak lebih dari dua minggu lagi, hajatan lima tahunan ini telah menyita waktu dan biaya yang tidak sedikit, semua warga Negara Indonesia merasakan pesta demokrasi tersebut. Mulai dari orang yang telah dipilih untuk melakukan contreng maupun mereka yang belum mendapatkan kesempatan, bahkan anak-anakpun ikut dalam merayakan hajatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kesempatan kampanye yang dilakukan oleh partai-partai yang sedang berkompetisi merebut suara rakyat.
Pemilihan umum adalah salahsatu media di Indonesia untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk diparlemen, memilih presiden yang akan memimpin negeri ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemilihanpun merambah ke provinsi dan kabupaten/kota yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung. Bahkan pemilihan langsungpun merambah hingga ke desa-desa. Sungguh luar biasa hasil yang ditunjukkan dalam pelaksanaannya, mulai dari yang memang tidak ada masalah hingga ada yang berlanjut ke pengadilan, hanya untuk mencari keadilan dan kejujuran dalam pemilihan.
Terungkapnya permasalahan DPT yang diduga fiktif di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya saat ini merupakan bukti bahwa pesta demokrasi kita semakin menjauhkan makna sebuah “keadilan”. Semakin menjauhkan kita akan makna demokrasi yang sedang diagung-agungkan saat ini sebagai pesta demokrasi yang jujur dan adil. Pengalaman dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur, adalah salahsatu bukti nyata bahwa “sindikat” permainan dalam proses demokrasi terbukti. Mestinya pelajaran berharga dalam pemilihan Gubernur tersebut patut untuk dijadikan sebagai evaluasi atas validitas data pemilih, bukannya meneruskan salah tersebut dalam Pemilu 2009 ini.
Akhirnya, kita bisa melihat “pencorengan” nama baik demokrasi yang mengusung kejujuran dan keadilan ternyata membuat pesta kita semakin tidak bermakna. Komentar-komentar sebagian partai politik terkait dengan dugaan adanya DPT Fiktif membuktikan bahwa semuanya menginginkan akan kejujuran dan keadilan (JURDIL). Tidak satupun dari mereka menginginkan kecurangan. Lalu siapa yang membuatnya “FIKTIF”, untuk apa?
Pertanyaan inilah yang sedang berkembang saat ini, belum ada yang bertanggungjawab akan kepentingan hal tersebut, tidak satupun kelompok yang berani menyatakan diri, atau si pemesan mungkin saat ini menyembunyikan diri agar selamat dalam pemilu sehingga tidak perlu keluar dari “sarang”. Entahlah, mungkin inilah trik mencapai kemenangan untuk siapa dan punya siapa, waktu yang akan menjawabnya. Bahkan sipemilik wewenang yang mengeluarkan DPT pun tidak mau dipersalahkan, karena mereka menerima dari tingkat bawah, pada tingkatan bawahpun tak mau juga dikambinghitamkan, karena mereka telah melaksanakan tugas sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Lalu siapa lagi yang mau kita salahkan? Jawabannya saya serahkan kepada masing-masing kita yang sebenarnya telah memiliki jawaban akan hal tersebut.
Pesta demokrasi yang sebentar lagi akan kita laksanakan, masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup menantang, berbagai persoalan sudah mulai muncul saat pencetakan surat suara, dimana perusahaan rekanan yang telah ditunjuk tidak melaksanakannya sesuai kesepakatan, bahkan perusahaan rekanan melakukan sub kontrak dengan perusahaan lain. Disisi lainnya, saat pendistribusian surat suara, terjadi kesalahan fatal pendistribusian semakin kacau tidak sesuai dengan daerahnya, demikian juga saat surat suara dibuka, banyak sekali surat suara yang rusak dan dinyatakan tidak layak.
Sungguh ironis, pesta demokrasi yang seharusnya menjadi kebanggaan karena akan memilih wakil kita di parlemen dan presiden sebagai pemimpin yang akan mengatur Negara ini lima tahun yang akan datang, namun masih menyisakan kekurangan yang dari tahun ke tahun selalu sama permasalahannya, akankah pemilu yang akan datang sama juga, mari kita ingat bersama-sama.
Kasus DPT fiktif merupakan upaya untuk mencoreng nilai-nilai demokrasi yang menjadi kiblat pemilu. Kejujuran dan keadilan semakin tidak menampakkan dirinya dalam pesta, manakala selalu terjadi kecurangan. Setiap pemilihan berbagai isu, muncul seperti “permainan” di setiap TPS, ada yang menjadi penjaga gawang, eksekusi dan ada yang hanya melihat gawangnya telah kebobolan, namun tidak bisa berbuat banyak untuk menghalau agar tidak kebobolan. Isu tersebut tentunya tidak muncul begitu saja tanpa ada hal yang terjadi pada tempat TPS. namun mengapa hal tersebut bisa terjadi?apakah demokrasi saat ini bisa ditukar dengan mata uang?wallahua'lam.
Melalui pemilu 2009, hendaknya pembelajaran politik telah menggiring kita untuk berbuat adil dan jujur, karena pengalaman negara-negara lain adalah menjadi pelajaran bagi kita, manakalah kecurangan terjadi maka akhirnya merugikan semua rakyatnya. Rakyat membutuhkan keadilan dan kejujuran, tentunya siapa saja yang memiliki otoritas dan kewenangan dalam melaksanakan hajatan demokrasi ini dituntut untuk lebih professional menuju pesta demokrasi yang semakin berkualitas.
Kita bisa melihat negara adidaya AS, ketika dalam pemilihan dan dinyatakan kalah, maka yang kalah harus “legowo”(menerima) akan kekalahannya dan mendukung yang menang, yang menangpun jangan “sombong”, mestinya merangkul yang kalah dalam upaya mencapai Negara ini lebih baik kedepannya. oleh karena itu, apabila pemilihan dilakukan dengan jujur dan adil, tentunya kita semua adalah pemenangnya. Dari kasus AS tersebut, Itulah pelajaran bagi kita, namun pertanyaannya, apakah kita sudah siap? Siap menang, siap kalah? Mungkin masih banyak diantara kita siap menang tak siap kalah, apalagi biaya yag telah dikeluarkanpun tidak sedikit dalam kontes idol tahun 2009 ini.
Oleh karena itu, pemilu 2009 ini semoga menjadi pemilu yang berkualitas, untuk mencapai hal tersebut, tentunya partisipasi kita sebagai pemilih yang telah ditetapkan untuk mencontreng hendaknya mendukung pesta demokrasi dengan mendatangi TPS yang telah ditentukan. Karena lima tahun mendatang ditentukan salahsatunya dari suara kita pada tanggal 9 April nanti, terlepas adanya fatwa MUI terkait masalah GOLPUT yang masih kontroversi, namun sebagai warganegara kita memiliki kewajiban menentukan siapa yang menjadi pemimpin kita. Agar tidak terjadinya perusakan nilai-nilai demokrasi, kita awasi dengan baik kejujuran dan keadilan dalam pemilu 2009. Selamat Mencontreng!. Pangkalpinang, 24 Maret 2009
2 komentar:
DPT MENGGELEMBUNG = PEMILU BY DESIGN
Kalau kita merenung agak sejenak, dalam waktu yang senggang, akan tergambar dalam layar ingatan kita, betapa jelas dan terang lukis kejanggalan penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebut saja Ali, Dia tetangga terdekatku. Rumah kita bersebelahan berbatas tembok setinggi 2 1/2 meter. Kami tinggal disebuah kota kecil. Ali, nama yang cukup terkenal di kampungku. Warga masyarakat mengenal Ali sebagai simpatisan partai politik. Ali sangat getol meneriakkan suara partainya. Dimanapun ia berada selalu berjalan gagah menjadi magnet pembicaraan orang.
Begitu pula dalam penyusunan DPT. Ali bak magnet bagi pembuatnya. PPK menyebut 2 kali nama Ali. Ali masuk di DPT TPS 1 dan Ali DPT TPS 2.
Dengan demikian tanpa harus melalui jalan yang berliku-liku, karena DPT ganda Ali bebas melampiaskan pilihannya. Dengan 10 jari Ali bisa mencontreng di 2 TPS berbeda.
Inilah salah satu contoh kecurangan. KaLau sudah begini, akankah kita diam seribu basa seakan-akan tidak terjadi sesuatu??!!
Pemilu Indonesia by design.
sumber:http://asyiknyaduniakita.blogspot.com/
masyarakat kita musti cerdas....kalau gak cerdas, malah DPT fiktif terus berlanjut, semua kita perlu mengawasi...saya secara pribadi tetap memposisikan diri dengan posisi reeder, agar saya tidak berdiam diri...dunia semakin asyik jika kita menjaga kejujuran.
Posting Komentar